Membeli 1 bungkus rokok bagi umumnya perokok adalah hal yang lumrah. Bukan sesuatu yang ajaib juga jika rokok dimaknai sebagai sarana rekreatif. Bahkan, rokok telah menjadi bagian dari kebutuhan serta elemen perekat sosial.
Tak perlu diperdebatkan juga, jika sebagian perokok pada kondisi tertentu harus membeli secara ketengan. Ini pun hal yang lumrah saja. Perkara mana lebih irit, membeli secara ketengan atau bungkusan, hal ini kembali pada habit merokok masing-masing perokok.
Selain itu perlu diketahui lagi, tidak semua jenis rokok di pasaran bisa dbeli secara ketengan. Ada beberapa merek rokok tertentu yang tidak dijual secara ketengan. Hal ini pula yang menjadi alasan bagi sebagian perokok lebih baik membeli 1 bungkus rokok kesayangannya.
Namun, sebetulnya soal irit atau tidak bisa kita jangkau secara hitung-hitungan. Katakanlah pada saat saya cekak, cuma punya uang Rp 25.000 di kantong, sementara dari uang itu saya juga butuh untuk membeli makan di Warteg.
Mau tak mau, jurus matematika jalanan mesti digunakan, saya ploting deh tuh biaya makan dengan menu Rp 15.000 seporsi, biar sisanya bisa buat membeli rokok di kisaran Rp 10.000/bungkus. Rokok apaan sepuluh ribuan sebungkus? Woya banyak. Ada Envio Kretek ada VIP ada Minak Djinggo, merek-merek ini isinya 12 batang.
Kenapa saya lebih memilih membeli 1 bungkus ketimbang ngeteng? Karena bagi saya membeli rokok ketengan, misalnya Dji Sam Soe, dengan duit Rp 10.000 paling cuma dapat tujuh atau delapan batang. Sementara, saya tergolong perokok yang tekun ngebul dan gemar bergaul.
Biasanya nih, kalau mau irit-iritan, dengan modal sebungkus itu, saya atur ke dalam dua waktu. Enam batang untuk pagi ke siang, enam batang untuk siang ke malam. Walaupun pada praktiknya bisa sisa dua batang buat dibakar paginya, atau bahkan sudah habis sebelum malam.
Bagi perokok yang fanatik dengan satu merek dan dengan kondisi cekak seperti saya tadi. Tak ada jurus lain selain membeli ketengan, konyol saja kalau sampai mengabaikan kebutuhan makan. Nah, pada kondisi semacam itulah harga rokok kesayangan jadi terasa mahal.
Prinsipnya sih, perkara mana lebih irit, ya kembali ke habit merokok masing-masing, mampu adaptif atau tidak pada kondisi apapun. Itu sudah.