Pembagian ruang merokok dan ruang non-merokok sudah saatnya dipikirkan seserius kita memikirkan pembagian ruang antara masjid dan gereja.
Sejak masa Orba, wacana isu SARA selalu menjadi wilayah rentan. Ada tugas besar negara untuk menjaga agar persoalan SARA tidak membesar dan berujung konflik panas. Sementara, Indonesia yang begitu plural ini adalah negeri di mana aspek-aspek dalam SARA begitu lengkapnya. Mulai suku alias etnis, agama dan kepercayaan (termasuk yang lokal-lokal), ras, hingga ke A yang terakhir yaitu antar-golongan.
Nah, poin A yang terakhir tersebut bisa sangat luas dijabarkan di negeri serumit Indonesia. Dulu, Pak Harto mungkin membayangkan bahwa aspek ‘antar-golongan’ di situ tak akan jauh-jauh saja dari “kader Golkar” dan “non-kader Golkar”. Tapi sepanjang hampir dua dekade terakhir, isu sensitif pada banyak dimensi bisa selalu digoreng untuk memunculkan golongan-golongan, dan tentu juga “konflik antar-golongan”. Mulai isu pro dan anti pada Manchester United (wkwkwk); Jokower vs Prabower yang eskalasi konfliknya pernah ngalah-ngalahin konflik Suriah itu, hingga pro-rokok vs anti-rokok.
Nah, perkara anti dan pro pada rokok ini sudah semestinya ditempatkan dalam koridor sensitivitas yang tak kalah dengan aspek-aspek lain dalam SARA. Ini serius. Bahkan saya pun membayangkan, bisa jadi, sudah waktunya yang mengatur pembagian ruang antara perokok dan non-perokok (wabil khusus antirokok) bukan lagi pemerintah daerah, melainkan regulasi tegas dari Menkopolhukam. Haha.
Tiga hingga empat tahun silam, saya bersama teman-teman sangat getol memperjuangkan hak perokok, dengan berusaha memahamkan semua orang bahwa sebenarnya kampanye-kampanye antirokok itu mengandung banyak hoax. Sikap itu tentu bukan tanpa landasannya. Banyak sekali dasarnya, risetnya, apalagi kalau kita membenturkan teori-teori antirokok dengan kondisi faktual di lapangan. Dari situ saya berharap semua orang akan terbuka mata batinnya, mengenali “mana yang haq dan mana yang bathil”, kemudian pada ujungnya tentu saja mereka akan mengikuti jalan saya.
Tapi lambat laun saya melunak, dan meninggalkan bentuk-bentuk ekstrimisme begituan. Ini perkara klaim kebenaran, sementara klaim kebenaran tunggal tak akan pernah bisa membawa perdamaian.
Lebih lanjut lagi saya pun sadar bahwa pro dan antirokok itu posisinya sudah semacam agama. Yang pro-rokok (termasuk saya tentu) berdoa “Ya Tuhaaan, bukalah mata dan hati mereka. Sesungguhnya mereka hanyalah kaum yang belum tahu. Andai mereka tahu hoax-hoax itu, tentu mereka akan bertobat dan mengikuti jalan kebenaran.” Sementara, yang antirokok akan berdoa “Ya Tuhaaaan berikanlah peringatan kepada mereka para pro-rokok itu. Sungguh mereka itu cuma orang-orang yang cari-cari pembenaran dan menolak kebenaran.”
Nah! Ngeri kan? Hahaha.
Ketika pro dan antirokok sudah diposisikan ibarat agama, maka tak guna lagi “dakwah” satu sama lain. Kedua kelompok tak akan “mendapat hidayah” hanya karena temuan-temuan baru. Yang akan terjadi, kedua kelompok hanya akan percaya pada informasi baru sepanjang sesuai dengan frame dasar keyakinan mereka. Itulah polanya. Mirip-mirip lah sama perdebatan Islam vs Kristen di situs faithfreedom.org. Cek saja di sana. Sehingga, terus-menerus berbantahan tentang klaim-klaim kebenaran perkara rokok tak pelak lagi bisa menimbulkan.. mmm.. disintegrasi bangsa.
Dengan pemahaman peta psikologis semacam itu, maka yang sekarang mesti dilakukan bukanlah saling berdakwah dan berusaha menggaet jamaah sebanyak-banyaknya. Ada cara yang lebih arif, yaitu berbagi ruang. Caranya simpel saja: pemerintah mesti memfasilitasi aturan-aturan tegas tentang kawasan non-smoking area di ruang-ruang publik. Namun, seiring dengannya, ruang-ruang merokok juga harus tersedia, dalam jumlah yang cukup dan kondisi yang layak.
Tentang ruang merokok, saya kaget dan setengah kagum pada Jepang, negeri dengan harapan hidup sehat tertinggi sedunia itu. Kebetulan tahun lalu saya ngelayap ke sana. Di sana saya melihat langsung bahwa Jepang menyediakan ruang-ruang merokok yang sangat cukup, tanpa harus menzalimi umat yang tidak merokok. Saya ambil contoh. Di perempatan Shibuya yang terkenal sangat riuh itu, ada tak kurang dari tiga smoking area outdoor. Cukup luas, dan siapa pun bisa berhenti lantas kebal-kebul di sana. Di bandara ada juga. Di tempat-tempat wisata tak ketinggalan. Di Tokyo Disneyland, bahkan, yang merupakan arena keluarga, ruang merokok tetap disediakan. Bahkan di kantor IBM di Chiba, smoking area disediakan dengan sangat nyaman, lengkap dengan pohon-pohon bambu yang rindang dan suara cuitan-cuitan burung tiruan dari sistem audio. Waah..
Namun, jangan salah. Seiring ketersediaan ruang-ruang merokok, area-area di mana asap rokok merupakan barang haram juga diatur tegas. Orang tak bisa merokok sambil berjalan-jalan, misalnya. Di peta-peta kota juga ada blok-blok (terutama di kawasan heritage) berwarna kuning tanda larangan merokok. Jika melanggar, hukumannya jelas dan masuk akal. Denda akan dijatuhkan 1000 yen, atau sekitar 115 ribu rupiah. Bandingkan dengan denda 50 juta di Jakarta yang akhirnya mustahil dijalankan dan malah jadi bahan ketawaan.
Jika kita berhasil membagi ruang dengan jelas tapi adil seperti halnya dilakukan Jepang, ruang toleransi dan kerukunan antar-umat bakal terbangun.
Sudah barang tentu, bakal muncul teriakan-teriakan: “Hoii, enak aja, yang ngerokok elo-elo sendiri, eh minta duit negara pula buat bikin smoking area!” Orang yang teriak macam gitu pastilah nggak paham konsep hak-hak warga negara. Mirip kalangan agama mayoritas yang memprotes pendirian tempat ibadah agama lain, hanya karena si agama lain itu minoritas di daerahnya.
Selain itu mereka juga pasti tidak tahu bahwa kita kaum perokok ini menyumbang APBN per tahun rata-rata 100 triliun dari cukai. Itu baru cukai, belum pajak industri dan sebagainya. Ini pun pasti akan diteriaki lagi, “Hoii seenak udelmu aja ngomong! Ongkos pengobatan oleh negara atas korban rokok itu dua kali lipat dari penghasilan negara dari rokok!!”
Ya. Dan lagi-lagi itu pameran kebodohan akibat asal menjiplak teori tanpa pernah melakukan verifikasi. Silakan diperiksa alokasi belanja negara dari APBN, dan di sana tertulis bahwa anggaran pemerintah untuk Kementerian Kesehatan hanya sekitar 30-50 Triliun. Itu pun mustahil semua dipakai untuk pengobatan penyakit akibat rokok. Teori “Biaya kesehatan akibat rokok itu dua kali lipat dari pemasukan cukai” itu sama hoax-nya dengan foto indehoy Abraham Samad.
Boleh jadi pada akhirnya argumen tersebut akan diterima oleh kalangan antirokok. Tapi teriakan lain toh tetap saja akan muncul. “Hoi, meski ruang dipisahkan, toh asap rokok bisa tetap menembus celah-celah pintu, menempel di baju, dan jika tempelan nikotin di baju perokok tercium orang lain, bisa menimbulkan kematian!!!”
Tentu saya pribadi tak percaya dengan teori kesehatan yang lebay itu. Tapi sekarang bukan saatnya menjelaskan landasan penolakan saya. Lebih pas jika kita kembalikan ke cara pandang berbagi ruang, ibarat pembagian ruang-ruang rumah ibadah. Dalam berbagi ruang, selalu akan ada kebocoran-kebocoran kecil yang tak terhindarkan. Dalam pembagian ruang umat Islam dan Kristen, saya ambil contoh. Meski rumah ibadah dipisahkan dan sudah dijatah untuk masing-masing umat, suara adzan dan takbiran toh masih bisa terdengar keras oleh telinga umat Kristen. Umat Islam gimana? Ya sama saja, toh ada juga yang merasa terganggu dengan ucapan selamat Natal hingga topi sinterklas hehehe. Begitu kira-kira perumpamannya.
Lagipula, kebocoran area merokok yang dikhawatirkan bakal terjadi itu juga memperoleh perimbangannya. Coba lihat, ada berapa teror yang disebar penganut “agama” antirokok hingga menyerbu ke wilayah-wilayah pro-rokok? Mulai stiker-stiker bertuliskan SMOKING KILLS, hingga gambar-gambar seram baik di poster maupun bungkus rokok, semua bocor dan masuk menyerbu dan mengganggu stabilitas wilayah smoking area. Nah, sama kan?
Jadi bagaimana? Siap berbagi ruang?
- Jebakan Rokok Nahdlatul Ulama - 2 January 2019
- Ketika Perokok Menjadi Korban - 18 March 2015
- Berbagi Ruang: Satu-satunya Solusi dalam Perkara Rokok - 4 February 2015