Search

Jangan Mati Sebelum Merokok

Zaidun tertangkap tangan merokok sambil buang hajat. Bau asap rokok yang harum sampailah pada hidung pengurus yang kebetulan sedang lewat depan kamar mandi. Santri cerdas yang tak pernah memiliki cacatan kesalahan itu pun disergap dan digelandang menuju kantor pengurus. Ia diinterogasi.

Beberapa jam kemudian, Zaidun terlihat berdiri lesu di pelataran pesantren. Potongan rambutnya menjadi acak-acakan, gundul. Mukanya merah, bukan karena malu atau marah, melainkan bekas sabetan sajadah. Di dadanya tergantung kardus bertuliskan “Nikmatnya rokok sambil ngising”. Hari itu, Zaidun menjadi tontonan seluruh santri pesantren.

Begitulah kira-kira gambaran hukuman untuk para santri yang melanggar peraturan pesantren, khususnya untuk menghakimi para santri yang doyan asap tembakau, seperti Zaidun. Bagi santri mbeling, hukuman seberat apapun tak akan bisa menghentikan langkah kaki mereka untuk mencari tempat aman guna menghisap sebatang rajangan emas hijau yang nikmat itu.

Bahkan kalau dompet kosong, kiriman tak kunjung datang padahal hasrat ingin klepas-klepus sudah tak tertahankan, santri-santri mbeling rela berjalan menunduk sepanjang jalan untuk mendapatkan tegesan (puntung rokok). Ketika menemukan yang masih layak hisap, lantas pungut, taruh saku dan mencari tempat persembunyian untuk menikmatinya. Maka tak heran jika mereka memiliki dalil sendiri untuk masalah ini, nikmat al udud ba’da dahar (nikmatnya merokok setelah makan) atau wala tamutunna illa waantum “rokoun” (jangan mati sebelum kalian merokok). Kisah cinta santri dan rokok seperti kisah masyhur Laila dan Majnun. Tak ada yang bisa memisahkan keduanya.

Mereka seakan tak takut mati karena merokok, seperti santernya kabar yang dibawa para sedulur aktipis anti tembakau yang sering meneriakkan “merokok membunuhmu”. Mereka juga tak takut dengan gambar yang menyeramkan nan menjijikkan yang menghiasi bungkus-bungkus rokok.

Baca Juga:  Kenapa Samsu Kretek Memiliki Ragam Panggilan

“Bila masih merokok, berarti imannya tebal, sebab lebih percaya Allah daripada kata aktivis itu atau bungkus rokok. Yang bikin manusia mati itu kan Allah, bukan orang atau bungkus rokok!”

Santri tak pernah takut dengan peraturan, yang mereka takuti hanya dukonya (marahnya) kiai. Sebab takut kuwalat, takut tak barakah ilmunya. Namun entah kenapa, sekeras apapun kiai melarang, tetap saja masih banyak yang merokok. “Lha Mbah Yai aja masih ngerokok, masak kita ndak boleh merokok! Kita kan meniru kiai,” ujar mereka.

Meski kebutuhan merokok membuat santri menjadi nekat, nekat melanggar peraturan dan nekat memberanikan diri menerima konsekuensi jika kepergok. Tapi percaya atau tidak, rokok memberikan banyak manfaat bagi para santri, baik dalam menambah isi otak maupun mengasah daya kreatifitas mereka. Banyak santri yang suka nyepi menghisap batang demi batang rokok sembari memegang kitab. Asap yang keluar dari mulut mereka sekan menjadi hiburan di tengah padatnya kegiatan pesantren.

Tak berhenti sampai di situ, beberapa pesantren di Blora, banyak santri begitu menggandrungi budaya nglelet atau membatik rokok. Semalam suntuk mereka rela duduk nutal-nutul rokok dengan kopi. Karena membudayakan nglelet tersebut, banyak santri yang mahir dalam bidang kaligrafi. Semakin baik pola batik yang digambar di atas rokok, berarti semakin baik pula saat mengkreasikan huruf Arab menjadi kaligrafi yang memanjakan mata.

Baca Juga:  Pulang, dan Tak Ingin Pulang Lagi

Santri Lebih Paham Etika Merokok

Dari puluhan ribu perokok, mungkin hanya ratusan orang yang memahami etika merokok. Lihatlah, masih banyak perokok yang tak menghormati orang lain. Mereka menganggap, di mana kaki menapak, di situlah lapak untuk menghempaskan asap rokoknya. Apalagi di Jakarta, jalanan macet, gerah membuat marah, masih saja banyak orang yang klepas-klepus bermain asap.  Ini bukan berarti pengengkangan hak, melainkan rasa kemanusiaan terhadap sadara yang lain, yang mungkin tak begitu suka dengan asap.

Berbeda dengan santri, maski banyak kalangan yang menganggap santri adalah pelajar kolot yang kurang begitu tahu perkembangan zaman, untuk masalah etika dalam merekok tentu santri lebih bisa dibanggakan. Santri tahu, bahwa merokok dalam angkutan umum tak etis dan mengganggu orang lain. Mereka juga tak pernah membuang sembarangan puntung rokok. Selesai merokok harus dibersihkan sebersih mungkin. Karena kalau dibuang sembarangan bisa berakibat fatal pada nasib mereka. Maka mereka harus safety, selesai hisap, puntung buang pada tempat sampah.

Kalau Dikau mengaku orang pintar, namun masih merokok di mana-mana, lantas tidakkah malu terhadap santri yang dianggap kolot dan tak paham perkembangan zaman namun bisa memanusiakan manusia lain?

Ibil S Widodo