Press ESC to close

Dongeng Kambing Hitam dan Rokok

Baiklah para hadirin majelis dongeng yang berbahagia. Khusus pada kesempatan ini saya ingin mengangkat secuplik dongeng inspiratif, yang semoga hadirin semua dapat ‘memetik’ hikmahnya. Kenapa saya pakai kata ‘memetik’? Karena suatu hikmah itu seperti pohon tembakau—daun dan buahnya dapat dikelola untuk kemaslahatan banyak pihak. Salah satunya dari jenis tembakau Sugi. Tak salah jika ada yang gemar menikmati buahnya sebagai pelengah hari. Persis saat saya menikmati rokok. Betapa pun anugerah Sang Pencipta tak ada yang sia-sia dihadirkan.

Jauh sebelum muncul istilah ‘kambing hitam’. Istilah itu acap disematkan pada objek maupun subjek yang ditumbalkan yang muasalnya diserap dari sebutan space goat sebagai kata lain dari tumbal. Kemudian istilah ‘kambing hitam’ itu menjadi populer berkat kerja surat kabar dan sejenisnya di negeri kita. Kenapa selalu ada yang ditumbalkan? Nah ini…

Alkisah begini, dulu itu pernah berlangsung suatu musyawarah besar para kambing. Yang dihadiri perwakilan dari berbagai jenis kambing. Musyawarah besar itu menghasilkan suatu keputusan ajaib. Kambing yang berperilaku tak sesuai dengan norma politik kesehatan dan keimanan sebagaimana didoktrinkan peternak kambing, maka ia layak di-bully dan dihukum sesuka kambing lainnya. Intinya, sidang itu menghasilkan kata sepakat. Para kambing tidak ditakdirkan untuk mengonsumsi tembakau, apalagi merokok.

Baca Juga:  Filter Rokok Babi Masih Percaya?

Kenapa tembakau dan rokok ditumbalkan? Karena rokok adalah sumber segala penyakit. Kandungan nikotin di dalamnya memberi laba besar bagi tukang obat. Tidak bagi kita. Karena itu, tembakau tidak cocok dilalap kambing, kecuali daun nangka, daun jambu, daun rambutan, daun pepaya, pokoknya asal bukan daun tembakau. Semua kambing di Mubes itu pun bersepakat. Lalu mengembik sama, kecuali si kambing hitam. “Saya nggak sepakat, diskriminatif itu, apalagi harus membenci sesuatu tanpa dalil rasional. Saya walk out. Dasar kambing kalian semua!” ujarnya seraya berjalan membelah kerumunan.

“Sok keren lu kambing item!”

“Biarin, daripada lu kambing congek!”

Kambing hitam itu melenggang keluar dari ruang Mubes diiringi dua temannya yang berbulu coklat dan putih. Kemudian tersusul dengan ejekan khas para kambing lainnya. Kambing yang walk out itu sadar betul meski ia tidak merokok, ia hidup di desa bersama para petani yang rata-rata gemar merokok. Laknat betul jika ia harus membenci orang yang tekun dan tulus memedulikan nasibnya.

Perlu hadirin sekalian ketahui bahwa, sebetulnya daun tembakau juga dibutuhkan untuk kesehatan kambing, apalagi jika ia stress karena penyakit cacingan. Daun tembakau juga dapat meningkatkan nafsu makan kambing. Seperti daun anting-antingan yang dibutuhkan untuk pencernaan kucing. Tujuan dari musyawarah besar itu tak lain, demi melancarkan misi peternak yang merasa paling waras, merasa paling benar, dan merasa paling saleh itu, agar dapat…

Baca Juga:  Menyimpan Mbako dalam Slepen

“Interupsi, Kak!”

“Ya, silakan.”

“Siapa yang dimaksud dengan ‘kambing lainnya’ itu?”

“Ya kambing yang bersepakat membenci tembakau, rokok, juga penggunanya.”

“Kenapa mereka bersepakat?”

“Karena mereka kambing.”

“Lha yang walk out itu kambing juga kan?”

“Betul, kambing yang menyamar.”

“Jangan bilang kalau itu sampeyan yang menyamar ya, Kak.”

“Hayo, yang ngerasa pernah jadi kambing hitam ngacung!”

Seluruh hadirin sontak tertawa. Majelis dongeng yang semula agak serius menjadi cair. Beberapa dari mereka membakar rokok lagi. Meneguk wedangan, serta mencaplok kudapan yang tersedia. Disusul kemudian seorang hadirin lainnya mengambil peran sebagai pendongeng, melariskan dongeng Gagak dan Kabil sebelum mengubur Habil.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah