Press ESC to close

Bagaimana Industri Rokok Kretek Bertahan Menghadapi Krisis Moneter

Rokok kretek telah lama dikenal sebagai produk khas yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian Indonesia. Terbukti dari devisa triliunan rupiah tiap tahun sebagai penerimaan negara. Menghidupi hajat hidup puluhan juta para pelaku ekonominya dari hulu sampai hilir industri.

Hal itu dapat kita tengarai dimulai dari babak pertama industrinya pada pra kemerdekaan, dimana Nitisemito sebagai pengusaha kretek telah mempekerjakan sekitar 10.000 pekerja di Kudus.

Suksesi Nitisemito tentu tidak sendirian, disusul kemudian dengan kemunculan beberapa nama pengusaha kretek lainnya; M Atmowidjoyo (rokok merek Goenoeng Kedoe, 1910), H Ali Asikin (Djangkar, 1918), HM Ashadi (Delima, 1918), dan HM Moeslich (Teboe & Tjengkeh, 1919).

Karakter sosial budaya masyarakat dengan semangat gotong royongnya, telah membuat keberadaan kretek senantiasa menjadi bagian penting dari masa ke masa. Industri kretek telah melewati berbagai dinamika sejarah yang cukup kompleks.

Pada masa selanjutnya, industri ini teruji tangguh menghadapi badai krisis moneter 1998. Dimana ketika itu ekonomi makro terguncang, ditandai masalah inflasi, utang luar negeri, dan ketimpangan. Krisis ini pertama kali dimulai pada 2 Juli 1997 ketika Thailand mendeklarasikan ketidakmampuan untuk membayar utang luar negerinya.

Baca Juga:  Hikayat Seorang Pekerja Tembakau Bugis

Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di Indonesia. Tercatat sejak tahun 1997 hingga 1998, Indonesia mengalami inflasi mencapai 70 persen dan pertumbuhan ekonomi turun hingga -13 persen.

Pada kondisi yang serba pelik itu, produksi industri rokok dalam negeri justru meningkat. Dari 220 miliar batang menjadi 269,8 miliar batang. Penerimaan CHT mencapai periode 1996/1997 sebesar Rp 4.060,5 miliar, periode 1997/1998 mencapai Rp 4.892,8 miliar, periode 1998/1999 mencapai Rp 7.459,4 miliar, periode 1999/2000 mencapai Rp 10.113,3 miliar.

Dari gambaran itu saja dapat kita lihat pertumbuhan penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau. Kalau kita tarik ke tahun-tahun sebelumnya, tepat di era 1950-an, rokok putih mendominasi dengan pangsa pasar 90%. Kemudian pada 1970an mulai beranjak disusul kemunculan produk sigaret kretek mesin. Hingga mendapatkan pasar yang mampu menandingi keberadaan rokok putihan.

Berdasar catatan GAPPRI (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), sebelum reformasi, anggotanya ada sekitar 800 pabrik. Ketika terjadi reformasi, krisis multidimensi, justru tumbuh mencapai hampir 5 ribu pabrik dalam 3 tahun mulai 1998.

Baca Juga:  Benarkah Orang Terkaya di Indonesia Sukses Karena Rokok?

Hal mendasar yang membuat industri kretek tetap bertahan, oleh sebab karakter industrinya berbasis kearifan lokal, hubungan emosional antara pabrikan dan petani yang cukup kuat. Bahan baku kretek, yakni tembakau dan cengkeh notabene berasal dari perkebunan rakyat. Berbeda dengan karakter perkebunan di luar negeri.

Krisis moneter 1998 menjadi titik baca kita akan kedigdayaan sektor kretek. Hingga saat ini, meski industri rokok dalam negeri terus mengalami berbagai hantaman regulasi. Industri ini terus bersetia memberi andil besar bagi kelangsungan ekonomi bangsa.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah