Jakarta ulang tahun lagi. Wajah ondel-ondel banyak mejeng lagi di mana-mana; di spanduk ucapan dirgahayu DKI, di kantor-kantor instansi pemerintahan, juga di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta. Bukan cuma dalam bentuk gambar, boneka besar setinggi 2,5 meter ini adalah maskot Jakarta yang sejak kemunculan PRJ (Pekan Raya Jakarta) pada era Ali Sadikin memiliki arti tersendiri. Yang setiap masuk bulan Juni terasa meriah dirayakan kehadirannya. Termasuk dalam tema-tema sejumlah program (variety show) di televisi kemudian.
Sebetulnya yang serupa ondel-ondel di Jakarta, dikenal juga di Pasundan dengan sebutan Badawang. Di Cirebon punya sebutan Barongan Buncis, sedangkan di Bali lebih dikenal dengan nama Barong Landung. Diperkira jenis pertunjukan semacam itu sudah ada sejak sebelum tersebarnya agama Islam di Pulau Jawa.
Awalnya ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala; musibah maupun penyakit, yang dianggap sebagai gangguan dari roh halus yang gentayangan. Tak heran kalau dalam proses pembuatan ondel-ondel dulu, ada sederet ritus yang menyertainya. Diantaranya menghadirkan sesajen bubur merah-putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga tujuh rupa, dan tak ketinggalan dibakari kemenyan. Menurut istilah setempat upacara demikian disebut ngukup. Sebenarnya tidak ada musik yang khusus untuk mengiringi arakan Ondel-ondel. Terkadang Tanjidor, Kendang Pencak, Bende, atau Rebana Ketimpring.
Sebagai kesenian rakyat, ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita, sebagaimana halnya dengan “bekakak” dalam upacara “potong bekakak” di gunung gamping sebelah selatan kota Yogyakarta yang diselenggarakan pada bulan Sapar.
Sebelum ondel-ondel berangkat main juga diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, disertai rapalan mantera yang dialamatkan kepada roh halus yang dianggap ‘penunggu’ ondel-ondel. Dulu, ondel-ondel juga suka diberi madat (semacam ganja), yang pada masa itu terbilang si orang yang berada dalam boneka besar itu dalam kondisi kerasukan. Sejak madat dilarang Pemerintah, seiring perkembangannya kemudian digantikan dengan lisong (sebutan lain cerutu). Tetapi kini penggunaan lisong sudah tidak terlalu diutamakan lagi, bahkan bisa dibilang terabaikan.
Ondel-ondel dan lisong adalah produk kebudayaan yang mencirikan spirit suatu masyarakat dalam mengejawantahkan nilai-nilai tradisi yang dianutnya. Searus pula dengan perkembangan fungsi produk kebudayaan itu kemudian. Maka tak heran, pasca Jakarta sempat dibersihkan dari aksi hiburan topeng monyet yang mengamen, kini tergantikan oleh maraknya iring-iringan orang yang mengamenkan ondel-ondel. Apa sebab ? Karena penonton dan tontonan adalah kita.
Ditilik dari penyebutannya, kata lisong dan ondel-ondel adalah kata serapan yang berasal dari warga keturunan Cina di Jakarta, terutama keturunan Hokkian atau Hakka. Hal itu dimungkinkan karena penutur bahasa Hokkian paling awal datang ke Nusantara. Hal yang sama terjadi pada kata serapan dalam ranah permainan judi seperti maciok, ceki, hwa-hwéé, capjiki, samgong. Permainan judi terbilang pula sudah “merakyat”, demikian pun halnya permainan roh seperti jelangkung.
Selain untuk memeriahkan arak-arakan, pada masa lalu ondel-ondel biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, “ngamen”. Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru Masehi maupun Imlek. Pendukung utama kesenian ondel-ondel adalah petani yang termasuk “abangan”, khususnya yang terdapat di daerah pinggiran Jakarta. Penggunaan lisong dalam pertunjukan ondel-ondel ini merupakan bahasa simbol penghormatan, seperti yang berlaku pada kesenian cokek di Tangerang, sesajen berupa kue tujuh rupa, kopi manis, kopi pahit, telur mentah sepasang, sirih, serta dua batang kretek (ada yang mengisyaratkan dengan merek Djinggo juga Gudang Garam Merah). Merupakan bagian dari tradisi yang masih lazim dilakukan.
Semua unsur itu wajib disuguhkan di bawah instrumen gambang. Sebelum gambang kromong pengiring cokek ditabuh, semua instrumen pukul itu diasapi dupa. Bagi masyarakat Betawi, lisong sebagai sesajen lazim pula disuguhkan sebelum hajatan sunat atau khitanan digelar, spiritnya adalah pengharapan akan keselamatan. Bahkan menurut laman historia.id, Soeharto punya kebiasaan menggunakan lisong (cerutu) sebagai bahasa simbolik atas penggambaran suasana hatinya (baca: Saat Soeharto Menghisap Cerutu). Jika pun ia disebut sebagai bentuk lain dari “ondel-ondel” sejarah, yang pada masanya tak luput disinggung juga lewat sajak WS Rendra dalam sajak Sebatang Lisong.
Namun ada yang perlu pula dibaca dari kertas sejarah, cerutu a.k.a lisong buatan Indonesia adalah salah satu komoditas yang cukup dikenal di mancanegara. Tembakau Deli dan Jember adalah dua nama daerah penghasil tembakau untuk cerutu terbaik yang diekspor ke pelbagai negara di Eropa.
Alangkah brengseknya kita sebagai bangsa jika kemudian melupakan produk olahan tembakau yang satu itu. Meski terdapat stereotype miring kepada penghisap cerutu yang diidentikkan bermental kolonial, bahkan kemudian hal itu pun tak luput dikaitkan kepada penghisap kretek. Dengan beragam tuduhan negatif yang dilancarkan para “ondel-ondel” pelaris kepentingan industri farmasi. Yang disasar bukan semata kandungan istimewa pada tembakau serta komoditas yang dihasilkannya. Melainkan pula modal tradisi di ranah pertembakauan kita.
Dirgahayu Jakarta, Dirgahayu kota ondel-ondel !
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024