Press ESC to close

Mengenal Tiga Tradisi di Kalangan Petani Tembakau

Seperti di pedesaan pada umumnya, masyarakat di desa saya mengenal banyak ritual keagamaan dalam bentuk upacara-upacara spiritual atau yang umum dikenal kenduri. Selain bersifat teologis—hubungan antara manusia dengan Tuhannya—kenduri adalah ritual keagamaan yang berhubungan dengan interaksi antara sesama manusia. Kami biasa menyebutnya selamatan.

Upacara-upacara spiritual itu biasa dilakukan sebagai usaha memanjatkan doa: berdoa atas keberadaan atau kelahiran jabang bayi, mendoakan kerabat keluarga yang sudah meninggal, atau berdoa untuk tempat tinggal baru. Selain doa, selamatan juga biasa kami lakukan sebagai bentuk rasa syukur karena melimpahnya hasil panen, misalnya. Sebagian besar warga desa saya adalah petani, dan melakukan upacara spiritual macam kenduri adalah hal lumrah di kalangan masyarakat desa.

Konon, tradisi kenduri bermula sejak masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-13. Dari sudut pandang teologis, kenduri diadakan karena alasan bahwa satu ungkapan doa yang dibacakan secara bersama-sama diyakini memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkabul ketimbang doa yang dibacakan sendiri.

Sebagai salah satu komoditi besar, tembakau tentu saja telah membentuk akar tradisi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Dari hulu ke hilir, sektor ini tercatat melibatkan lebih dari 30 juta orang atau lebih dari 20 persen penduduk Indonesia. Bayangkan jika sektor ini dimatikan. Tembakau, karena itu, bukan hanya bicara soal kesehatan. Rasanya terlalu naif bicara kesehatan pada tembakau jika itu telah menyangkut sekian juta kebutuhan hidup manusia. Apalagi hanya soal persaingan bisnis. Temabakau, di hulu adalah persoalan bagaimana sepiring nasi bisa tersaji di atas meja keluarga para petani kita. Menyangkut masa depan anak-anak dan keluarga mereka.

Sebagian petani tembakau kita selama ini telah melakoni sejumlah upacara spiritual menyangkut masa depan kehidupan mereka. Demi kebaikan tanaman mereka. Mereka berdoa untuk tanaman mereka; berdoa agar hasil panen mereka bagus, berkualitas bagus, dan harganya tidak rendah.

Demak: Haul Mbah Hadi

Masyarakat Demak, khususnya warga Dusun Girikusumo, Desa Banyumeneng telah rutin mengadakan kegiatan thariqah yang dipimpin tokoh kharismatik Kyai Munif Zuhri setiap Kamis malam. Jamaah thariqah ini bernama Thariqah Khalidiyah Naqsabandiyah yang sebagian besar jamaahnya konon adalah para petani tembakau setempat. Kegiatan thariqah ini berada di Pesantren Giri Kusumo pimpinan Kyai Munif yang konon sering didatangi Gus Dur. Beberapakali bahkan pernah didatangi Megawati dan Jusuf Kalla.

Baca Juga:  Cukai Rokok, FCTC, dan Pengaruhnya Bagi Dunia Film

Keberadaan thariqah itu secara tidak langsung telah membentuk kultur petani setempat, selain karena para petani yang umumnya telah akrab dengan dunia pesantren. Menjelang musim tanam, para petani biasanya akan mengadakan mayoran dengan para santri Girikusumo pimpinan Kyai Munif Zuhri. Di situ, para petani dan santri akan mengadakan makan dan doa bersama untuk kelancaran tanaman mereka hingga musim panen tiba.

Menurut sumber sejarah, pesantren Giri Kusumo didirikan oleh Mbah Hadi pada 1868 M, usia yang cukup tua. Hingga kini, setiap bulan Rajab rutin diperingati haul Mbah Hadi. Belakangan, masyarakat sekitar pesantren, seperti Banyumeneng dan Sumberejo, memiliki keyakinan bahwa cuaca saat perayaan Haul Mbah Hadi akan menentukan cuaca pada musim panen tembakau. Jika hujan turun saat perayaan haul, maka hujan juga diyakini akan turun saat musim panen tiba. Pula sebaliknya. Selain itu, merekak juga meyakini jika tahun ganjil akan membawa keberuntungan pada harga jual yang tinggi pada tembakau.

