Press ESC to close

Kultur Merokok di Jakarta

Mengulas kultur merokok di Jakarta tidaklah terlalu mencolok perbedaannya dengan kultur merokok di banyak wilayah perkotaan lain di Indonesia. Perbedaan yang mendasari biasanya lebih kepada kultur sosial yang melatarinya.

Jakarta tak sekadar nama sebuah kota. Jakarta menjadi isyarat bagi mata dunia dalam membaca perubahan masyarakat Indonesia yang lebih luas. Gaya hidup masyarakat di kota besar menyusun tandabacanya sendiri dalam berbagi ruang interaksi di Jakarta.

Bergesernya ketertarikan perokok dari menghisap rokok menjadi mengonsumsi uap liquid berlangsung cukup lesat di Jakarta, bisa kita lihat dari merebaknya vape store juga ritel-ritel penjual liquid berbasis online shop.

Kultur berbelanja masyarakat perkotaan termasuk salah satu yang memudahkan terjadinya pergeseran tersebut. Banyak produk konsumsi yang sudah bisa dibeli secara online, cukup dengan menyentuh opsi pesan-antar di layar gajet, praktis semua terwujud. Tidak sedikit juga yang menitipkan dibelikan rokok saat pesan makanan melalui driver online. Cara semacam ini pula yang mengilusi ke dalam citra kelas masyarakat konsumen.

Perilaku merokok di kalangan perokok jelas beragam, begitu pula dengan pengguna vape. Meski teknik MTL (Mouth To Long Inhale) juga sama berlaku di kalangan keduanya dalam mengekspresikan budaya ngebul tersebut.

Baca Juga:  Semangat Piala Dunia dan Bungkus Rokok Edisi Spesial

Dulu, iya dulu sekali, semasa rokok kawung masih cukup populer di masyarakat Jakarta. Remaja yang baru belajar untuk merokok mengawalinya dengan membakar daun kawungnya saja. Tanpa diisi tembakau. Para abah (bapak ataupun kakek) yang perokok cukup mafhum akan hal itu.

Namun seiring perkembangan zaman hal itu dipandang buruk, bahkan stigma buruknya lebih ekstrim lagi, yakni dianggap secara sengaja ingin membunuh generasi muda. Walaupun kemudian generasi muda pada era itu lebih memilih rokok pabrikan, baik rokok Djinggo maupun rokok putihan yang juga mengilusi citra kelas konsumen.

Merujuk pengalaman berinteraksi dengan berbagai perokok dari kelas sosial yang ragam. Perokok yang memiliki disiplin kesantunan umumnya adalah mereka yang sudah tercerahkan berkat interaksinya menyikapi beragam wacana kritis. Yang kemudian berujung pada spirit; semua dimulai dari diri sendiri. Mulai terlihat dari kebiasan membawa asbak saku, juga mulai bisa mengontrol waktu merokok; kapan dan di mana kepatutan merokok itu ditunaikan.

Hal lain yang cukup kasuistik, yakni mulai terbangunnya sikap kritis ketika melihat sesama perokok yang merokok ketika bukan pada tempatnya. Semisal di angkutan umum atau di fasilitas publik yang diisyaratkan sebagai kawasan terlarang—yang secara etik—hal itu dapat membuat orang lain merasa terganggu.

Baca Juga:  Rokok Oeloeng dan Tradisi Tanam Tembakau di Bojonegoro

Dari sisi yang paling umum, terutama ketika ada satu-dua teman perokok bertemu, masih terjadi interaksi sosial yang sejak dulu terpelihara. Mulai dari perkara meminjam korek sampai ke perkara minta rokok barang sebatang dua batang.

Satu lagi, sejak merebaknya penggunaan gajet, tak sedikit perokok kala meletakkan sebungkus rokoknya di meja biasanya akan disertai pula menaruh gajet di atas bungkus rokoknya. Sementara korek yang umumnya ditaruh di atas bungkus rokok kini agaknya sudah tak lazim lagi, tentu ada banyak tafsir maupun penjelasan yang mengalasani itu.

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta