Search

Menyematkan Gelar Pahlawan pada Antirokok

Kepada siapa lagi gelar kepahlawanan mestinya disematkan?

Selain kepada tokoh kemanusiaan, gelar pahlawan saya sarankan mestinya segera disematkan kepada para aktivis antirokok. Siapa lagi kalau bukan mereka yang memilliki kepedulian kepada sesama manusia; mereka peduli pada kesehatan kita, peduli pada keuangan kita, bahkan juga peduli pada keyakinan kita sebagai umat beragama. Mereka peduli jika kita masuk rumah sakit, karena kuatir mengidap penyakit jantung, kanker dan semacamnya. Mereka juga peduli pada kita jika uang kita habis terbakar sia-sia. Lebih-lebih pada tingkat keimanan kita karena melakukan sesuatu yang dilarang agama.

Tapi saya tidak tahu, mengapa mereka begitu memiliki kepedulian dan energi yang besar untuk memberi perhatian kepada kita, khususnya kepada para perokok, agar jangan sekali-kali menaruh hati pada rokok, apalagi berada di barisan yang mendukung keberadaan rokok di negara ini. Sebegitu membahayakannya benda kecil? Padahal, bicara sesuatu yang konon membahayakan, hidup kita di zaman kekinian begitu rentan dengan bahaya. Mulai dari bangun bobo, sampai bobo lagi. Apa yang kita makan, konsumsi, dan buang adalah sesuatu yang mengandung bahan kimia yang akan memiliki dampak panjang pada tubuh dan kesehatan kita.

Saya sering sekali mendengar pertanyaan umum, “Kenapa umur manusia kini semakin pendek?” Sebagian yang menjawab karena alasan teologis, karena kita adalah umat Nabi Muhammad yang notabene tak berumur panjang. Sementara sebagian yang lain menjawab karena kita begitu banyak mengonsumsi sesuatu yang mengandung bahan kimia. Mengapa orang tua-orang tua kita, yang hidup di kampung jarang sekali terkena penyakit. Kenapa fisik mereka lebih kuat ketimbang anak-anak muda yang lahir di era 90-an? Itu pertanyaan umum yang sering sekali kita dengar jika bicara seputar rokok.

Baca Juga:  Para Pelopor Bisnis Kretek ini Dikenal Sebagai Aktivis Pada Masanya

Tapi oleh antirokok, semua yang kita dengar, baca, dan lihat seolah hanya kebohongan. Atas dasar penelitan, rokok konon telah membunuh puluhan bahkan hingga ratusan manusia setiap harinya. Jika dikalikan dalam setahun, lebih dari 30 ribu manusia meninggal setiap tahunnya. Bagaimana jika dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya. Rokok mungkin bisa sedikit mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta. Wajar jika setiap bungkus rokok kini memasang slogan barunya, “Rokok membunuhmu”. Sungguh mengerikan ya.

Oleh mereka, para antirokok, rokok dianggap budaya barbar yang tak mestinya ada dalam kehidupan manusia, lebih-lebih dipelihara. Dalam sebuah seminar tentang pengendalian tembakau di kampus saya, salah seorang pemateri pernah mengatakan bahwa rokok tak ubahnya dengan tradisi Matador di Spanyol yang kini telah dihilangkan. Seorang pemateri lain bahkan mengatakan, mestinya perokok tak usah mendapat jaminan kesehatan dari pemerintah. Perokok juga mestinya tak bisa dibilang miskin, sebab ia mampu membeli rokok. Yang teranyar dan tak kalah sadis, seorang wali kota pernah mengatakan bahwa ia akan menyiksa perokok di kotanya. Lihatlah, sebegitu mengerikannya rokok dan perokok di negara ini?

Baca Juga:  Mengenal Istilah Rajangan dalam Dunia Kretek

Mengamati pola gerakan para antirokok belakangan memang semakin menggila. Mulai dari pembatasan jam tayang iklan rokok di televisi, perubahan bungkus rokok, aturan KTR, hingga pemototan bantuan kesehatan. Lalu, bagaimana nasib perokok di negara ini ke depan, padahal sesama warga negara yang melakukan tindakan legal. Awalnya baik-baik, belakangan jadi semakin ekstrem.

Padahal, jika melihat regulasi pemerintah terhadap para perokok, baik industri maupun konsumen selalu menaatinya. Di beberapa tempat dimana merokok dilarang, perokok tak melanggar aturan. Jika karena alasan paparan asap rokok, aturan KTR mestinya sudah menyelesaikan persoalan itu. Menjadi terlebih, menjadi perokok adalah urusan pribadi, yang semua orang bahkan tahu konsekuensinya, baik dan buruknya. Mana mungkin presiden, dulu tak tahu dampak dari rokok. Atau penulis, sekelas Pramoedya tak mengetahui dampak dari kebiasannya selama mengerjakan karya-karya besarnya itu. Para kya-kyai saya di pesantren apakah tak kalah pintar dengan para antirokok?

Atau memang, kepada para antirokoklah sekarang kita mestinya menaruh masa depan kesehatan, ekonomi, dan agama masyarakat?

Thohirin