Press ESC to close

Udud Mbako dan Endhong-Endhongan di Banyumas

Jejak sejarah mengkonsumsi tembakau pada beberapa daerah di Indonesia membentuk suatu tradisi tersendiri. Tradisi itulah yang kerap mempererat hubungan antar warga. Salah satunya yang masih bisa kita temui adanya istilah endhong-endhongan.

Kebiasaan udud mbako, saat berkumpul di warung, ataupun pelataran-pelataran rumah warga telah menjadi kebiasaan yang lazim di eks karisidenan Banyumas (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) kurun tahun 1960-an sampai 1970-an. Kegiatan melinting bersama ini menjadi simbol perekat sosial, dilakukan saat malam hari, waktu luang usai seharian berladang.

“Endhong-endhongan (berkumpul atau kebiasaan bertandang ke tetangga) sebutannya,” menurut Bambang Wadoro (58), Budayawan asal Banyumas yang populer disapa Bador.

Saat usianya baru menginjak 10 tahun, sekira di tahun 1960-an, di Desa Gerduren, Banyumas, Ia masih mengingat situasi endhong-endhongan. Sembari melinting tembakau, sanak saudara dan tetangga berkumpul membicarakan soal pertanian atau harga-harga sembako.

“Hal-hal politik tidak dibicarakan. Saat itu masih ada trauma politik tahun 65. Orang masih takut bicara politik,” lanjut Bador.

Berangkat dari tradisi endhong-endhongan itulah keakraban antar warga membentuk ikatan persahabatan dan persaudaraan lewat saling berbagi mbako. Di daerah Banyumas, kebiasaan ini lazim juga disebut udud-ududan.

“Ngendhong tanpa bawa mbako kurang sreg. Kalau orang-orang tua bicara, udud mbako jan njarem temenan (merokok tembakau memuaskan),” tambahnya lagi.

Dalam kebudayaan Banyumas jejak tradisi mengkonsumsi tembakau ini jelas tergambarkan dalam lirik gending dalam kesenian Lengger (kata lain Ronggeng yang merupakan figur utama kebudayaan Banyumas). Baris-baris gending itu berbunyi begini, “ora nginang, ora ngemut/ lambene digrumut semut/ randane nunut.”

Baca Juga:  Baik Dan Buruknya Rokok Tergantung Pola Hidup Anda

Lirik itu diterangkan oleh Bador bahwa seseorang yang tak memiliki mbako, baik untuk menggosok-gosokkan gigi usai mengunyah daun sirih atau untuk udud, seumpama nasib janda yang serba kekurangan atau mengalami kemerosotan ekonomi. Tapi setiap orang yang memiliki mbako tak keberatan untuk saling berbagi. Pasalnya mereka saling memahami mengkonsumsi mbako terkait dengan kepuasan batin.

Bahkan mitologi mengenai asal-usul tembakau, tak lepas dari kepuasan batin. Mohammad Sobary dalam bukunya Perlawanan Politik & Puitik Petani Tembakau Temanggung (2016), menulis bahwa penemuan tembakau terkait dengan cerita Ki Ageng Kedu yang mendaki Gunung Sumbing. Di puncak yang terjal, Ki Ageng Kedu mencabut sebatang tumbuhan, sembari berteriak takjub “Iki tambaku” yang berarti Ini obatku.

Tumbuhan itu kelak diberi nama dari metamorfosa cara pengucapan tambaku, yang berubah menjadi tembako. Lantas diubah lagi menjadi mbako, yang hingga kini sudah jadi konsep mapan dalam bahasa Jawa dan wujud eksistensialnya kita kenal baik dalam kehidupan sehari-hari (h 38-39).

Meski mbako pernah populer, menurut Bador, mbako juga memperlihatkan penandaan derajat seseorang. Bukan dimaksudkan untuk tendensi rasial tegasnya, penikmat mbako di tahun 60-70-an bisa dikatakan bagian kesenangan rakyat jelata. Sedang golongan yang disebut priyayi kala itu, lurah atau guru, lebih memilih rokok pabrikan untuk menandakan status sosial.

Baca Juga:  Mengasah Logika Dishub Jakarta

“Saya sendiri ngudud sejak usia sepuluh tahun. Kalau rokok pabrikan, saya masih ingat, nunggu tegesan (puntung rokok),” paparnya.

Menurut Bador lagi, kini zaman sudah berubah. Ngudud mbako sudah jarang lagi ditemui sebagai pemandangan umum.  Nilai praktis rokok pabrikan membuat beberapa orang meninggalkan kebiasaan mbako. Pasalnya menikmati rokok pabrikan tidak direpotkan harus melinting.

Dan soal kumpul-kumpul sembari ngudud, Bador menilai kebiasaan ini tak serta merta ikut luntur. Hanya yang dibawa bukan mbako lagi, tapi rokok pabrikan. Esensinya tetap, ngudud dalam bingkai budaya menjadi sarana membangun komunikasi. Ia mencontohkan, masih umum ditemui, meronda sampai kulian (upah kerja untuk kuli) tetap disuguhi udud, bahkan perhelatan kawinan, sunatan, juga tahlilan di berbagai tempat udud tetap jadi sajian.

Muhammad Yunus

Mahasiswa UIN Jakarta doyan ngisap Rokok