“Ini bukan kampanye rokok. Saya tidak akan menganjurkan Anda sekalian untuk merokok. Saya bahkan tidak meminta Anda menjadi pengikut saya. Saya tidak perlu dan tidak mau diikuti, karena saya hanya pengikut Nur Muhammad saw.”
Sejak menulis tentang Cak Nun dan Kiai Kanjeng, April silam, beberapa kawan mengirimkan pertanyaan lewat email, inbox di Facebook, dan SMS kepada saya. Poin pertanyaannya hampir sama: mengapa saya [tiba-tiba] menulis tentang Cak Nun. Berkali-kali, dan untuk kepentingan apa. Semua pertanyaan itu tidak saya jawab, karena saya bermaksud menjelaskannya lewat tulisan. Tulisan yang sedang Anda baca ini.
Saya mengikuti Cak Nun dan Kiai Kanjeng sebab diongkosi seorang kawan, dan perkara ini sebetulnya sudah saya jelaskan di tulisan pertama saya [lihat: Dan para petani tembakau itu memeluk Cak Nun]. Dia tahu saya tidak punya penghasilan tetap, dan tampaknya berusaha untuk menyenangkan saya, membantu agar saya bertahan hidup. Soal apakah dia punya kepentingan atau tidak, tentu hanya dia yang tahu. Andaipun punya kepentingan, yang saya tahu kemudian, kawan saya itu merencanakan penulisan sebuah buku tentang Cak Nun, dan meminta saya untuk menuliskannya.
Tentu saya senang. Bagi saya, rencana penulisan buku tentang Cak Nun adalah sebuah niat baik, dan saya tidak pernah mampu menolak niat baik, setidaknya saya berusaha untuk tidak bersangka-sangka. Reportase tentang pengajian Cak Nun yang saya tulis beberapa kali, hanya sebagai bagian dari buku yang direncanakan oleh kawan saya itu.
Dia, seperti halnya saya, juga sedang mengalami proses kebatinan yang luar biasa. Mungkin karena faktor umur meski usianya jauh lebih muda dari usia saya. Pada suatu subuh, dia misalnya pernah mengutarakan pada saya, ingin hapal Al Quran. Dia juga beberapa kali hadir di acara pengajian Cak Nun di Yogyakarta dan di beberapa kota. Beberapa kali, dia juga bercerita tentang perjalanan hidupnya yang penuh warna. Ditikam pengkhianatan, dibanting oleh kemunafikan, diterkam kerakusan. Dia berdiri tegar, sebab dia yakin, yang dilakukannya, sejauh ini, tidak dilandasi niat buruk, dan dia memang banyak membantu sahabat-sahabatnya, termasuk saya.
Lalu, setiap kali saya menyampaikan terima kasih kepadanya karena telah banyak membantu saya, termasuk menghibur saya dengan memperjalankan ke beberapa kota dan memberi kesempatan untuk menulis sebuah buku tentang Cak Nun, dia biasanya hanya [akan] selalu menjawab pendek: “Bagi-bagi rezeki Cak” atau “Bantu apa Cak?”
Saya tahu, Allah bertanggungjawab terhadap semua ciptaannya termasuk dalam soal rezeki saya, tapi setiap kali kawan saya mengatakan hal itu, saya selalu membisu. Tak mampu mengucapkan apa pun, karena saya tahu, kami bahkan baru saling mengenal lalu berkawan sejak empat tahun silam, dan sejak itu dia banyak memperhatikan saya dan keluarga saya. Tak pernah saya merasa dia berharap apalagi meminta saya untuk membalas budi baiknya.
Maka sejak April itu, saya mengikuti Cak Nun. Dimulai dari Temanggung, lalu ke Semarang, Kudus, Surabaya, dan ke Jakarta, di Taman Ismail Marzuki. Tentu banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang saya ambil dari mengikuti Cak Nun di lima kota itu, terutama untuk belajar selalu berdamai dengan banyak tuduhan. Belajar menjadi manusia yang berdaulat. Dan sewaktu muncul di TIM, Jumat malam sepekan yang lalu, penjelasan Cak Nun mengagetkan saya. “Saya dan Kiai Kanjeng tidak pernah mengemis. Mengaju-ajukan proposal agar kami dibiayai. Pementasan kami tidak ada sponsor.”
