Press ESC to close

Inilah Waktu Ketika Aktivitas Merokok Menjadi Lebih Nikmat

Selain perokok itu sendiri, sukar rasanya untuk mengetahui bahwa aktivitas merokok itu memang benar-benar nikmat. Apalagi di beberapa waktu tertentu. Disadari atau tidak, inilah yang menjadi pertanyaan lazim yang sering perokok dengar sehari-hari, baik dari teman, sahabat, keluarga, hingga pacar. Kenapa mereka bertanya? Ya, tentu saja karena mereka tidak merokok.

Mereka inilah orang yang suka ribet sendiri. Ingin tahu rasanya merokok padahal tidak mau mencobanya. “Memangnya apa sih enaknya rokok? Wong cuma asap dikeluarin”, kira-kira begitulah pertanyaan yang telinga kita lazim sering dengar.

Aneh. Melihat orang seperti ini, sering buat saya gemas sendiri. Ingin tahu, tapi tak mau merasakan. Yang ada malah suka mengeluh di depan teman-teman perokok lain. Beberapa teman wanita memang memiliki keberanian untuk berseloroh dalam hal ini. Tapi ya memang, beberapa perokok lebih banyak tidak menanggapi kelakar-kelakar mereka itu.

“Ah, mereka itu orang-orang yang tak pernah tahu rasanya nikmat kecuali dari manisnya lelehan es krim”. Beberapa perokok mungkin akan bergumam mirip begitu kepada kelompok fundamental antirokok jenis ini. Ada yang ikut berkelakar menanggapinya, “jangan coba-coba kalau enggak mau ketagihan”. Sementara yang lainnya memilih diam.

Eh sebentar. Ada lagi sih, tipe penanya rasa rokok itu yang akhirnya mencobanya sendiri. Dan beberapa hari kemudian ia akan menanyai hal serupa, sampi akhirnya sebatang rokok pun lekat dan terus menyelip di bibirnya. Wahahaaa

Ya, ini memang soal rasanya nikmat merokok. Saya akan kasih sedikit bocoran di sini kepada jemaat sidang kaum antirokok tentang nikmatnya rasa rokok. Dan, yang perlu kalian tahu, selain memang nikmat, ada beberapa waktu tertentu di mana aktivitas merokok ini akan menjadi lebih nikmat dari biasanya. Kapankah itu? Simak saja ya. Dan rasakan sensasinya sendiri.

Sehabis makan

Ini yang paling lazim diucapkan jemaat rokok sekalian. Momen paling sukar untuk ditinggalkan para perokok untuk merasakan nikmatnya rokok memang adalah sehabis makan. Saya di pesantren dulu punya dalil sendiri dalam hal rokok sehabis makan ini. al ududu wajibun bada akl yang artinya, “rokok itu wajib sesusah makan”. Para alumni pondok atau orang NU tentu lazim dengan dalil tersebut. Tentu hanya sebuah joke, namun secara tidak langsung mengisyaratkan betapa dekatnya aktivitas merokok itu di kalangan pesantren.

Baca Juga:  Ketika Mahfud MD Ditakut-takuti agar Berhenti Merokok

Memang, sukar menggambarkan nikmat rokok sehabis makan ini. Hingga kini pun teori kedokteran rasanya belum menemukan bagaimana aktivitas merokok sehabis makan itu rasanya akan jauh lebih nikmat. Bahkan dari seenak apapun rupa masakan atau makanan.

Ditemani perokok lain

Bertemu dengan perokok lain adalah waktu di mana perokok mendapatkan surganya. Sekalipun harus terasingkan dalam ruang sempit khusus merokok. Inilah mengapa beberapa orang atau perokok menyukai aktivitas nongkrong. Tak ada alasan khusus untuk membicara masalah ini itu. Ini hanya soal spritualitas dalam aktivitas merokok. Ada hal yang tak pernah dirasakan oleh siapapun, kecuali perokok itu sendiri.

Di waktu ini pulalah, sebungkus rokok akan tak terasa tandas. Bukan karena diminat oleh teman kita yang tak membawa rokok. Tapi waktu yang kita habiskan dengan teman sambil merokok adalah waktu yang tak pernah dipastikan, kecuali azan subuh.

Di waktu hujan

Sebagian perokok mengatakan, merokok di waktu hujan adalah untuk menghangatkan. Tapi saya bertahun-tahun merokok di waktu hujan itu sungguh tidak terasa hangat. Tapi memang, ada nuansa yang tak tergambarkan merokok di waktu hujan. Sebetulnya lebih bukan hanya hujan, lebih tepat mungkin merokok di waktu cuaca dingin, baik itu karena hujan atau dalam derajat cuaca tertentu. Mulut rasanya tak ingin berhenti mengeluarkan asap. Meski saya yakin, itu tak benar-benar membuat tubuh hangat.

Ditemani segelas kopi

Ini salah satu pasangan abadi yang diciptakan Tuhan di dunia ini. Saya berspekulasi Tuhan hanya tidak memasukkannya saja di kitab suci. Kopi dan rokok adalah sehakikat-hakikatnya pasangan itu diciptakan. Perpaduannya sukar untuk dicarikan lawan tanding. Kenapa tidak dengan teh manis anget misalnya, es teh, atau es krim sekali pun, tak ada yang tahu.

Baca Juga:  Perda KTR Tak Akan Efektif Tanpa Infrastruktur Ruang Merokok

Seperti halnya rokok sehabis makan, menikmat rokok dengan kopi itu adalah nikmat yang sukar dicarikan lawan tanding. Tak ada teori kedokteran yang bisa menjelaskan hal ini; mengapa rasa rokok bisa menjadi tambah nikmat dengan ditemani segelas rokok. Tak perlulah apalagi dengan ditemani dengan rupa-rupa kopi kelas arabica untuk menemani rokok, cukup kopi saset ala warkop untuk merasakannya.

Jadi begini, kalo antum-antum berpikir nikmat sebatang rokok adalah dari rasa, seperti rasa manis, asam, pahit, apalagi kecut, maka antum sudah jatuh dalam kolonialisme dan kejahatan lidah abad 21. Ini serius. Tahu kenapa? Pertama, soal lidah adalah soal kebiasaan. Orang-orang bule sana mungkin akan sedikit heran dengan citarasa masakan Indonesia yang di lidah rasanya akan rupa-rupa; asam, manis, pedas, asin, dan sebagainya.

Begitu pula sebaliknya, orang Indonesia akan muntah-muntah, tentu yang tak terbiasa, acap ketika merasakan masakan orang-orang bule. Saya tidak yakin, apakah kakek-nenek antum semua akan doyan rasanya fitsa hats, misalnya, atau kebab, burger? Atau kita sendirilah, yang konon para generasi X. Sebagian yang lain mungkin doyan. Dan merasa bangga karena lidahnya sudah kebule-bulean dikit. Dasar inlander. Ke Eropa aja sono.

Thohirin

Thohirin

Mahasiswa UIN Jakarta, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Institut