Di Batavia pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18, kota menjadi menakutkan akibat terjadi banyak kasus kematian. Warga Belanda, khususnya para kelasi, menjaga kekebalan tubuhnya dengan merokok, hal ini jauh berbeda dengan pandangan orang yang menolak manfaat rokok. Warga Belanda yang tinggal di Batavia juga meminum arak atau cerutu kasar produksi kota itu sebagai pencegahan terhadap penyakit. Perihal catatan ini belum banyak masyarakat kita yang mengetahuinya.
Namun pada tahun 1930-an sampai 1950-an menurut Haji Irwan Sjafiie (Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi), orang yang merokok itu terbilang masih jarang. Hal ini berkaitan dengan kondisi ekonomi dan keyakinan agama. Kala itu pabrik-pabrik rokok lebih banyak memproduksi rokok klobot, rokok yang terbalut daun jagung.
Menjelang 1950-an fungsi kulit jagung tergantikan kertas. Tiap bungkus rokok umumnya berisi lima batang, dibungkus kertas minyak atau kertas koran dan terdapat cap pabrik yang memproduksinya, tampak sederhana.
Melongok masa pendudukan Jepang, di Batavia, masyarakat hanya mengenal dua merek rokok: Siroha dan Koa. Lainnya adalah produk tradisional yang dijual secara ketengan. Rokok kawung pada kondisi yang serba sulit itu sempat menjadi rokok yang banyak dikonsumsi masyarakat kelas bawah. Tembakaunya dalam bentuk lempengan. Perokok mencubit tembakau dan melintingnya dengan daun kawung atau daun nira. Kala itu di kampung-kampung banyak yang menjual tembakau dalam toples besar, sedangkan ibu rumah tangga umumnya memilih makan sirih (nyisik).
Kala itu rokok Djinggo satu bungkus seharga tiga sen, isinya 20 batang, orang yang merokok Djinggo di masa-masa itu sering dicap orang berduit. Rokok Djinggo produksi Nojorono—Kudus termasuk pelopor rokok kretek yang masih eksis, ada sejak tahun 1932.
Menurut Haji Sjafiie juga, jika ia ingin membeli rokok dari kediamannya di Kampung Duku Setia Budi ia mesti ke Pasar Roempoet Manggarai. Orang Karet Tengsin umumnya untuk dapat membeli rokok pun harus ke Tanah Abang, jaraknya sekira 2-3 Km. Rokok merek Abdullah, Player, Lucky Strike, Triple Five, adalah rokok merek luar negeri. Kala itu terbilang barang mewah. Untuk membelinya harus susah payah ke Pasar Baru dan Glodok. Yang kemudian banyak dijual dekat bioskop Menteng.
Rokok Djinggo yang kala itu bisa dibeli ketengan per enam batang seharga satu sen, kini sudah bukan lagi rokok yang dianggap rokoknya orang berduit. Dan rokok merek luar yang dulu dianggap barang mewah, yang hanya orang-orang tajir yang mampu membelinya sudah tak sesohor dulu. Banyak hal yang berubah dari perkembangan zaman yang mempengaruhi masyarakat. Terlerbih sejak dimunculkannya Undang-undang Kesehatan No.36/2009. Rokok tidak lagi dilihat sebagai produk berbahan baku tembakau semata. Melainkan produk yang diposisikn berbahaya, brengseknya sering dicap lebih berbahaya daripada produk konsumsi lainnya.
Batavia terus berganti rupa. Pembangunan kota merebut banyak ruang hidup. Bahkan kini kita mempertanyakan lagi keberadaan ruang bersama, tumpang tindih pemaknaan ruang diperulah kepentingan-kepentingan di baliknya. Rokok di masa kini—oleh pengaruh kepentingan industri kesehatan—tidak lagi dilihat sebagai bagian dari terapi atau upaya lain dari pencegahan penyakit, seperti yang pernah berlaku kala itu. Bahkan hak ruang untuk perokok pun seperti tak dianggap punya arti penting untuk menjawab persoalan yang dicipta oleh kepentingan itu sendiri.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024