Idul Fitri yang dimaknai sebagai hari kemenangan, hari yang diisyaratkan (untuk) kembali ke fitrah. Setelah menjalani sebulan penuh berpuasa, yang di bulan itu segala bentuk nafsu ditempa dan dikendalikan. Tak hanya perkara nafsu makan, minum, dan merokok. Namun pula menjadi sarana melatih kesahajaan dan kepekaan. Yang dari situ tercerminlah harkat manusia dalam menyikapi kehidupan sosialnya.
Pada hari kemenangan ini suasana penuh keceriaan tergambar di raut banyak orang. Terlepas dari aliran atau agama apa yang dianutnya. Makna kembali ke fitrah menjadi isyarat bahwa berbahagia dan melebur dalam kegembiraan adalah hak semua bangsa.
Seperti pula yang diisyaratkan melalui ajaran yang dibawa oleh para nabi dan orang-orang salih. Yakni sebuah kabar gembira yang mengggugah kita pada kebaikan, untuk senantiasa mengulungkan kebijaksanaan hidup. Membawa kembali fitrah diri sebagai manusia merdeka.
Di momen yang berbahagia ini terlihat berbagai golongan; tua-muda, kaya maupun miskin, perokok maupun bukan perokok, semua melebur mempertautkan asa dalam kebersamaan lebaran. Meski mungkin masih ada satu-dua golongan lain yang luput memaknai hakikat ‘kemenangan’ sejati pada masing diri. Yang justru malah larut pada kedengkian yang banal.
Bagi kita perokok hal yang banal semacam itu tentu sudah terlatih untuk dilampaui, sebab pada tiap tarikan dan asap rokok yang kita kepulkan telah lesap semua kedengkian dibawa angin. Kita adalah yang terbiasa sudah melatih diri untuk lapang dan santun dalam menyikapi perbedaan. Maka sirnalah kedengkian, suburlah kecintaan yang hakiki.
Meski mungkin uang THR di kantong sudah tak utuh lagi, yang tak lain menjelma ke ragam bentuk; menjadi baju lebaran, menjadi kue-kue di meja perjamuan, menjadi beras yang dimakan penerima zakat, menjadi uang pecahan kecil di amplop-amplop yang dibagikan buat keponakan, dlsb. Kita senantiasa terlatih berlapang diri akan rejeki yang hinggap dan lepas.
Tak ada lagi yang patut dimurungkan pada suasana lebaran. Ketika semua sudah berkumpul berbagi kegembiraan, bertukar kabar, meramalkan ajang Piala Dunia, meluruhkan segala percakapan yang taksa ke perhelatan yang nyata. Walaupun mungkin masih ada kelakar antar keluarga yang menyinggung soal habitausi kita sebagai perokok. Sikapi saja dengan dewasa. Bukankah yang kita konsumsi ini adalah pilihan orang dewasa. Buktikan bahwa ada kesantunan dalam kehidupan perokok santun.
Meski menjadi dewasa itu kadang jebakan hidup belaka, namun bersikap dewasa adalah isyarat penting dalam mengharmonisasi dunia kita yang majemuk.
Idul Fitri tentulah bukan perayaan (sekadar) untuk berpura-pura bahagia. Memamerkan segala hal baru yang kita sandang, menjumawakan segenap hal yang kita anggap prestisius dari pencapaian personal. Jelas bukan itu.
Kemenangan yang hakiki merupakan ruang terbuka bagi kita untuk mampu merefleksikan diri kembali. Kembali pada fitrah diri sebagai bagian dari keluarga besar umat manusia yang saling membutuhkan. Bukan untuk saling menjatuhkan, apalagi saling mengulungkan dendam. Karena jika itu yang dipelihara, sia-sia belaka segala yang kita tunaikan sebagai ibadah.
Selamat merayakan Idul Fitri, mohon maaf lahir dan bathin.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024