Search

Ketika Perokok Menjadi Korban

Saya sudah sering bilang ke teman-teman, bahwa akar masalah yang paling membuat para perokok dibenci nonperokok tuh ya karena perkara ketidakpekaan sosial. Merokok sembarangan di ruang publik, merokok di toilet, merokok di ruang ber-AC, merokok di kendaraan umum, buang puntung sembarangan, dan sebagainya.

Se-hardcore apa pun saya membela umat penikmat tembakau, tetap saja saya nggak bisa membela perilaku-perilaku ngawur. Dalam kasus yang lazim, perokok memang kerap menjadi pelaku “kejahatan sosial”, alih-alih korban. Itu wajib diakui.

Namun tidak selamanya perokok menjadi tersangka. Dalam kondisi-kondisi yang acap tidak disadari, tak jarang perokoklah yang justru dijahati. Banyak sekali contohnya. Misalnya bagaimana larangan merokok di mana-mana diterapkan, tapi ruang merokok tak pernah disediakan (padahal dana cukai tembakau telah menyumbang lebih dari 100 Triliun buat APBN). Juga “kriminalisasi” atas perokok yang secara gencar terus dijalankan. Stigma buruk terus-menerus ditempelkan secara tanpa sadar ke benak publik, misalnya dengan cara nge-blur adegan merokok di tayangan televisi. Seolah aktivitas merokok sudah setara dengan kekerasan dan pornografi! Wew.

Tapi contoh-contoh kasus semacam itu membutuhkan pemahaman cara kerja media yang lebih jernih lagi, juga ketajaman analis komunikasi massa yang lebih jeli lagi. Agak rumit. Jadi kali ini saya ceritakan contoh enteng-entengan saja..

Begini ceritanya. Suatu malam, saya sedang menulis di sebuah kafe. Itu kafe langganan saya. Saya suka tempat itu karena meja-kursinya enak buat ngetik, banyak colokan, dan yang paling penting: smoking area. Ya, di kafe itu pengunjung bebas merokok. Sudah menjadi kebijakan pengelolanya, itu mah. Dan bahkan sudah ada tempelan besar-besar sebagai pernyataan resmi aturan kafe: BOLEH MEROKOK.

Baca Juga:  Memahami Nikotin dan Tar

Di tengah asyik-asyiknya jari saya menggerayangi keyboard laptop, tiba-tiba serombongan mahasiswi datang. Mereka bersama dosen mereka, tampaknya. Semacam mendiskusikan tugas, atau sesuatu yang mirip-mirip itu. Saya tenang saja, meski agak terganggu dengan berisiknya mereka yang cekikak-cekikik itu.

Sejauh ini semua berjalan baik-baik saja. Toh nggak ada larangan berisik juga di tempat itu. Hingga kemudian satu-dua orang dengan wajah cemberut melirik ke arah saya. “Iiih bau rokoook..” kata mereka sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung. Wajah mereka kian merengut, sambil menggeser pantat menjauh dari arah saya. Malangnya, karena kursi mereka sudah jejal, tak cukup jauh geseran pantat itu membuahkan hasil. Jadilah, yang muncul selanjutnya ya kibasan-kibasan tangan lagi di depan wajah. Juga lirikan-lirikan penuh rasa sebal.

Saya tercenung. Diam, memandangi kimcil-kimcil itu sambil ber-wow dan mengelus jidat. Sungguh, saya berharap ada salah satu dari mereka yang datang menghampiri saya lalu bilang, “Mas! Jangan merokok di sini dong!!” Dan saya akan segera mengajari mereka tentang arti pentingnya penghormatan kepada area geopolitis yang sudah jelas-jelas terpampang gagah: BOLEH MEROKOK.

Jujur, saya memang agak berprasangka buruk. Membayangkan bahwa mereka adalah korban-korban dari cuci otak media, sehingga sudah telanjur tercitrakan dalam benak mereka bahwa para perokok tak lebih dari para penjahat belaka. Sehingga sejelas apa pun saya bicara tentang konsep berbagi ruang, rasanya kok mereka nggak bakal peduli. Pokoknya di mana pun, di smoking area legal pun, merokok adalah kesalahan.

Baca Juga:  Tradisi Nyadran Kali dan Rasa Syukur Para Petani Tembakau

Ada seorang antirokok di Jogja yang selalu sesumbar. “Kalau ada yang merokok di ruang publik dan ketemu aku, aku akan bikin dia menyesal seumur hidup!” Owhyeach!! Ini beneran. Tokoh satu itu ada beneran, meski saya nggak mau menyebut namanya. Nggak papa sih, hak dia juga mau ngamuk ala Rambo gitu, meski ya lebaynya begitu jijay. Tapi saya juga kepingin bilang sama dia, bahwa para antirokok pun kerap tak sadar sedang nyerempet-nyerempet bahaya dengan melanggar hak-hak pembagian ruang.

Anak-anak kuliahan itu, sayang sekali, nggak ada yang mendamprat saya. Saya pun akhirnya memilih bergeser pindah, menjauhi mereka, sehingga asap rokok saya tidak menjangkau mereka.

Enggak, enggak, saya nggak kepingin mereka menyesal seumur hidup hanya karena sudah ketemu saya. (Survei membuktikan bahwa 97% orang yang ketemu saya nggak kapok, dan malah nagih. Nguik.) Adapun tugas saya kali ini justru untuk membuktikan bahwa kaum perokok keren adalah kaum yang woles, dan dalam beberapa situasi selalu siap mengalah. Ehem.

Iqbal Aji Daryono
Latest posts by Iqbal Aji Daryono (see all)