Press ESC to close

Kretek Dalam Sesaji dan Pembagian Ruang pada Pura Hindu Bali

Kretek sudah menjadi bagian dalam berbagai tradisi di Nusantara sejak dahulu. Tak hanya sebatas hadir sebagai produk yang kita konsumsi, kretek kerap pula hadir sebagai pelengkap sesaji atau banten dalam sebutan umum masyarakat Hindu Bali. Umumnya kretek yang digunakan untuk kebutuhan tersebut dari golongan rokok yang harganya murah meriah.

Oleh karena itu muncul satu candaan bagi sebagian masyarakat Bali yang kalau ada kerabat atau teman sepergaulan menghisap rokok non filter, niscaya dituding menghisap rokok banten (rokok yang dipersembahkan untuk para dewata). Orang yang menghisap kretek non filter dianggap kurang ‘berkelas’, bukan apa-apa sebabnya stereotypes kretek (non filter) adalah rokok sesaji. Bukan rokok ‘yang patut’ dikonsumsi makhluk kasat mata.

Pada tradisi masyarakat Hindu Bali juga dikenal canang paraos, simbol persembahan sehari-hari, seperti yang diterangkan oleh Putu Setiasa, supir taksi yang mengantar kami kala itu ke bandara. Di dashboard kendaraannya terdapat canang dari janur berisi bunga, sepotong biskuit, dan sebatang kretek tanpa merek. Menurutnya dalam waktu kerja dia sendiri bisa dua batang kretek disuguhkannya. “Harganya cuma 2 ribu per bungkus isi 10 batang”, ujarnya.

Hal serupa juga akan dilakukan oleh supir yang kedapatan shift berikutnya. Suguhan pada canang ini memberi kesan tersendiri bagi saya yang selama ini kerap dibanjiri berita buruk tentang rokok dari berbagai media. Yang tak henti menyebutkan bahwa rokok amatlah berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Baca Juga:  Tembakau Mole Merah dan Putih Khas Tanah Pasundan

Namun faktanya lain dengan apa yang saya dapatkan di masyarakat Hindu Bali. Rokok justru turut ambil bagian dalam mencukupi sesaji untuk para dewa. Lain itu, di tempat peribadatan atau Pura besar terdapat pembagian ruang yang diisyaratkan sesuai dengan fungsinya. Ada bagian bangunan yang dibolehkan untuk merokok ada yang tidak. Sebagian besar Pura di Bali menggunakan struktur denah Pura Tri Mandala.

Ada yang disebut Utama Mandala atau jeroan, ruang ini adalah bagian terdalam dan tersuci/tersakral dari sebuah Pura. Pada bagian Utama ini, umat harus benar-benar fokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi dengan meninggalkan nafsu keduniawiannya. Bagian kedua adalah Madya Mandala atau biasa disebut juga jaba tengah. Biasanya pada areal ini terdiri bangunan Bale Agung (balai panjang), Bale Pagongan (balai tempat gamelan), selain itu juga terdapat Bale Panyimpenan (ruangan tempat penyimpanan barang-barang berharga Pura).

Bagian ketiga Nista Mandala, biasa disebut sebagai jaba pisan. Ini adalah bagian terluar dari arsitektur Pura. Bagian ini adalah bagian Nista atau kotor dan tidak sakral dari sebuah Pura. Setiap orang dapat memasuki areal ini. Bangunan yang terdapat pada mandala ini di antaranya Bale Kulkul, sebagai tempat kentongan digantung, terdapat pula Bale Wantilan yaitu balai tempat pementasan kesenian yang diadakan di dalam Pura.

Baca Juga:  Tembakau Deli yang Kini Mati Suri

Di Bale Wantilan itulah tempat yang umumnya diperbolehkan untuk merokok. Selain itu ada juga Bale Pawaregan, yaitu bangunan yang digunakan sebagai dapur tempat sesaji dibuat. Kemudian ada juga Lumbung, yaitu bangunan yang digunakan sebagai tempat menyimpan beras.

Dari gambaran arsitektur Pura dan pembagian ruangnya ini terbilang cukup mengakomodir kebutuhan umat. Tata laku pemaknaan fungsi ruang telah disepakati jauh sebelum isu rokok dibingkai negatif oleh media. Perkara rokok yang menjadi bagian dari sesaji ini tak hanya terjadi di masayarakat Hindu Bali, pula masih berlaku hampir di semua daerah di Nusantara. Ini artinya, rokok maupun kretek yang merupakan komoditas asli bangsa kita telah memberi sumbangsih penting dalam kebudayaan dan peradaban negeri ini.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah