Search

Jelajah Tembakau Nusantara: Tembakau Lombok

Suatu hari, saya dibikin heran setengah mati dengan kawan saya yang seorang anti-rokok tulen. Dia bisa menerima begitu saja restoran cepat saji yang jelas-jelas ayam-ayamnya dipaksa tumbuh puluhan kali lebih cepat dari ayam biasa untuk mengejar target produksi, dia makan lahap dengan penuh kesadaran bahwa daging yang dia makan juga berisi zat-zat berbahaya yang berpotensi memicu penyakit-penyakit aneh; berpotensi membunuhnya juga. Dia terus mengunyah sambil menjelaskan betapa berbahayanya rokok dan betapa baunya nafas seorang perokok.

Teman saya ini bikin saya bertanya kepada diri saya sendiri: Kenapa kita—saya dan kamu—sedemikian menyedihkannya: dihukum dengan memiliki perasaan seolah kita mengetahui banyak hal yang membuat kita merasa perlu menasihati orang lain, sementara kita sendiri tidak tahu apa-apa tentang apa-apa?

Kalau Yesus ada di posisi saya, dia pastilah akan berdoa: Tuhan, maafkan kawan saya ini, dia hanya belum tahu. Dan kalau Yesus atau orang-orang pilihan tuhan lainnya yang bicara seperti itu, kita bisa memakluminya, dia mungkin sudah tahu banyak hal yangbelum atau tidak akan pernah kita tahu. Tapi kita bukan Sang Juru Selamat, bukan Nabi, atau cenayang-cenayang Fir’aun. Kita dikutuk dalam ketidak-tahuan abadi, dan leluhur-leluhur kita berupaya setengah mati membangun peradaban menggunakan daya pikir sendiri—tanpa mukjizat atau keajaiban-keajaiban. Dan ini tahun 2015, Hitler sudah lama mampus, tetapi melihat situasi dunia saat ini dan mengingat bagaimana kawan saya yang anti-rokok itu, saya jadi sangsi: Jangan-jangan kita menemukan kenikmatan saat kita memaksakan kebenaran versi kita kepada orang lain?

*

Memangnya, apa yang kau ketahui tentang tembakau?

*

Saat mendapat tawaran dari Mas Nuran Wibisono untuk ikut dalam Jelajah Tembakau Nusantara, saya girang bukan main. Sejak saya memutuskan untuk merokok kira-kira sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya belum pernah melihat wujud tanaman tembakau. Katakanlah saya norak, memang begitu faktanya. Saya memutuskan ikut sekadar ingin tahu—untuk diri saya sendiri, sebenarnya—tentang apa itu tembakau. Saya ingin tahu dari mana datangnya tembakau di dalam linting kretek yang saya hisap? Bagaimana cara produksinya? Bagaimana para petani merawat tembakau mereka dari bibit hingga panen? Apa dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari penanaman tembakau? Sebab tembakau memiliki sisi lain bagi saya. Tembakau akan selalu berkaitan dengan kenangan tentang almarhum kakek saya (bapak dari ibu saya), Tasedjo bin Tahir. Saat bertemu Mbah—begitu saya memanggilnya—dia akan selalu sedang menghisap atau menjilat-jilat kreteknya. Dan menurut ibu saya, Mbah sudah seperti itu sejak ibu saya kecil.

Saat saya memasuki usia remaja, kegemarannya menghisap kretek sambil bercerita membuat bayangan tentang Mbah terlihat keren di dalam kepala saya.

*

Mungkin belum satu tahun Mas Nuran kenal saya, tetapi saya sudah cukup lama mengikuti blog-nya. Sejauh ingatan saya, awal tahun 2012, saat itu saya sedang mencari artikel mengani Jim Morrison dan… apa yang harus saya bilang… bajingan betul blogger ini. Ceritanya saat mengunjungi Pere La Chaise bikin saya berulang kali mengutuk, entah mengutuk siapa. Setelah saya telusuri, sebagian besar blog itu membahas musik. Dugaan awal saya penulis ini patah hati dan berusaha mengenyahkannya secepat mungkin; salah satu cara tercepat melupakan patah hati adalah dengan menyibukkan diri dengan membahas hobi dan segala macam. Bukan dengan menulis fiksi atau puisi, tentu saja. Dan Mas Uyan mendengarkan Hair Metal dan Glam Rock dan menulis tentang keduanya, ya, saat di luar sana musik-musik Post-Nganu dan Neo-Nganu merajalela. Hair Metal dan Glam Rock, dengan tema lagu mereka yang kebanyakan mencerminkan “semangat keduniawian”, tentu sarana efektif untuk mengobati luka. Tapi…

Angkat tangan, Saudara-saudara~

…like a knife that cuts you~

the wound heals but the scar~

that scar remaiiiins~

Hehe…

Setelah itu kami berteman di jejaring sosial, beberapa kali bertemu, dan ternyata ngobrol dengan Mas Nuran asyik sekali. Dia punya banyak referensi musik dan film menarik, saya juga sempat dikirimkan kumpulan buku-e mengenai Hair Metal. Karena itu, saat Mas Nuran mengajak saya jalan-jalan, saya yakin Mas Nuran akan membawa ke tempat yang seru. Bukan cuma nongkrong di pinggir pantai melihat matahari terbit dan terbenam dan selama rentang waktu itu kami memandangi bule berjemur atau gadis-gadis lokal mandi di tepi pantai. Kalau cuma itu, saya bisa melihatnya di Youtube. Tidak perlu capek-capek mesti pergi ke Lombok.

Satu-satunya kesalahan Mas Nuran adalah mengajak saya dalam tur. Saya rasa-rasanya tidak berbakat tepat waktu.

Belum tiba di Lombok, saya sudah terlambat datang ke Taman Suropati, Menteng, tempat kami janjian untuk pergi ke bandara. Saya terlambat karena paginya harus pulang dulu ke Bogor, saya baru ingat saya lupa bawa dompet. Dan kedua, saya tidak bisa memastikan apakah KTP saya masih ada di dompet. Dan, sejujurnya, saat itu di dalam kereta menuju Bogor saya agak cemas juga jangan-jangan KTP saya sudah kadaluarsa. Saya lupa kapan terakhir kali mengeluarkan benda itu. Tapi akhirnya saya sampai juga di Taman Suropati, setelah nyaris ditinggal.

Kami tiba di Lombok pada Jumat malam. Senang juga berkenalan dengan teman-teman baru. Saya sekamar dengan Mas Sukma Dede, seorang pendaki gunung. Di kamar, dengan sukarela Mas Dede bercerita. Tentu saja saya dengan senang hati mendengarkan. Dia menceritakan kisah hidupnya dari kecil, remaja, hijrah ke Aceh sebelum akhirnya ke Jakarta dan menikah dan memiliki anak dan masih naik gunung hingga hari ini. cerita berakhir kira-kira pukul tiga pagi.

Hari Pertama

Sabtu, 22 Agustus 2015, pukul 8.00 WITA, bus akan segera berangkat ke Gudang Tembakau di Montong Gamang, Lombok Tengah. Hanya ada 13 dari 15 peserta. Sejarah orang datang terlambat mungkin sudah ada sejak masa berburu dan meramu, tua sekali pokoknya. Mengerikan betul: perjalanan gratis, diberi uang saku dan segala macam, dan dua peserta itu masih terlambat. 8:30 dan dua peserta itu masih tidur. Luar Biasa. Seseorang menelepon dan membangunkan mereka. Yang satu sibuk mengangkat telepon; ia menjepit ponsel dengan bahu dan kedua tangannya memakai jeans, yang satu masih berusaha memastikan bahwa dirinya masih hidup. Orang kedua adalah saya.

Begitulah, saya memulai Jelajah Tembakau Nusantara di Lombok dengan 84% isi kepala masih bersama Monica Bellucci.

*

Kami tiba di tujuan dan berkenalan dengan Pak Iskandar, lelaki berusia 60 tahunan yang gerak-geriknya masih lincah. Pak Iskandar adalah perintis penanaman tembakau Virginia di Lombok. Saat ini, dia menjabat sebagai Senior Manager di stasiun tembakau itu. Pak Iskandar mengantar kami menuju ruang pertemuan, di sana kami diberi penjelasan singkat mengenai tembakau Virginia dan berbagi pengalamannya selama menggeluti tanaman itu. Ia begitu bersemangat. Dan antusiasmenya terhadap tembakau bisa terlihat dari caranya tersenyum saat salah satu di antara kami melontarkan pertanyaan. Pak Iskandar menjelaskan pola kemitraan antara petani dan pengusaha—suatu pola di mana kedua belah pihak mengedepankan asas untung-sama-untung—dan pendampingan, di mana petani diberi penyuluhan secara berkala. Kami juga diberi tahu bahwa luas perkebunan tembakau di Lombok kurang lebih 20.000 HA dan Pulau Lombok, didukung kontur tanah dan curah hujannya, sangat potensial untuk ditanami tembakau Virginia. Tidak heran jika pulau itu menghasilkan tembakau Virginia terbesar—sekitar 90% dari seluruh produksi tembakau Virginia nasional—dan terbaik. Dan di sela presentasi, dia berkali-kali menyelipkan kata ‘Virginia FC’.

