Rokok koncian adalah istilah yang lazim kita dengar dari kehidupan perokok kelas pas-pasan. Meski yang disebut golongan pas-pasan ini tentu bukan hanya para perokok. Pastinya, istilah ‘koncian’ di sini diakui pula sebagai kata ganti atau padanan dari kata ‘pamungkas’.
Kehidupan perokok tak ubahnya dengan entitas lain yang demikian dinamis. Ada kehidupan budaya dan bahasa yang terpelihara berkat persoalan yang dihadapinya. Tak dipungkiri, kaum sebats ini kerap saja dituntut untuk pandai-pandai menyiasati keadaan.
Keadaan ini muncul lantaran masyarakat konsumen di Indonesia mengenal budaya kepatutan. Kepatutan yang tak jarang dilatari kearifan masyarakat untuk saling ingat mengingatkan, menyiasati kemungkinan-kemungkinan hidup. Kearifan ini berakar dari falsafah eling lan waspada.
Hal itu dapat kita tilik dari kearifan masyarakat dalam memaknai sumber pangannya sehari-hari. Misalnya saja menyoal beras yang disimpan di pendaringan. Di wadah penyimpanan beras itu, oleh orang tua ditekankan untuk tidak boleh benar-benar dibuat habis.
Harus ada sejumput beras yang disisakan di pendaringan. Konon, dengan begitu dapat memancing kelangsungan beras atau pula rejeki berikutnya. Logika sederhananya, agar kita punya beras pamungkas alias beras koncian, yang sewaktu-waktu bisa diandalkan saat benar-benar cekak.
Agaknya perokok pun memproduksi istilah tersebut bertolak dari alur kearifan semacam itu. Istilah rokok koncian menjadi simbol dari budaya masyarakat yang memandang hidup tidak sekadar selesai saat ini saja, ada sesuatu yang kelak harus disikapi. Tentu saja tak ada aturan khusus atau hukum tertulis yang menjelaskan istilah ini.
Seperti yang kita ketahui, rokok sebagai produk budaya secara langsung maupun tidak telah membentuk bahasanya sendiri. Bahasa lahir dari kehidupan yang organik, dari hidup yang dimaknai untuk ada dan menjadi (being-becoming). Di masa datang bisa saja istilah ‘koncian’ di para perokok ini tak lagi digunakan.
Kepunahan suatu istilah bisa disebabkan oleh tergantikannya simbol budaya di masyarakat. Bahkan dimungkinkan sekali terkikis oleh sebab konsumsi masyarakat yang berubah. Pula, berubahnya cara pandang masyarakat dalam memaknai eling dan waspada.