Sumedang: Upacara Hajat Bumi

Meski orientasi politik mereka lebih dekat dengan ‘abangan’, masyarakat Kabupaten Sumedang, khususnya warga Kecamatan Ujung Jaya dan Tanjungsari, memiliki kultur keagamaan yang mengikuti tradisi NU. Mereka mengadakan tahlilan, mauludan, yasinan, diba’an, hadrah, dan lain sebagainya. Mereka juga meyakini, terdapat beberapa tempat yang dianggap ‘keramat, seperti makam atau sumur.

Lantaran kultur keagamaan itu, masyarakat petani tembakau Sumedang memiliki upacara sipritual yang dikenal dengan Hajat Bumi. Upacara itu rutin diadakan sekali dalam setahun menjelang musim tanam tiba. Acara akan dipimpin oleh juru kunci makam. Ada dua lokasi dimana upacara Hajat Bumi diadakan: di Makam Keramat Jaya dan Makam Mbah Buyut Chasun.

Meski awalnya ditentang oleh sebagian masyarakat sekitar karena mengandung unsur syirik, belakangan model upacara itu diubah, yakni dengan pembacaan tawassul (berwasilah) atau ayat-ayat Quran yang dipimpin oleh kyai-kyai NU.

Temanggung: Menghitung Hari, Mencari Hari Baik

Masyarakat Kabupaten Temanggung, khususnya mereka yang bertalian dengan bertani, khususnya petani tembakau, meyakini satu hal: setiap memulai suatu pekerjaan seperti mencangkul, menanam, memanen, dimulai dengan perhitungan hari. Perhitungan hari ini adalah perpaduan dari kalender Jawa dan Masehi. Ada hari-hari baik yang diyakini sebagai hari baik berdasarkan hari neptu-nya.

Baca Juga:  Kesederhanaan di Balik Kemewahan Petani Tembakau Temanggung

Petani tembakau biasanya memulai masa mencangkul dengan ritual nyecel, yaitu membuat nasi golong yang didoakan di rumah kemudian dibawa ke tegal atau tanah yang lapang. Di salah satu daerah, ritual ini biasa dilakukan pada Selasa Legi. Nasi yang telah didoakan biasanya dimakan oleh para pekerja yang akan mencangkul.

Sementara ritual yang dilakukan sebelum menanam dikenal nglekasi, yakni dengan menyajikan jajan pasar, ketan hitam, atau makanan lainnya. Prosesinya berbeda-beda setiap daerah. Namun prinsipanya, makanan itu biasanya harus dinikmati oleh masyarakat setempat.

Selain itu, ada pula ritual yang dilakukan sebelum panen, biasa disebut wiwit, yakni dengan menyajikan makanan dalam bentuk ingkung (ayam dimasak utuh) untuk satu lahan. Jika petani memiliki tiga lahan yang terpisah, maka petani menyajikan tiga ingkung. Ritualnya berbeda, ada yang didoakan di rumah lalu dibawa ke sawah. Ada pula yang didoakan di sawah. Biasanya ritual ini dilakukan selepas maghrib atau saat matahari tenggelam.

Selain tiga tradisi yang hingga kini masih rutin dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita, tentu masih banyak masyarakat kita yang melakukan hal-hal serupa. Kita barangkali mengenalnya sebagai kenduri. Kenduri adalah kepercayaan kolektif sebuah masyarakat akan kehendak di luar kemampuan manusia dalam menghadapi sesuatu. Kepercayaan itu dibentuk oleh akar tradisi yang lahir dari proses sosial-ekonomi yang sudah mendarahdaging. Hampir semua agama memiliki tradisi itu, tentu dengan ritual upacara berbeda. Lebih dari itu, kenduri menyimpan aspek sosiologis yang menjadi sebuah wadah dimana masyarakat bisa menjalin keakraban dan gotong royong; ruang untuk menghilangkan tembok yang memisahkan perbedaan strata sosial maupun ekonomi. Tak melihat kaya atau miskin, pejabat atau petani, tua maupun muda, semuanya menjadi satu menjadi sebuah simbol masyarakat nusantara yang sebenarnya.

Hingga kini, tradisi itu masih kental di kalangan masyarakat pedesaan. Meski tak sedikit pula anggota keluarga atau kelompok masyarakat yang mulai meninggalkannya.

Fauzan Zaki

Hanya manusia biasa