Baca Juga:  Saya Tidak Merokok, dan Tidak Punya Masalah Berada di Lingkungan Perokok

Saat mendengar kata ‘Virgina’, yang muncul di kepala saya adalah eksplorasi Kerajaan Inggris, Ratu Elizabeth I The Virgin Queen, Koloni Jamestown dan para pencari harta yang kelaparan sebab mereka tidak bisa bertani—dan kemudian mereka menggantungkan hidup dengan ikan, suplai kerajaan, dan transaksi dengan Indian, pertumpahan darah, Powhattan dan anaknya Pocahontas—entah sejak kapan nama ini bercokol di pikiran saya—dan saat di kemudian hari tembakau menyelamatkan keterpurukan ekonomi di negara bagian itu. Dan, tentu saja, John Denver. Dan akronim FC segera mengingatkan saya pada Football Club—saya bukan penggemar sepakbola, tetapi di negeri ini kau tak perlu menjadi penggemar sepakbola untuk akrab dengan singkatan FC, kan?

Saya tahu Barcelona FC, tetapi rasa-rasanya belum pernah dengar Virginia FC.

Sabda Armandio Shooting GameDi belakang saya ada Eddward S. Kennedy, penulis esai sepakbola ternama. Kumpulan esainya ‘Sepak Bola Seribu Tafsir’ ludes di pasaran. Beberapa orang bahkan menyebutnya sebagai ‘filsuf sepakbola’, dan saingan ketat Mas Nuran dalam memperebutkan kursi Presiden Air Mata Nasional. Saat diskusi tengah berlangsung, Bang Panjul—sapaan akrabnya—asyik bermain shooting-game di ponselnya. Dia bukannya tidak menyimak, sesungguhnya saat itu dia sedang mempraktekkan jurus Raga Sukma di era informatika. Apa yang kita lihat di ruangan itu cuma cangkangnya saja, ruh Bang Panjul sedang mengamati kebun tembakau, melayang-layang di langit Lombok, seperti drone. Saya ingin sedikit main tebak-tebakkan dengan Bang Panjul. Tetapi karena sepertinya tidak lucu-lucu amat dan tidak ingin mengganggu ritualnya, saya mengurungkan niat. Kalau saya nekat, mungkin akan seperti ini dialognya:

“Bang, kenapa Virginia F. C nggak masuk Liga Champion?”

“Karena dia nggak berasal dari benua Eropa.”

“Salah, yang benar: karena Virginia F.C masuk oven.”

Hehe…

Ya. FC di belakang nama Virginia adalah kependekan dari Flue Cure. Suatu metode pengeringan tembakau dengan mengalirkan udara panas melalui flue atau pipa. Selama 24 hingga 60 jam pertama kelembaban berangsur menghilang, hingga kadar air benar-benar hilang saat gagang tembakau mengering.

Sabda Armandio Kretek Djarum

Setelah penjelasan singkat, Pak Iskandar mengajak kami ke gudang penyimpanan tembakau. Di sisi gudang terdapat tempat transaksi petani. Petani-petani yang baru panen membawa hasil panen mereka ke sana dan bernegosiasi harga dengan sistem yang tadi sudah saya jelaskan. Lalu kami tiba di gudang. Ada sekita 400 pekerja di gudang itu. Mereka bekerja sesuai bagian masing-masing. Di gudang pertama yang saya masuki, para pekerja—yang didominasi laki-laki—tengah menyortir tembakau dan membungkus mereka. Yang sudah siap akan dinaikkan ke semacam trolley dan diangkut ke mobil truk. Saya sempat berkenalan dan berbincang dengan seorang pekerja di sana. Dia bernama Pak Wahyudi, usianya saya taksir menyentuh kepala lima. Saya memperkenalkan diri sebagai Abdullah, agar terkesan Islami sebab sepanjang perjalanan saya menjumpai banyak Masjid yang lumayan megah.

Dorong Bu Sabda ArmandioSaya bertanya ini itu tentang proses panen dan pengiriman tembakau. Darinya pula saya tahu bahwa di Lombok belum ada pabrik rokok, dan semua tembakau di gudang akan dikirim ke Kudus dengan truk. Pak Wahyudi bercerita, selama menjadi pekerja keadaan ekonomi keluarganya berangsur membaik. Bahkan dia berencana menyekolahkan anak tertuanya ke Semarang, ada saudaranya yang tinggal di sana. Setelah merasa cukup mengganggu pekerjaannya, saya lantas meninggalkan Pak Wahyudi dan menghampiri Mas Nuran yang tengah berbincang di depan tumpukan tembakau dengan Pak Iskandar.

Enjoy Pak Sabda Armandio

Saya beralih ke gudang kedua, di sana saya bertemu dengan sekelompok ibu-ibu yang sedang menganyam tikar yang akan digunakan untuk membungkus tembakau. Ibu yang saya temui agak pemalu dan cenderung menutup diri, Mas Effener sudah ada di belakang saya dan meminta izin kepada si ibu untuk memotret kegiatannya. Ibu itu segera menutup wajahnya dengan tikar yang sedang dianyam. Malu, katanya.

Ya, sudah. Saya pergi menyusul Pak Iskandar yang sudah di depan.

Tembakau Nusantara Sabda ArmandioPak Iskandar mengantar kami ke belakang stasiun tembakau, di mana kita bisa menjumpai oven raksasa berbaris. Oven-oven itu sudah digunakan cukup lama—saya lupa tepatnya sejak kapan oven ini mulai beroperasi. Mereka bertugas mengeringkan tembakau. Setelah dipastikan kering, tembakau lalu disortir menurut kualitasnya tadi dan dibungkus dengan tikar anyaman ibu pemalu tadi oleh teman-teman Pak Wahyudi. Sebelum akhirnya dinaikkan ke atas truk dan dibawa menyeberangi laut, menuju Kota Kudus. Akan lebih mudah, sebenarnya, jika di Lombok dibangun Pabrik Rokok. Dan belakangan saya ketahui memang itulah harapan para petani dan pekerja di Lombok.

Tembakau Nusantara Sabda ArmandioDari Stasiun Tembakau, Pak Iskandar mengajak kami ke Desa Pademare. Di desa itulah saya dibikin takjub. Tembakau menghampar hingga titik hutan di seberang sana. Saya membayangkan para petani tembakau beramai-ramai menanami bibit hingga ke ujung sana—tinggi tembakaunya relatif sama, kemungkinan ditanam dalam waktu berdekatan. Dan mereka merawatnya setiap hari. Tembakau dikenal dengan sifatnya yang manja, dia perlu perhatian lebih. Salah sedikit bisa mengalami kerugian besar. Jadi, silakan bayangkan sendiri bagaimana mengurus perkebunan yang luas ini.

Sabda Armandio Tembakau Nusantara Lombok

Jika di pabrik menggunakan mesin untuk mengeringkan tembakau, di sini tembakau dibuatkan rumah. Serius. Sebuah rumah setinggi tiang listrik di dekat ruamh saya. Pada dinding luarnya menempel batang-batang bambu, mengingatkan kita pada tonolan batu (point) pada olahraga panjat dinding. Bambu-bambu itu melintang di dalam ruangan Oven Tembakau Sabda Armandiountuk menjemur tembakau. Di bagian bawah, pipa-pipa mengalirkan panas untuk mengeringkan daun tembakau yang baru tergantung di atasnya. Panasnya sendiri berasal dari tungku di luar ruangan, penduduk menggunakan bahan bakar seperti kayu bakar dan batu bara, kebanyakan menggunakan cangkang kemiri, dan LPG.

Saya bersaksi melihat Bang Panjul berbicara dengan tembakau. “Saya,” katanya kepada saya dalam suatu kesempatan imajiner, “mendapat bisikan gaib dan harus segera menyampaikannya kepada umat manusia.”

Memang sakti betul orang ini.

Mata saya terpejam dan tiba-tiba saya sudah berada di sebuah rumah makan. Saat saya menoleh ke belakang, Bang Panjul lagi-lagi duduk tepat di belakang saya. Dia tersenyum seolah berkata, “Jangan heran begitulah, teleportasi itu biasa saja.”

