Press ESC to close

Belajar Merayakan Perbedaan dari Imlek

Merah, itulah warna ya yang memeriahkan setiap perayaan Imlek. Warna ini digunakan pada lampion, pada pakaian yang dikenakan, hingga angpao yang diberikan. Penggunaan warna merah pada hampir setiap atribut Imlek bukan sekadar untuk memeriahkan, namun memiliki arti tersendiri. Karena dalam tradisi orang Tiongkok, warna merah dianggap sebagai pembawa keberuntungan pada tahun yang baru ini.

Berbicara mengenai Imlek, di Indonesia hari besar ini baru bisa dirayakan setelah orde baru tumbang. Sebenarnya perayaan Imlek di Indonesia telah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Bahkan pada tahun 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama Nomor 2/OEM-1946. Pada Pasal 4 peraturan itu menyebut tahun baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng (membersihkan makam leluhur), dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek), sebagai hari libur.

Sayangnya, setelah Soekarno dijatuhkan dari kekuasaannya, perayaan Imlek dilarang secara resmi oleh negara berdasar Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang  melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk Imlek. Sebenarnya peraturan ini bukan melarang perayaan Imlek secara total, namun hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga saja. Tak boleh ada perayaan terbuka, tak boleh ada perayaan bersama.

Baca Juga:  Kak Seto, Jangan Ajari Anak-Anak dengan Gaya Boomer!

Pada masa-masa ini, diskriminasi pada masyarakat keturunan cina makin menjadi-jadi. Mereka diminta untuk menanggalkan nama cinanya serta dipaksa meninggalkan agama dan kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Pemaksaan ini justru amat tidak Indonesia mengingat negara ini terdiri atas bangsa-bangsa berbeda yang dipersatukan oleh penderitaan.

Beruntung setelah orde baru tumbang, Presiden Abdurrahman Wahid yang menggangantikan pengganti Soeharto mencabut Inpres tersebut dan menetapkan Imlek sebagai hari libur melalui Keputusan Presiden Nomor 19/2001. Karena keputusan inilah kemudian Gus Dur (sapaan akrabnya) dianggap sebagai Bapak Masyarakat Tionghoa.

Sejak saat itulah, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Imlek. Mulai saat itu pula, berbagai kebudayaan yang melekat pada masyarakat Tionghoa, seperti barongsai, dipertontonkan di depan umum dan hingga kini banyak dikenal masyarakat.

Maka pada setiap perayaan Imlek, nama Gus Dur selalu disebut sebagai tokoh yang berani merayakan perbedaan. Tanpa sikap mau menang sendiri, merayakan Imlek sebagai hari raya bagi sebagian warga Indonesia adalah suatu hak yang tak boleh dirampas. Dalam hal ini, sosok Gus Dur sudah tak lagi ada pada tahap menghargai perbedaan. Namun beliau sudah bisa merayakan perbedaan tanpa ada sikap mau menang sendiri dan mendiskriminasi orang atau kelompok lain.

Baca Juga:  Review Rokok Ziga, Opsi Lain Kretek Harga Terjangkau

Hal seperti inilah yang perlu kita maknai dan pelajari dari perayaan Imlek. Bahwa setiap warga negara memiliki hak dan wajib menghargai hak orang lain. Bukan malah melarang-larang warga negara untuk melakukan aktivitas yang dilindungi undang-undang.

Begitu pula dalam persoalan merokok. Para perokok harus bisa menghargai hak masyarakat lain yang tidak merokok, pun sebaliknya yang tidak merokok harus mau menghargai hak mereka yang merokok. Toh semua telah ada ruangnya, tinggal memiliki kesadaran maka tak bakal ada lagi yang namanya merampas hak orang lain.  Selama setiap orang bisa saling menghargai, maka merayakan perbedaaan adalah keniscayaan yang dapat terwujud.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit