Press ESC to close

Kopi Ramuan Pemutus Ketergantungan Rokok, Memang Hal Baru yang Prestisius?

Menyoal dunia kopi tentu amatlah kaya akan bahasan. Tak hanya perkara jenis dan asalnya, sejarah kemunculan kopi dan perkembangannya pun demikian menarik. Di tanah air kita sendiri sejarah kopi ditandai melalui praktik culture stelsel pada masa kolonial.

Tanpa perlu jauh mengulas sejarah itu. Para penikmat kopi saat ini dihadapkan oleh beragam pilihan jenis kopi dengan segala label yang menyertainya. Minum kopi kini telah menjadi gaya hidup, layaknya tembakau yang kita sesap dari rokok.

Kopi dan rokok adalah dua hal yang saling melengkapi. Bukan hanya saat kita nikmati di kedai, pun pada ranah budi dayanya. Di Temanggung misalnya, pada sejumlah perkebunan tembakau terdapat pula tanaman kopi yang tumbuh dengan baik. Kopi dapat hidup berdampingan dengan tanaman komoditas lainnya, begitu pula tembakau.

Di Tabanan, Bali, tanaman kopi termasuk komoditas yang menjadi andalan masyarakat. Seperti halnya di daerah Munduk, selain kopi ada juga cengkeh yang juga memberi nilai penghidupan secara luas. Namun seiring pesatnya pasar penikmat kopi di perkotaan, seturut itu pula merebak narasi-narasi yang menginfiltrasi hasrat minum kopi. Baik itu narasi positif mapun negatifnya. Iya tentu itu bukan lagi hal baru. Yang perlu kita talar adalah apa motif kepentingan di balik semua narasi tentang kopi.

Baca Juga:  Edge Punch, Pendatang Baru yang Siap Bersaing dengan Rokok Rasa Mangga Lainnya

Dalam kerangka pertarungan dagang, rezim kesehatan mulai memanfaatkan kopi sebagai sarana untuk menekan angka perokok. Lebih jauh lagi targetnya adalah untuk mengalihkan daya konsumsi. Salah satu yang dilakukan yakni melalui ajang promosi kesehatan (Promkes), rezim kesehatan memanfaatkan tenaga kesehatan sebagai penyuara kepentingan tersebut melalui lomba Tenaga Kesehatan Berprestasi di bidang Promkes tingkat Provinsi Bali.

Sehingga kemudian terpilihlah satu hasil ramuan kopi yang diracik dengan berbagai unsur rempah di dalamnya. Kopi racik itu digadang-gadang dapat membantu perokok berhenti dari ketergantungan terhadap rokok. Padahal kalau mau kita telisik, banyak juga perokok yang dapat berhenti merokok tanpa harus disugesti oleh narasi tentang kopi racikan tersebut. Itu kan hanya perkara niat dan pilihan untuk berhenti saja.

Memang siasat antirokok dengan dalih kesehatan selalu saja memanfaatkan hal-hal yang populer di masyarakat. Yang kalau kita mau membaca secara kritis, kenapa demikian gencar mereka memerangi perokok, kenapa tidak demikian gencar terhadap orang-orang yang memiliki ketergantungan terhadap junk food misalnya. Kita tahu sendiri produk konsumsi mana sih yang tidak memiliki fakor risiko.

Sebetulnya kopi ramuan yang ditemukan oleh tenaga kesehatan tersebut sudah ada sejak lama. Di Pekalongan sendiri disebut dengan istilah Kopi Tahlil. Tak jauh berbeda unsur rempah yang digunakan dalam racikan kopi tersebut. Kopi Tahlil itu dulunya dimanfaatkan sebagai sarana untuk bikin kuat melek kegiatan tahlilan maupun pengajian di daerah Kauman. Yang kemudian populer dan dijual di sejumlah warung-warung kopi.

Baca Juga:  Presiden Republik Kretek

Perokok yang mengonsumsi kopi yang kuat rasa rempahnya itu iya tetap saja merokok, tidak lantas memberi pengaruh pada aktivitas merokoknya. Saya sendiri berkali-kali sudah mencicip kopi racikan semacam itu. Sungguh menyegarkan memang, rasa hangat yang ditimbulkan memberi efek tersendiri pada tubuh. Namun tidak berarti kala saya menghisap rokok lantas rasa hangat dan segar dari ramuan itu pupus. Karena pada rokok yang saya hisap, yakni kretek, juga mengandung unsur rempah; cengkeh dan kapulaga, sebagaimana yang digunakan pada kopi ramuan dari hasil lomba-lombaan yang dibikin oleh pihak kesehatan itu.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah