Press ESC to close

4 Alasan Perokok Harus Merasa Nyaman dan Terus Memperjuangkan Haknya

Aktivitas merokok bukanlah tindakan kriminal. Kita pun perlu mengkaji lebih dalam untuk menempatkan aktivitas merokok ke dalam kategori dosa. Ditambah dengan fakta bahwa perokok menyumbang ratusan triliun rupiah tiap tahunnya pada Negara, maka tak ada alasan bagi perokok untuk merasa malu. Perokok harus menunjukan jati diri seorang perokok dengan bangga sambil terus melatih watak seorang perokok yang santun.

Fakta di atas ternyata tidak cukup bagi perokok untuk merasa nyaman dan terjamin haknya. Kita masih bisa dengan mudah menemukan fenomena dimana perokok merasa terdiskriminasi. Seringkali tindakan-tindakan masyarakat mengesampingkan hak-hak perokok yang sebenarnya dilindungi oleh undang-undang. Dengan demikian, alih-alih berharap perlindungan pada negara, para perokok dirasa perlu memperjuangkan sendiri hak-hak mereka sebagai konsumen rokok. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa perokok perlu memperjuangkan haknya:

Banyak kebijakan yang diskriminatif

Bentuk diskriminasi pertama terhadap perokok adalah kebijakan diskriminatif yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan diskriminatif ini biasa dimanifestasikan dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang muatannya merugikan kaum perokok. Sebagai contoh, Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok di Solo memuat poin sanksi pidana terhadap para pelanggarnya berupa kurungan satu hingga enam bulan, serta denda Rp1 juta hingga Rp50 juta.

Baca Juga:  Rokok Mentol Bukan Rokok Banci

Perda semacam itu menjadi ancaman bagi perokok hingga pada akhirnya menempatkan perokok pada posisi yang mau tidak mau harus berjuang untuk mewujudkan kesetaraan hak perokok dengan masyarakat lain yang bukan perokok.

Label buruk terhadap perokok

Saya pernah mengalami penolakan dari keluarga pasangan saya hanya karena mereka tidak ingin anaknya menjalin hubungan dengan seorang perokok. Sedihnya, pasangan saya memilih untuk memutuskan hubungan secara sepihak karena saya enggan berhenti merokok.. Nah, penolakan cinta berdasarkan kriteria perokok-bukan perokok tersebut merupakan salah satu dari banyak bukti masih mengakarnya stigma negatif perokok di tengah masyarakat. Publik harus sadar bahwa moralitas tidak bisa diukur dari sebatang rokok. Label buruk perokok yang dianggap seolah-olah seorang kriminal adalah pola pikir sesat. Sesat pikir semacam ini harus dilawan dengan perjuangan kampanye persuasif untuk membuka mata awam tentang sisi lain dari perokok.

Perokok punya sumbangsih besar untuk negara

Pembangunan infrastuktur yang massif dilakukan oleh pemerintah tidak lepas dari kontribusi perokok di dalamnya. Kurang lebih 10% dari pagu APBN tiap tahunnya didapat dari penerimaan cukai. Dan 10% penerimaan cukai tersebut didominasi oleh cukai dari produk hasil tembakau. Pajak yang diambil pemerintah dari harga sebatang rokok yang dihisap oleh perokok mencapai angka 70%. Artinya, perokok merupakan seorang warga Negara yang punya kontribusi bagi penyelenggaraan roda pemerintahan. Banggalah jadi perokok!

Baca Juga:  Kisah Lucu Perokok di Tengah Pandemi Corona

Perokok bagian dari konsumen

Negara ini menjamin perlindungan hak para konsumen barang dan/atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat. Produk hasil olahan tembakau seperti rokok yang membayar pajak pada Negara merupakan salah satu barang yang peredarannya diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf a UU Perlindungan Konsumen dengan jelas menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa. Jadi, hak-hak tersebut hanya akan terwujud jika UU Perlindungan Konsumen dilaksanakan dengan amanah. Perjuangan perokok tentunya digaransi oleh undang-undang ini.

Rizqi Jong

Sebats dulu bro...