Search
Ratna Galih

Bima Arya Menyiksa Perokok tapi Main Film yang Disponsori Rokok

Dua sejoli menjalin cinta
Cinta bersemi dari SMA
Galih dan ratna mengikat janji
Janji setia setia abadi

 

Lirik lagu  di atas bagi remaja tempo dulu yang hidup pada era Rano Karno dan Yessy Gusman semasa dikenal sebagai bintang film pasti akan teringat cerita Gita Cinta dari SMA. Selain Chrisye yang menyanyikan lagu itu terdahulu, dan di era Melania didaur oleh D’Cinnamons, selanjutnya demi kebutuhan film daur ulang Galih dan Ratna, lagu itu dibawakan kembali oleh grup vokal GAC.

Agaknya tren Reuse, Reduce, dan Recycle, pada dunia tontonan berumur panjang nasibnya. Yoay, abad ini abad distribusi gagasan, Bung. Mencipta sudah lewat masanya. Krisis sumber daya adalah pembenaran yang memoderasi kepala. Hahaha…

Weits, nanti dulu, tulisan ini tidak diniatkan untuk mengkritik kekaryaan atau mempromosikan film daur ulang itu. Pula bukan mau mempromosikan kota Bogor sebagai latar pengambilan gambarnya, yang di dalamnya ada Bima Arya sebagai artis Cameo yang turut andil pencitraan.

Tak bisa dipungkiri memang, tema-tema film yang mengangkat fenomena remaja, dan berkutat menyoroti kisah cinta dua sejoli, dimana urat romansanya menampilkan paradoks kehidupan, semacam cerita klasik Romeo dan Toilet Juliet, atau pula Rangga dan Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC).

Yang sudah bisa dipastikan, setting kota adalah bagian dari pembacaan kepentingan, lalu simbol-simbol yang diulungkan di dalamnya, jika pada film AADC menyoroti buku puisi bacaan favorit Rangga. Di film Galih dan Ratna (versi daur ulang) yang kabarnya dilarang diputar di Bogor, lantaran disponsori oleh salah satu produsen rokok. Meski sudah bisa dipastikan juga tidak ada adegan yang menampakkan aktivitas merokok.

Baca Juga:  Rokok dan Musik yang (ingin) Terpuji

Oiya, barangkali satu hal yang masih menarik dan memotivasi penggagas film tersebut, di antaranya dengan mengekor gaya film AADC niscaya mendulang perhatian lebih di pasar remaja. Salah satu cirinya, berdasar review film dan trailer yang tersuguh di Youtube, film ini terpusat pada penggunaan mixtape. Sebuah medium yang mengisyaratkan kesan ‘antik’. Sebagai alat untuk membahasakan hasrat (desire) atau sesuatu yang dikonstruksikan masih relevan dan romantis.

Yang semoga saja bakal mencipta demam baru kelak, layaknya demam berpuisi pada orang muda pada masa debut AADC terdahulu, seiring pula meningkatnya minat orang muda membaca buku-buku sastra pada masa demam itu. Khususnya puisi. Mendadak banyak yang ter-Rangga-kan gitu lho.

Cuma yang bikin saya agak tergelitik adalah pernyataan pihak DPRD Bogor, melalui Heri Cahyono, selaku Wakil Ketua DPRD Bogor, dia meminta agar film garapan Lucky Kuswandi itu tidak ditayangkan di Kota Bogor, lantaran adanya unsur rokok yang mensponsori film Galih dan Ratna.

Jika ditanya tergelitiknya di mana, iya karena ada Bima Arya sebagai artis Cameo (yang berperan sebagai dirinya sendiri) di film tersebut. Sebuah siasat promo yang diharapkan bisa mendongkrak popularitas film itu. Tapi ya masak sekelas beliau tidak tahu-menahu kalau di balik pembiayaan film itu ada dana dari industri rokok.

Yang tak lama berselang hari, dilansir dari laman yang sama Bima Arya memberi pernyataan membolehkan film itu diputar di Bogor, namun disertai syarat, asal meniadakan unsur atribut maupun logo pada film, coba itu,  ‘bunyi’ apa yang tertangkap oleh nalar waras kita, sikap oksimoron yang kekinian banget ya…

Bogor kota oksimoron. Hujannya berlimpah, menyuburkan hotel dan destinasi kuliner. Merebut ruang hidup pribumi demi kenyamanan para tamu. Contoh paling dekat, ketika patung-patung di istana Bogor kemarin mendadak disopan-sopankan, dibungkus kain, ditutup-tutupi kesan pornonya, demi menghalalkan pandangan tamu besar dari Arab.

Baca Juga:  Review Rokok U Mild, Tak Seperti Produk Sampoerna

Padahal setelah kunjungan Raja Salman, karya seni bernilai sejarah itu ya menjalani takdirnya kembali, sediakala menantang fenomena masuk angin. Karena apa patung-patung itu kembali bugil? Yup. Karena sesungguhnya ‘manekin’ hanya ada di toko seragam sekolah. Bukan di istana peninggalan Rafles.

Jika kita ingat pernyataan ekstrem Bima Arya pada suatu kesempatan yang berkaitan dengan tuntutan komitmennya terhadap FCTC “Saya tidak setuju perokok disediakan ruang yang nyaman karena saya justru ingin membuat perokok tersiksa.” Lha kok mau jadi artis Cameo di film yang didanai produsen rokok?

Rapuh sekali keimanan seorang Bima Arya yang kotanya mengusung jargon Tegar Beriman itu. Dalih membolehkan dengan disertai syarat, asalkan unsur logo maupun atribut rokok ditiadakan. Secara implisit adalah sebuah usaha untuk menguatkan citranya sebagai pejabat yang berkomitmen.

Tapi lucunya, alih-alih ingin membunyikan citra diri dan citra kotanya. Kok ya mau main film yang dibiayai industri rokok. Yang konsumennya harus menanggung siksa seturut pernyataannya lalu. Sampai di sini terbaca sudah, mental apa yang dimiliki pejabat daerah macam Bima Arya. Sila dijawab sesuai kewarasan masing-masing.