Benar memang merokok ditemani kopi sangatlah nikmat. Apalagi jika itu dilakukan bersama teman-teman sepergaulan. Ada nilai guyub dan kenikmatan tersendiri pada kesempatan semacam itu pastinya. Namun apa yang kami alami kemarin jauh lebih nikmat dari gambaran itu kiranya. Nikmat merokok yang bukan disebabkan adanya embel-embel kopi, cemilan, atau teman kece yang renyah menghibur. Bukan.
Jumat sore kemarin adalah hari dimana kami harus berangkat menuju Jogja dari stasiun Gambir. Tiket sudah dipesan sejak hari sebelumnya. Dan dipastikan kami harus sampai di Jogja Sabtu pagi. Namun perjalanan menuju stasiun Gambir kali itu tak selancar yang diharapkan.
Begini ceritanya, setelah beres melakukan packing dan menyelesaikan beberapa urusan kerja di Cinere. Persis selepas Magrib mobil Grab yang dipesan terlihat parkir di sebrang kantor. Kami sudah cukup memeprhitungkan kalau kondisi jalanan di hari Jumat apalagi pada jam pulang kantor, dijamin luar biasa macetnya, terlebih itu sudah masuk akhir pekan. Menurut Adit, teman seperjalanan saya, kereta Argo Lawu terjadwal berangkat dari stasiun jam 21.00 WIB. Saya masih berharap perjalanan kami akan lancar-lancar saja. Meski pada kenyataannya tidak, sodara-sodara.
Sopir Grab yang membawa kami sejak awal memang sudah kelihatan tipe orang yang senang ngobrol. Selalu ada usaha darinya membuka topik dan menimpali hal-hal yang berkaitan dengan rokok. Itu semua dipicu dari apa yang dilihatnya pada papan nama di depan, di tempat kami bekerja. Rumah Kretek Indonesia.
Tak ayal perjalanan kami menuju stasiun Gambir dipenuhi obrolan seputar rokok yang dikaitkan dengan persoalan kesehatan. Klise terdengarnya bagi saya. Sopir Grab yang kami taksir berumur di atas 50 tahun itu sejak awal mendaku mantan perokok berat. Saya dan Jong sebagai orang yang posisinya sebatas curi dengar—karena kebetulan Adit yang duduk di depan—maka saya dan Jong yang duduk di belakang bersetia pasang kuping. Meski sesekali Adit melibatkan kami untuk merespon beberapa gurauan yang dipicu oleh cara pandangan si sopir yang memojokkan rokok, bahkan menyasar sampai soal bahaya Indomie.
“Tubuh kita ini seperti mobil juga perlu dirawat, untuk itu merokok bukanlah cara yang benar untuk merawat kesehatan tubuh. Kalau aki mobil yang rusak sih gampang diservis, atau dicari gantinya. Tapi kalau kesehatan organ tubuh, itu yang sulit.” Begitulah kira-kira inti bingkai bahasannya.
Jam di HP menunjukkan setengah delapan lewat sedikit. Kemacetan dari Cinere menuju Fatmawati Raya sudah makan waktu satu jam. Adit masih terus melayani banyak hal klise yang diumbar si supir Grab. Ya soal dampak pembangunan jalan, kebijakan politik Jokowi, sampai ke soal nasib Ahok, termasuk soal nasib kakaknya si sopir yang pernah menjadi korban mal praktek. Entah apalagi setelah itu. Saya sesekali hanya nyengir. Serasa mendengar diskusi dua penyair radio lawas.
Hari itu adalah hari dimana hanya mobil berplat ganjil saja yang boleh melewati ruas tertentu. Maka manuver untuk dapat ruas-ruas alternatif pun ditempuhnya, karena plat nomer mobilnya ganjil. Tak lama saya pun tertidur pulas mengikuti Jong yang lebih dulu terlelap.
Tanpa ada yang membangunkan. Saya baru melek lagi ketika mobil sudah masuk parkiran Alfa Midi. Dan ternyata, ya ampun macetnya belum terurai. Saya baru ngeh kalau kami masih di sekitaran Mampang. Jam menunjukkan pukul 20.15 WIB, si supir tergesa keluar dari mobil untuk buang air di toilet Alfa Midi. Adit langsung meminta saya segera membayar tarif sewa grab. Selanjutnya ia pun memesan Grab motor, tanpa banyak cingcong, setelah si supir kembali ke dalam mobil. Adit langsung meminta diri untuk kami diturunkan di tempat itu saja.
Kecemasan mulai menghantui pikiran saya. Jarak menuju stasiun Gambir sekira 11,6 Km, yang kalau dihitung normal memakan waktu 40 menit. Itu kalau kondisi jalanannya normal lho ya. Tak sempat sebatang rokok pun yang saya hisap di saat itu. Karena kecemasan yang merongrong kami adalah jika saja kami ketinggalan kereta dan harus menginap di stasiun atau mengejar transportasi lain agar tetap tiba Sabtu pagi di Jogja.
“Udah, Bang elu ama Jong duluan aja. Gue gampang.” Ucap Adit ketika motor yang mengantar kami akhirnya tiba. Saya merasa tegang, teringat lagi pengalaman yang lebih buruk dari itu. Saya berusaha mengatasi kecemasan saya sendiri. Syukurnya driver ojeg yang membawa saya menembus kemacetan cukup gesit aksinya. Jong sudah menderas lebih dulu. Kecemasan yang dialaminya pun tak jauh beda. Kemungkinan waktu yang kami miliki sangatlah tipis. Kemacetan Mampang sampai lampu merah Kuningan memang sungguh mendebarkan. Makin pesimis jadinya. Jam sudah masuk pukul 20.30 WIB. Jalanan yang dipersempit oleh proyek pembangunan MRT membuat harapan semakin ciut untuk dapat tepat waktu di stasiun.
Memasuki jalan Rasuna Said kecemasan saya berangsur reda. Laju motor stabil di status kecepatan 60 km/jam. Pikiran saya sugestikan bahwa Jong yang lebih dulu menderas sudah sampai Gambir duluan, berharap ia sukses mencetak tiga tiket untuk kami. Namun kepada Adit saya tak terlalu menaruh harapan banyak. Adit terbilang jauh di belakang menyusul.
Syukurnya jam 20.50 saya sudah mendarat di stasiun. Melalui gawai ada anjuran dari Jong kepada saya untuk segera lari masuk dari pintu selatan. Dengan semangat 98 saya pun berlari meski tas di punggung cukup berat dan merepotkan. Dengan nafas yang lumayan ngos-ngosan saya berhasil mendapati Jong. Tak lama berselang Adit menelepon saya, menanyakan posisi saya, yang saat itu ternyata dia juga baru masuk area stasiun. Kecemasan saya berangsur sirna. Kami pun akhirnya dapat berkumpul kembali menerima tiket yang sudah disiapkan Jong. Dan bersegera ke atas menuju peron.
“Gue butuh ngerokok dulu nih, masih dapet kan ya?” tanya Jong ke Adit. Apa yang ditanyakan Jong pun serupa seperti yang saya inginkan. Situasi injury time yang kami lewati tadi memang sangat menyita energi. Untungnya pula setelah semua kecemasan itu kami lampaui tersedia ruang merokok yang di sana sudah terdapat orang-orang yang punya hak sama sedang menikmati fasilitas tersebut.
Fasilitas area merokok yang disediakan memang tidak dalam bentuk ruangan bersekat, ini hanya satu area yang ditetapkan oleh pihak stasiun yang diberi tanda dan terdapat asbak dengan ukuran serta bentuk yang wajar. Kami pun merayakan kelegaan kami terbebas dari situasi cemas tadi. Saling berbagi cerita soal tantangan di jalan dan rasa deg-degan yang dialami, juga hal-hal yang melatari kenapa kami jadi tejebak situasi macet yang sangat menyita waktu.
“Iya bukan karena juga si sopir kebelet kencing, tapi ini karena pemberlakuan ganjil-genap juga. Jadi harus muter-muter nyari jalan,” jelas Adit kepada saya yang sudah bisa tertawa lebar. Begitu pun Jong.
Di saat-saat seperti itulah sebatang rokok pertama yang dihisap sangat-sangatlah nikmat, meski tanpa harus meneguk kopi, soft drink, teh kotak, atau minuman lainnya. Karena memang tak ada waktu pula untuk membelinya. Cukuplah air mineral yang melegakan kami sebelum rokok kami bakar masing-masing. Dan air muka kami jauh lebih terlihat cerah dibanding saat berada dalam ketegangan yang diperulah kemacetan Jakarta serta trauma ditinggal kereta.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024