Nyebats di waktu berbuka puasa menjadi satu kenikmatan tersendiri bagi perokok. Tak dipungkiri, saat menjelang adzan magrib, di antara menu hidangan berbuka, perokok macam saya juga menyiapkan rokok untuk dinikmati nanti setelah membasahi kerongkongan dengan segelas minuman hangat.
Jujur saja saya tidak terlalu minat mengawali buka puasa dengan minuman dingin. Bukan apa-apa, saya tahu betul reaksi minuman dingin bagi tubuh saya setelah berpuasa. Biasanya malah bikin badan saya lemas. Segelas minuman hangat dan beberapa potong kudapan, bagi saya, sudah cukup bikin saya lebih berenergi. Setelah itu barulah nyebats.
Tak dipungkiri memang, itu sudah menjadi kebiasaan saya sejak lama, segelas air putih, teh manis hangat, beberapa potong kudapan, dan rokok, menjadi menu berbuka yang cukup menyenangkan.
Beda halnya dengan menu yang mengenyangkan. Ada juga kebiasaan teman yang saat berbuka setelah meminum segelas air, lantas menyambar hidangan berat. Iya apalagi kalau bukan makan nasi dan lauk pauknya. Usai itu barulah dia merasa nikmat untuk nyebats.
Lain teman lain kebiasaannya, ada yang belum merasa tenang kalau belum menunaikan shalat Magrib. Merokok jadi berasa dikejar-kejar Satpol, celoteh teman saya kala itu. Nah kalau ini sih agak lebay sampai pakai analogi kayak gitu.
Seperti juga rokok, dalam konteks berbuka setiap orang punya pilihan dan kebiasaannya. Tidak semua sama, itu keniscayaan umat muslim di Indonesia. Jangankan urusan berbuka puasa, perkara memilih pasangan hidup saja kembali ke selera dan beragam cara yang ditempuh. Hehe.
Tapi kita tak perlu nyimpang bahas soal itu, kembali ke soal berbuka puasa. Menurut beberapa sumber, berbuka puasa dengan rokok itu dapat memberi dampak buruk bagi kesehatan. Menurut saya tidak klir juga pandangan semacam itu, karena selain rokok, toh ada produk konsumsi lain yang memiliki faktor risiko.
Jika ada perokok yang membatalkan puasanya saat berbuka dengan sebatang rokok, bagi saya itu hal yang tidak tepat, lagipun tidaklah mungkin jika tidak diawali dengan meminum minuman hangat, atau sekurangnya airputih. Rasa rokok pun tidak enak kok jadinya.
Masyarakat luas juga paham bahwa setelah berpuasa tubuh kita membutuhkan asupan yang berfungsi menghidrasi tubuh. Artinya, tubuh membutuhkan cairan yang mampu menstabilkan kerja organ di dalam tubuh sehingga dapat memulihkan stamina.
Di masa-masa pandemi dan Ramadhan ini, media tidak absen menyoal isu kesehatan yang dikaitkan dengan rokok. Tidak jarang masyarakat terbawa oleh framing yang mendiskreditkan rokok, bahkan dikaitkan dengan urusan berbuka puasa.
Pada titik tertentu, framing media sudah mengarah ke doktrinisasi, bahwa rokok di bulan puasa ini sudah harus dienyahkan, dengan narasi begini, sudah saatnya bulan puasa dijadikan momentum untuk berhenti merokok. Haelah, kalau urusan berhenti merokok sih tak perlu menunggu momentum kali. Kapan saja mau berhenti juga bisa.
Satu hal yang sangat disesalkan dari doktrin kesehatan yang menyasar rokok, adalah narasi yang tidak berimbang. Bukankah menu yang manis-manis juga punya potensi berbahaya bagi kesehatan, kenapa tidak banyak yang menyoroti soal bahaya pemanis dalam produk konsumsi? Terlebih di bulan puasa ini.
Sebagai masyarakat yang juga memiliki nalar kritis, kita tentu tahu apa yang memang layak kita konsumsi dan tidak. Biar bagaimanapun kita juga berupaya untuk tetap menjaga pola hidup seimbang, tanpa harus mendiskreditkan produk satu dengan lainnya.
Semua akan kembali pada cara kita berlaku proporsional. Apapun pada akhirnya berpulang ke pribadi setiap orang, baik itu soal selera ataupun pilihan menu berbuka. Kalau saya ditanya mana lebih dulu saat berbuka, hidangan ringan atau hidangan berat. Jawaban saya satu, yang penting menyenangkan.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024