Baiklah.

Sabda Armandio LombokSaya lalu berfokus pada pembicara malam itu, Bapak Martadinata, seorang budayawan. Gaya bicaranya asyik sekali. Dia bercerita mengenai masa kecilnya dan bagaimana ia tumbuh bersama tembakau di desanya, dan dia turut pula menyaksikan perubahan demi perubahan yang terjadi setelah tembakau mulai diberdayakan di Lombok. Sesekali diselipi humor-humor segar Islami sehingga membuat suasana diskusi nyaman dan hangat. Pak Martadinata banyak berbicara tentang tembakau, mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh teman-teman dengan baik, dan ia tidak merokok.

Baca Juga:  3 Alasan Merokok Terlebih Dahulu Sebelum Nonton Avengers: Endgame

Diskusi ditutup dengan sedikit pesan dari Pak Martadinata, dan sebagaimana pesan ia harus disampaikan: Lombok adalah pulau yang aman, pencurian atau hal-hal buruk bisa terjadi di mana saja, tetapi kami (masyarakat Lombok) memastikan bahwa Lombok adalah pulau yang aman dan cinta damai.

Sampai di hotel, saya mendapat kiriman dua botol bir dari Mas Nody. Lalu saya diundang ke kamarnya, di sana ada Mas Nuran, Bang Panjul, Mas Eko, dan lainnya. Kami bercerita ngalor-ngidul sembari menikmati tuak dan bir dan kacang. Di dalam kamar itu, Bang Panjul mempraktekan kepada kami cara menangis yang benar. Tetapi kemudian Mas Nuran membantah keras, dan mengajarkan cara menangis yang lebih baik. Keduanya selama ini ternyata berlomba-lomba menemukan cara menangis yang baik dan efektif. Luar biasa.

Mas Nuran pamit lebih dulu, menyusul kemudian saya dan Bang Panjul.

Hari Kedua

Ya, tebakan kalian salah! Hari kedua saya bangun pagi. Saya sudah sarapan dan sedang menikmati kopi sambil menghitung jumlah motor yang lewat di jalan raya depan hotel pagi itu. Saya baru menghitung sekitar 37 motor saat teman-teman yang lain ikut pula duduk di dekat saya. Kami sedikit berbincang sebelum bersiap menuju Desa Lekor.

Bus dinyalakan, pemutar musik memainkan lagu-lagu rock balada dan evergreen love song. Di depan saya, Agus Magelangan tak putus-putusnya bernyanyi. Senang betul kelihatannya dia. Saya duduk bersama Mas Nody ‘Friendzone’ Arizona di kursi paling belakang, kami berdua sama-sama mencoba untuk tertidur.

Makan waktu sekitar satu jam, menembus jalan yang berliku-liku dan pemandangan kanan kiri yang begitu indah dan ini saya bohong karena setelah lagu I Got the Blues dari The Rolling Stones berakhir saya tertidur pulas. Lagu Stones yang itu memang brengsek: dia seperti gadis yang tengah pelan-pelan menggerayangi tubuhmu dari kaki hingga leher dan saat organ Hammond masuk kau sudah begitu bergairah, namun ketika suara Hammond berakhir, gadis itu mendadak lenyap. Libidomu yang sudah terlanjur tinggi segera berlarian ke kelopak matamu: tidurlah. Maka kau tertidur. Efek yang kurang lebih sama bisa kau jumpai di lagu When The Levee Breaks-nya Led Zeppelin, bedanya saat mendengar lagu Led Zeppelin yang itu kau akan membayangkan gadis yang menggerayangimu berasal dari bangsa Viking, ia bernama Solveig Finnadottir atau Asny Dala-Koldottir atau nama lain yang kau bahkan tak bisa menyebutkannnya dengan benar, apalagi mengingatnya. Karena itu kau mengantuk.

Sabda Armandio LombokDi Desa Lekor, kami berkenalan dengan Pak Sabarudin, ketua kelompok tani Beriuk Nambah. Ada sesuatu yang menarik dalam cerita Pak Sabarudin, seorang penduduk mereka, yang kebetulan ada di sana bersama kami—sayangnya saya lupa namanya—lelaki itu duduk di antara Pak Iskandar dan Pak Sabarudin. Bertahun-tahun lalu, saat Desa Lekor menjadi sarang kriminal, lelaki itu memutuskan minggat ke Papua. Sebab tak ada yang bisa diharapkan dari Desa Lekor saat itu. Dan tembakau datang menyelamatkan desa itu dari keterpurukan, mengembalikan kepercayaan desa lain kepada orang-orang Lekor—dulu, jika ada kehilangan di desa sebelah maka orang akan segera menduga pencurinya adalah orang Lekor.