Saya tidak tahu apakah Cak Nun marah atau tidak, meski saya juga tahu, dia pantas marah. Lima hari sebelumnya, sewaktu akan tampil di Kampus B Universitas Airlangga Surabaya karena diundang BEM Fisip di sana dan komunitas BangbangWetan, saya tahu ada tuduhan: Cak Nun dan Kiai Kanjeng membela industri rokok. Tuduhan itu ditulis secara pengecut oleh satu akun anonim, yang menggunakan nama samaran dan menyembunyikan identitas. Disebarkan ke banyak akun di media sosial, dan tampak berusaha agar BEM Fisip Unair menggagalkan pentas Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Unair.
Saya tidak mengerti ada orang semacam itu, yang tahan dengan semangat membenci tapi ketakutan untuk menampakkan diri. Orang-orang yang menurut Cak Nun hanya berani bersuara di belakang dan menebarkan fitnah lewat media sosial tapi terlalu pengecut berhadapan muka. Dan penulis anonim itu, tampaknya adalah orang yang bersemangat mengkampanyekan anti-rokok, untuk tidak disebut sebagai orang atau kelompok yang sebetulnya menerima dana kampanye anti-rokok.
Mereka karena itu harus berkampanye terus-menerus agar dana yang diterimanya bisa terpakai untuk menolak ide lain tentang semua yang dianggap berlawanan dengan antirokok, bahkan jika itu hanya berupa semangat kepada petani tembakau seperti yang dilakukan Cak Nun di Temanggung. Dan itu sah-sah saja karena banyak cara orang mencari makan.
Masalahnya: apakah karena membela petani tembakau di Temanggung misalnya, Cak Nun lalu dianggap membela industri rokok? Apa karena itu semua, Cak Nun dianggap mengkampanyekan rokok dan menyarankan orang merokok? Apa karena itu semua, pementasan Cak Nun dan Kiai Kanjeng dituding dibiayai oleh industri rokok?
Kalau boleh menduga, tuduhan dari orang-orang semacam itu pada Cak Nun, dipicu antara lain oleh tulisan saya tentang Cak Nun di Temanggung. Tentang Cak Nun yang waktu itu berusaha membangkitkan harapan dan kekuatan petani-petani tembakau di sana. Mereka merasa terusik. Mungkin juga merasa terancam sebab Cak Nun membela petani tembakau.
Sebelum saya mengikuti Cak Nun dan menulis tentang kehadirannya di tengah petani-petani tembakau di Temanggung yang cemas dan bersedih, beberapa kali saya menyimak rekaman pengajian, ceramah, orasi Cak Nun yang bisa diakses dari Youtube. Beberapa kali dia menyinggung masalah rokok karena dia adalah perokok. Tapi sejauh yang bisa saya tangkap dari penjelasan Cak Nun di beberapa tayangan video, konteksnya adalah, dia merasa aneh karena bahkan untuk meminta sekadar hak boleh merokok, di negara ini, sekarang dipersoalkan, dipersulit. Dan Cak Nun menyampaikan semua itu dengan gayanya yang selalu penuh guyonan ala Jawa Timuran.
Di sebuah video yang direkam ketika diundang berbicara di rumah Anas Urbaningrum dua tahun lalu misalnya, Cak Nun bilang, tidak mau ikut pergerakan baru kalau dilarang merokok. Dia menyampaikan hal itu dengan mimik wajah dan senyuman khas. Seperti meledek. Tamu undangan yang mendengarkan ucapannya ikut tertawa.
Di sebuah video lain, yang tampaknya direkam bertahun-tahun sebelumnya, Cak Nun mengatakan, ketika semua hak sebagai warga negara telah diambil, dia hanya minta hak untuk merokok. “Aku minta hak untuk merokok ini saja loh Rek, masak tak boleh?” Berkali-kali pula dia menyatakan, dirinya tak berani mengharam-haramkan sesuatu yang diciptakan Allah.
“Allah serius menciptakan tembakau, masak saya berani mengharam-haramkan? Nanti kalau Allah bertanya, ‘Lho Nun, Aku ini serius menciptakan tembakau, kok kamu haram-haramkan padahal Aku tidak mengharamkannya? Kamu bisa menciptakan tembakau?’ Wah bisa repot saya.” Dan kata-kata semacam itu, kata-kata penuh candaan, diulangi Cak Nun di TIM.
Saya tahu Cak Nun merokok. Perokok berat. Begitu juga saya, tapi dia tidak pernah mengkampanyekan agar orang membeli rokok atau menyarankan orang untuk merokok. Dia hanya meminta, agar tidak ekstrem menolak atau menerima sesuatu, termasuk dalam soal rokok. Misalnya orang yang merokok, tidak anti pada yang tidak merokok. Orang yang tidak merokok, tidak anti pada orang yang merokok. Kepada perokok pun, Cak Nun mengingatkan agar tahu, kapan bisa merokok, kapan harus tidak merokok. Dan permintaannya itu, bolah dipenuhi dan silakan ditolak.
“[Acara Kiai Kanjeng] ini bukan kampanye rokok. Saya tidak akan menganjurkan Anda sekalian untuk merokok. Saya bahkan tidak meminta Anda menjadi pengikut saya. Saya tidak perlu dan tidak mau diikuti, karena saya hanya pengikut Nur Muhammad saw.”
Cak Nun lalu memberi perumpamaan soal jilbab. Perempuan yang mengenakan jilbab bukan berarti anti dengan perempuan yang tidak berjilbab. Perempuan yang tidak berjilbab, bukan berarti anti terhadap yang berjilbab. Bahwa kemudian, jilbab menjadi industri dan membuat persaingan antara pembuat jilbab, itu bukan urusan orang yang mengenakan jilbab dan yang tidak mengenakan jilbab. “Semua orang berdaulat atas dirinya.”
Selama berkunjung ke lima kota, saya tahu, tema pengajian Cak Nun adalah tentang kedaulatan. Sinau kedaulatan atau belajar tentang kedaulatan. Itulah yang menurut saya, tampaknya yang juga dicurigai oleh beberapa orang yang aktif mengkampanyekan anti-rokok. Cak Nun dianggap seolah-olah mengkampanyekan rokok. Acara Kiai Kanjeng dituduh disponsori perusahaan rokok.
Mereka tidak tahu, Cak Nun dan Kiai Kanjeng sudah ribuan kali pentas di banyak tempat, di berbagai kota. Diundang oleh banyak orang. Dari Yogyakarta hingga Korea. Dari Surabaya hingga Maroko. Dan semua pementasannya terutama di Indonesia, adalah pementasan rutin yang dibiayai oleh orang-orang yang mencintainya. Orang-orang yang ingin mendengarkan lelucon-leluconnya. Orang-orang yang mau belajar keluar dari batas-batas kepura-puraan. Orang-orang yang ingin terhibur setelah hidup mereka disuguhi banyak kemunafikan.
Di berbagai kota, karena itu muncul komunitas-komunitas. Di Jakarta ada Kenduri Cinta, Macopat Syafaat ada di Yogyakarkarta, Gambang Syafaat di Semarang, Padhang Bulan di Jombang, BangbangWetan di Surabaya, Paparandang Ate Mandar di Makassar, Maiyah Baradah di Sidoarjo, Obor Ilahi di Malang. Ada beberapa komunitas di Hong Kong, di Bali, dan di Papua. Komunitas-komunitas yang terbentuk karena orang-orang yang merindukan Cak Nun, yang jumlah orangnya di setiap komunitas bisa mencapai ribuan. Mereka orang-orang kecil. Buruh pabrik, penjual kopi, tukang becak, para preman, pedagang sendal dan kopiah, TKI, dan sebagainya.
Tujuh belas tahun yang lalu, sewaktu Jakarta dibakar kerusuhan dan banyak orang ketakutan, Cak Nun dan Kiai Kanjeng bahkan berkeliling ke pelosok-pelosok Jakarta yang sempit dan bau, semata berusaha memberi ketenangan dan kesabaran dengan membaca shalawat beramai-ramai. Dan semua itu, tidak pernah disorot oleh media. Cak Nun dan Kiai Kanjeng dianggap sampah, dan Cak Nun memang selalu menempatkan dirinya sebagai tempat sampah. Tempat orang membuang keluhan. Melemparkan kemarahan. Meletakkan kesedihan. Mengais harapan.
Lalu, Jumat malam sepekan yang silam, di lapangan parkir di dekat dua pintu masuk ke areal TIM itu, Cak Nun menurut saya, memang perlu menjelaskan posisinya dan Kiai Kanjeng, karena tuduhan dan kecurigaan dari orang-orang pengecut [yang sebetulnya merekalah yang menerima dana kampanye anti-rokok dari donor di luar negeri], sungguh keterlaluan. Barangkali karena itu pula, Cak Nun mempersilakan Mohammad Sobary, budayawan, peneliti LIPI, eks pemimpin redaksi kantor beritaAntara, ikut berbicara soal rokok dan tembakau.
“Ketika pemerintah menyiapkan rancangan peraturan tembakau, 12 April 2012, 10 ribu petani tembakau di Temanggung merokok kretek bersama. Mereka berdaulat. Merokok kretek menjadi bahasa perlawanan. Memperotes rancangan itu agar tidak menjadi peraturan. Melawan negara yang tidak berdaulat.”
