Tembakau memberi andil penting bagi perkembangan dunia medis sejak masa lampau. Dapat kita telusuri jejak sejarah menyangkut peran ’emas hijau’ ini dalam upaya menangkal berbagai penyakit. Dari era tradisional sampai era modern, hingga kini pada masa pemutakhirannya, tembakau masih terus diupayakan untuk menangkal potensi penyakit yang tengah berkembang.
Namun, di balik itu tembakau menjadi salah satu tanaman yang kerap menimbulkan kontroversi, apalagi ketika masuk babak industri menjadi produk berupa rokok. Sebagian kalangan, termasuk para ahli tidak semua bersetuju ataupula skeptis terkait manfaat yang dikandung pada tembakau, sehingga kemudian berujung kebencian terhadap rokok.
Jika kita mengingat lagi premis seorang peneliti medis asal Belanda bernama Gilles Everaerts, bahwa dia meyakini sedemikian tingginya manfaat tembakau, dan itu akan membuat sebagian dokter akan menganggur. Dalam buku terbitan 1587 berjudul Panacea; or the Universal Medicine, being a Discovery of the Wonderful Virtues of Tobacco taken in a Pipe. Everaerts menulis, “asapnya merupakan penawar semua racun dan penyakit-penyakit menular,” dengan kata lain, Everaerts menganggap tembakau adalah obat dari semua penyakit yang bisa digunakan dengan membakar dan mengisapnya melalui pipa.
Untuk itu menjadi penting bagi kita melihat lagi jejak sejarah yang berhubungan dengan pemanfaatan tembakau untuk tujuan medis. Apalagi di masa-masa sekarang ketika masyarakat global temgah diguncang oleh serangan wabah Corona. Pemutakhirannya untuk dijadikan vaksin penangkal virus covid-19 itu tengah diupayakan oleh beberapa perusahaan rokok, iya patut itu diperhitungkan.
Nah, berikut ada 5 catatan sejarah penting terkait pemanfaatan tembakau di seluruh dunia, terutama dalam tujuannya mengatasi penyakit.
Pertama, tak dipungkiri, Christoper Colombus tercatat sebagai orang Eropa pertama yang mencoba menggunakan tembakau untuk tujuan medis. Melalui artikel karya Prof Anne Charlton dalam Journal of the Royal Society of Medicine. Charlton menulis, Columbus menyadari pada tahun 1492 bahwa tembakau diisap oleh penduduk di kepulauan yang sekarang bernama Kuba, Haiti, dan Bahama. Daunnya kadang pula dibakar layaknya obor untuk membantu mensucihamakan atau mengusir penyakit dari suatu tempat. Tembakau juga dipakai sebagai pasta gigi, yang mungkin dicampur limau atau kapur, di daerah yang kini menjadi Venezuela. Praktik semacam itu masih berlangsung di India.
Kedua, penjelajah Portugis, Pedro Alvares Cabral, berdasar referensi yang ada, diketahui tiba di Brasil pada tahun 1500-an, melaporkan bahwa betum (nama lain tembakau) dipakai pula untuk mengobati penyakit seperti kulit bernanah dan polip.
Ketiga, di kawasan yang kini menjadi Meksiko, biarawan Spanyol bernama Bernardino de Sahagun belajar dari dokter setempat bahwa penyakit yang mempengaruhi kelenjar-kelenjar pada leher dapat disembuhkan dengan membedah leher dan menaburkan daun tembakau yang sudah ditumbuk dengan campuran garam.
Keempat, memasuki abad 19, merujuk arsip Wellcome Collection yang merupakan museum sekaligus perpustakaan kesehatan, pipa atau rokok menjadi aksesori wajib bagi dokter, dokter bedah, dan mahasiswa kedokteran khususnya di ruang bedah. Mereka dianjurkan mengisap rokok secara bebas guna menutupi bau jenazah serta melindungi mereka dari ancaman penyakit yang timbul dari jenazah. Diketahui Albert Smith menulisnya dalam buku The Medical Student.
Berdasar arsip Wellcome Collection, diketahui pula pada tahun 1665, saat wabah penyakit merebak di London, anak-anak diperintahkan mengisap tembakau di ruang kelas. Namun tentu saja di masa sekarang jika hal serupa dilakukan akan sangat berbenturan dengan berbagai norma yang berlaku. Apalagi secara aturan yang ditetapkan pemerintah, produk tembakau hanya boleh dikonsumsi oleh orang yang sudah berumur di atas 18 tahun.
Kelima, asal tahu saja, di Indonesia terdapat satu penemuan penting hasil olah pikir seorang Haji Djamhari. Temuannya itu menjadi bagian dari sejarah tentang kretek pertama kali.
Produk kretek adalah berupa lintingan tembakau dicampur cengkeh, ini tercipta untuk meredakan sesak nafas sang penemunya. Kala itu, Haji Djamhari tengah sesak nafas. Ia mencari cara untuk meredakan sakitnya. Kemudian Ia mencampur cengkeh dan tembakau serta dilinting dengan daun jagung untuk kemudian dibakar dan diisap. Berhasil, sakitnya mereda dan kretek pun jadi dikenal banyak orang.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024