Setelah dari Desa Lekor kami mengunjungi desa adat dan pantai dan sebagainya. Menurut info dari Mas Dhani, ternyata air laut nusantara itu air mata Bang Panjul. Pantas asin.

Malamnya kami tiba di hotel. Mas Dede mengajak saya untuk nongkrong di kafe sebelah, nonton bareng Liga Inggris, tapi saya keburu capek. Saya rebahan di sofa, membakar rokok, dan mendengarkan Eye in the Sky dari The Alan Parsons Project. Masuk ke lagu ketiga, saya mendekati jendela, dan mendapati sepasang kekasih sedang bermesraan di alun-alun seberang hotel setel. Lagu Children of the Moon berputar, liriknya segera mengarahkan saya pada ingatan mengenai Desa Lekor tadi. Salah satu tugas masa lalu, barangkali, adalah melahirkan harapan. Tembakau memberi mereka kesempatan-kesempatan baru, harapan baru.

Senin subuh kami pulang.

*

Cerita tentang tembakau bukan melulu cerita perokok dan non-perokok, apalagi dongeng murahan tentang bahaya merokok.

Ngeeeeng Sabda Armandio

Kenapa selalu kematian yang dibuat sebagai sarana menakut-nakuti orang? Kematian, bagi sebagian orang, memang mengerikan, tetapi kita sudah pasti mati. Dan, yah, tak perlulah dibuat sebagai alat propaganda segala. Tidak, saya bukan takut membicarakan kematian, kalian bisa baca satu atau dua cerpen saya di dalam blog ini. Saya cuma berpikir, buat apa kematian ditampilkan untuk membuat orang takut menghisap rokok? Sumber kematian bukan cuma rokok. Selama kau bernapas, kau berpotensi membunuh orang lain dengan berbagai cara yang mungkin kau sendiri tak menyadarinya. Saya kira, yang lebih buruk dari kematian seorang secara pribadi adalah kematian sosial. Saat kau mati, kau akan emninggalkan tatanan sosial. Kau tak perlu lagi merepotkan kemiskinan tetanggamu, ketidak-adilan negara, atau yang semacamnya. Tetapi, coba bayangakan jika struktur sosial mati? Dan kau masih hidup; kau hidup di dalam dunia yang sudah tak ada lagi hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial. Dan saya kira, setelah melihat sendiri bagaimana kehidupan sebelum dan sesudah tembakau di Lombok, kampanye anti-rokok mesti memikirkan ini.

Saya boleh saja sudah menyembah kaleng kerupuk, tetapi saya akan tetap menikmati saat saya membantu ibu saya menggulung adonan kue nastar, menganyam kulit ketupat, atau berkumpul di hari raya. Sebab yang seperti itu sudah bukan soal apakah kau bisa bicara dengan kucing atau kau bisa berdialog dengan jin muslim. Begitu pula tembakau: ia sudah hadir dalam perjamuan, dalam obrolan saya dengan orang asing yang sama sekali tak saya kenal, dalam ingatan tentang kakek saya. Sekalipun suatu hari saya bosan dan memutuskan untuk berhenti merokok kretek, saya tidak akan membenci perokok sedemikian rupa. Sebab tidak mungkin bagi saya melenyapkan tembakau dan kretek, jika saya melenyapkannya maka lenyap pula bayangan tentang betapa keren kakek saya. Kau boleh tidak merokok, tetapi cobalah untuk mengerti bahwa kau hidup di suatu bangsa di mana tembakau dan kretek sudah menempati tangkai sendiri dalam pohon keluarganya. Coba bayangkan apa yang akan terjadi bila tangkai itu sengaja dipatahkan?

Bayangkan.

*

Saya naik pesawat dan setiap kali ia terjadi guncangan, saya memikirkan kematian. Keparat memang. Perkara mati sungguh merepotkan, kalau dipikirkan. Tetapi hidup, meski singkat, rasa-rasanya terlalu penting untuk diabaikan.

Sumber: Folks Agraria

Sabda Armandio
Latest posts by Sabda Armandio (see all)