Mas Sobary berhak mengutarakan itu semua karena dia adalah penasehat APTI, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia. Tentu dia berkepentingan membela petani tembakau, meski pembelaannya terhadap petani tembakau tidak senorak kampanye para demagog anti-rokok. Mas Sobary menulis buku. Menyelenggarakan diskusi imiah.
“Saya tahu kampanye global antitembakau, bertujuan untuk mengambil tembakau Indonesia. Dan saya tahu pula, sudah ada penelitian, sembilan manfaat tembakau bagi kesehatan.”
Saya tahu, Mas Sobary sebelumnya tidak merokok. Dia merokok beberapa bulan kemudian, setelah rombongan petani tembakau, menemuinya, memintanya ikut membela mereka di tengah kepungan tuduhan dan ancaman, beberapa tahun yang lalu. Rokok yang dia isap pun bukan buatan pabrik rokok, melainkan devine cigarette, kretek yang dikenalkan kali pertama dan diusahakan mandiri oleh Dr Gretha Zahar, yang kemudian didukung oleh Prof Sutiman Bambang Sumitro, guru besar di Universitas Brawijaya Malang, sebagai metode alternatif pengobatan.
Saya mengambil napas dalam-dalam mendengar ucapan Mas Sobary tentang nasib petani tembakau yang hendak dipinggirkan, yang saya rasakan penuh kemarahan. Malam itu, saya datang ke TIM dalam keadaan payah. Baru dua hari sebelumnya saya mengalami kecelakaan. Beberapa bagian tubuh saya masih berdarah. Dagu penuh jahitan. Tubuh saya ringsek.
Saya memaksa hadir di acara Cak Nun, karena saya harus menyelesaikan tugas saya: mencatat untuk bahan penulisan buku tentang Cak Nun. Lalu ketika Mas Sobary menguraikan betapa bangsatnya negara ini terhadap petani tembakau, saya berusaha menarik napas panjang. Berupaya menyadarkan diri.
Bernapas Rusdi, bernapaslah. Saya terus mengajak diri saya berdialog.
Malam sudah begitu larut. Sudah melampaui jam dua dinihari. Perih di dagu karena bengkak sehabis dijahit tak begitu saya pedulikan, tapi dada saya seperti ditekan-tekan. Entah oleh apa. Sesak.
Saya teringat kerabat bapak di Sumenep Madura yang menanam tembakau. Ingat kawan-kawan saya di Besuki, yang sejak dari kakek moyangnya menanam tembakau. Ingat sahabat saya yang memberdayakan para petani tembakau di Jember. Ingat para petani tembakau di Temanggung, yang memeluk dan merubuhkan diri pada Cak Nun, minta dibela.
Ya Allah, apa sebetulnya dosa para petani itu? Kenapa orang-orang hebat itu yang harus menentukan, apa yang boleh dan tidak boleh ditanam oleh petani tembakau? Kenapa orang-orang besar itu yang harus mendikte, jumlah dan jenis tembakau yang bisa ditanam? Apa yang telah diberikan oleh orang-orang pintar yang mengatur dan membuat undang-undang itu, kepada para petani tembakau selain hanya menganggap para petani itu sebagai orang-orang yang dituduh penanam benih penyakit?
Cak Nun mengakhiri Kenduri Cintanya di TIM menjelang subuh, dan itu adalah acara terlama dari pentas Cak Nun dan Kiai Kanjeng yang saya ikuti di lima kota. Ketika berdoa, suaranya terdengar menahan isak. Seribuan orang yang hadir di sana, barangkali juga ikut sesunggukan.
“Ya Allah mudahkanlah mereka yang sedang kesusahan. Gembirakanlah mereka yang sedang kesedihan. Sembuhkanlah mereka yang sedang kesakitan. Lunaskanlah mereka yang terbelit utang. Jangan jadikan Indonesia mengemis dan merengek-rengek…”
Begitulah Cak Nun. Selama mengikutinya di lima kota, saya mengenalnya sebagai apa saja. Budayawan, intelektual, kiai, dan mungkin tempat sampah, seperti yang selalu dia sampaikan, dan saya banyak belajar dari tempat “sampah” itu. Belajar berdaulat terutama untuk menjadi diri sendiri. Menjadi manusia apa adanya. Manusia yang tidak berpura-pura. Manusia yang menolak hidupnya ditentukan dan didikte oleh orang lain.
- Hormati yang Tidak Puasa, Hormati yang Merokok - 29 June 2015
- Jangan Ikuti Cak Nun, Jangan - 18 May 2015
- Di Indonesia, yang Bagus-bagus Tidak Boleh Tumbuh - 11 May 2015