Press ESC to close

Tiga Pemimpin Daerah yang Diskriminatif Terhadap Perokok

Merokok adalah aktivitas legal yang dilindungi undang-undang. Sepanjang memahami aturan yang berlaku, tak ada undang-undang yang menyatakan kalau rokok adalah barang terlarang. Selama mengikuti aturan yang ada, hak masyarakat yang merokok atau pun tidak akan tetap terjamin.

Sayang, tidak semua mau memahami aturan yang ada. Karena ketidaksukaan terhadap rokok, tidak sedikit pemerintah daerah yang menafsirkan aturan terkait Kawasan Tanpa Rokok sebagai upaya menyengsarakan perokok. Alih-alih menjamin hak setiap warganya, diskriminasi terhadap perokok dilakukan pemerintah daerah melalui peraturan-peraturan daerah tersebut.

Berikut adalah beberapa kepala daerah yang mendiskriminasi hak perokok:

  1. Bima Arya (Walikota Bogor)

Kota Bogor adalah salah satu daerah yang pertama kali menerapkan perda KTR. Selain meniadakan iklan rokok di daerahnya, Bogor juga membuat satuan tugas anti rokok yang menindak pelanggaran terhadap perda tersebut.

Yang jadi persoalan adalah, dalam menegakkan aturannya Kota Bogor tidak menyediakan ruang merokok yang diamanatkan. Jika menilik putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-IX/2011, keberadaan ruang merokok adalah wajib disediakan dalam ruang publik.

Bukannya menegakkan aturan ini, Walikota Bogor Bima Arya justru pernah mengeluarkan pernyataan yang diskriminatif. “Saya tidak setuju perokok disediakan ruang yang nyaman karena saya justru ingin membuat perokok tersiksa,” ujarnya.

Baca Juga:  Melawan Hari Tanpa Tembakau Sedunia dengan Menanam Kehidupan

Sebagai kepala daerah, apa yang dilakukan Bima Arya ini jelas tidak pantas dilakukan. Ia bukan hanya diskriminatif, namun juga memberi contoh yang tidak baik dengan melanggar hak masyarakat yang merokok.

  1. Sutarmidji (Walikota Pontianak)

Nama Walikota yang satu ini belakangan cukup populer di media massa. Pernyataannya yang hendak memecat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemkot Pontianak yang merokok terbilang diskriminatif. Sebagai kepala daerah, sebagai pemimpin perangkat kerja daerah, Sutarmidji tidak bisa merampas hak anak buahnya.

Melarang hak seseorang untuk merokok dengan ancaman pemecatan adalah sesuatu yang melanggar hukum. Sebenci apapun Walikota ini terhadap rokok, Ia tidak bisa menyalahgunakan wewenangnya dengan mengancam aparatur derah yang merokok.

Jika Ia ingin aparatur daerah bekerja dengan baik tanpa merokok saat bertugas, hal ini bisa disosialisasikan dengan baik tanpa adanya ancaman apalagi yang melanggar hak seseorang.

Selain itu, Ia juga pernah membuat pernyataan hendak mencabut subsidi pendidikan bagi pelajar yang orangtuanya merokok. Hal ini jelas diskriminatif dan melanggar hukum. Bagaimanapun subsidi pendidikan adalah hak setiap pelajar, tanpa terkecuali apalagi dikecualikan karena orangtuanya merokok.

  1. Syaharie Jaang (Walikota Samarinda)
Baca Juga:  Berbagi Ruang melalui RUU Pertembakauan

Tidak berbeda dengan Walikota Pontianak, Syaharie Jaang juga memaksakan kehendaknya kepada aparatur daerah Samarinda untuk tidak merokok. “Seluruh pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda dilarang merokok mulai bulan depan, di mana saja alias berhenti merokok,” ucapnya.

Apapun alasannya, merokok adalah hak bagi setiap warga negara. Kalaupun seseorang memutuskan untuk tidak merokok, itu bukanlah sesuatu yang harusnya dipaksakan dengan wewenang sebagai walikota.

Upaya menjaga hak masyarakat yang tidak merokok agar tidak terpapar asap rokok adalah hal baik. Namun, upaya menjamin hak sebagian warga tentu tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak sebagian lainnya. Apabila penerapan kawasan tanpa rokok kemudian diiringi dengan ketersediaan ruang merokok yang layak, upaya menjamin hak setiap warga niscaya dapat berjalan dengan benar.

Fauzan Zaki

Hanya manusia biasa