Anti rokok dalam memainkan isu selalu mengambil celah dari ragam persoalan yang dihibahkan dari rokok. Dari mulai persoalan merokok yang mengganggu kesehatan, puntung rokok yang dianggap mencemari lingkungan, narasi perokok pasif, perokok dianggap beban negara, dan yang belakangan sedang diusungnya adalah perokok di bawah umur.
Komunitas Kretek selalu memakai diksi “perokok di bawah umur” bukan “perokok anak”. Karena ketika memakai diksi perokok anak, maka konotasinya perokok adalah seorang kriminal sehingga anak tidak boleh menghisapnya. Sehingga diksi perokok di bawah umur lah yang dinilai sudah tepat. Karena merokok itu bukan aktivitas kriminal, tapi dari situ tidak semua kalangan boleh menghisap rokok, ada batasan umur untuk menghisap rokok. Di Indonesia sendiri batasan umurnya adalah 18 tahun ke atas. Jadi kalangan yang di bawah itu belum saatnya untuk menghisap rokok.
Perokok di Bawah Umur Dilarang Mengisap Rokok
“Kalau memang rokok tidak buruk, kenapa harus ada batasan umurnya?” Mungkin ada pertanyaan aneh itu. Saya menganggap pertanyaan aneh karena pertanyaan itu tidak jauh beda dengan, “Kenapa anak kecil belum boleh menikah”, atau “kenapa anak yang di bawah umur belum boleh mengendarai kendaraan bermesin? Nah rokok juga kurang-lebih sama dengan itu. Persoalannya bukan baik-buruk melainkan butuh kedewasaan untuk melakukan aktivitas merokok.
“Berarti Komunitas Kretek tidak sepakat ya dengan fenomena perokok di bawah umur?” Ya benar, Komunitas Kretek sedari dulu konsisten dan tegas tidak setuju dengan fenomena perokok di bawah umur. Bahkan lembaga ini pun selalu konsisten untuk mengkampanyekan perokok santun, salah satunya adalah dengan tidak merokok di dekat anak kecil.
Tapi walau Komunitas Kretek tidak sepakat dengan perokok di bawah usia, bukan berarti kami mendukung regulasi yang dibuat oleh pemerintah dalam ranah Industri Hasil Tembakau. Karena selama ini kebijakan yang dibuat pemerintah selalu tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Misal soal kenaikan cukai rokok yang diharapkan mampu mengurangi perokok anak. Alih-alih mengurangi perokok anak, justru dengan kebijakan itu Industri Hasil Tembakau di Indonesia mendapat hantaman keras.
Wacana RPP Kesehatan
Bahkan yang paling mutakhir adalah wacana RPP Kesehatan yang kalau disahkan akan melarang penjualan rokok dengan zonasi 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Padahal aturan itu tentu mendapat penolakan dari banyak pihak, terutama mereka yang menggantungkan hidupnya dari lini usaha kecil penjualan rokok.
Menurut Suhendro selaku Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APPSI), ketika aturan itu disahkan maka bisa berdampak pada 9 juta pedagang yang menggantungkan hidupnya dari penjualan rokok. Bayangkan, mereka ini rakyat kecil yang hanya menggantungkan hidupnya secara mandiri. Tapi oleh pemerintah malah mau dimatikan.
Sehingga sudah jelas ya bahwa aturan itu memang tidak layak untuk diterapkan. Kalau memang persoalannya itu perokok di bawah usia, tidak menjadi soal ketika orang beli rokok harus menunjukkan KTP, barangkali itu bisa efektif untuk menekan jumlah perokok di bawah umur. Bukan malah menekan pedagang kecil atau lini-lini yang bergeliat di Industri Hasil Tembakau!!
Pun harus diakui bahwa regulasi soal rokok sudah dibuat. Rokok hanya boleh diperuntukan oleh mereka yang usianya sudah 18 tahun ke atas. Tapi di Indonesia sendiri hal itu hanya dibuat saja. Regulasinya ada tapi pengawasannya tidak ada. Sehingga pemerintah lah yang harus memiliki tanggung jawab penuh akan hal itu. Dan sekali lagi, bukan malah mematikan segmen kecil dari Industri Hasil Tembakau.
- Jangan Sepelekan Dampak Kebijakan Kemasan Rokok Polos, Industri Hasil Tembakau Bisa Mati - 18 September 2024
- Menteri Kesehatan adalah Hama Bagi Industri Hasil Tembakau - 6 September 2024
- Bungkus Rokok Akan Dibuat Polosan, Upaya Kemenkes Melampaui Aturan yang Sudah Ada - 28 August 2024
Leave a Reply