Menyambut musim tanam tembakau, masyarakat yang kebanyakan adalah petani tembakau di Temanggung khususnya Desa Tlilir merayakannya dengan menggelar ritual adat Merti Dusun yang dikemas dengan even yang bertajuk Srobong Gobang. Tradisi Merti Dusun ini sudah berlangsung turun-temurun dan masih terjaga kelestariannya hingga saat ini.
Merti Dusun sendiri merupakan upacara adat yang dilakukan masyarakat dengan cara bersih-bersih di lingkungan tempat tinggal juga alat-alat yang akan dipergunakan untuk mengolah lahan. Bertujuan sebagai ucapan rasa syukur atau terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rejeki yang diterima. Srobong Gobang kali ini seperti sebelumnya, dilakukan dengan cara membuat jamuan makan berupa ingkung dan lauk pauk serta buah-buahan hasil bumi untuk kemudian dimakan bersama warga desa.
Warga Desa Tlilir sejak tahun 2015 menggelar acara Merti Dusun yang dikemas dengan bentuk karnaval budaya. Harapanya adalah acara tersebut dapat dinikmati bukan hanya oleh warga desa saja, namun juga dapat menjadi daya tarik wisata sehingga dapat mengungang wisatawan dari luar daerah bahkan mancanegara.
Dalam acara Srobong Gobang ini pula, terdapat ritual yang dinamakan jamasan. Jamasan adalah prosesi mencuci gobang. Bagi yang belum paham, gobang adalah salah satu alat pertanian tradisional yang digunakan untuk merajang tembakau. Sebelum ritual jamasan, warga desa menggelar doa bersama agar dilimpahkan berkah dan kelancaran dari masa tanam hingga masa panen tembakau.
Menjaga tradisi semacam ini adalah tugas kita bersama sebagai bangsa yang berbudaya. Ada banyak upaya dalam melestarikannya, salah satunya dengan menghadiri acara tersebut. Jika kita belum mampu menghadirinya, setidaknya kita bisa membantu menjaga dan melestarikan nilaidan esensinya. Atau, hal paling sederhana adalah dengan melalui media sosial.
Akhir-akhir ini, banyak sekali masyarakat yang masih berkomentar negatif saat ada acara-acara seperti Merti Dusun ini. Banyak yang mengaitkan tradisi atau budaya yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat indonesia dengan syirik atau tidak sesuai syariat menurut pandangan mereka.
Contohnya saat perhelatan MotoGP kemarin di Mandalika. Banyak yang berkomentar negatif karena saat sebelum acara berlangsung, terdapat pawang hujan. Seperti Merti Dusun, profesi pawang hujan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan sebelum agama masuk ke Indonesia.
Anggapan-anggapan seperti ini sebetulnya berbahaya bagi kemaslahatan kita sebagai negara yang berbudaya. Hanya karena berbeda pandangan, lantas menganggap aktivitas tersebut tidak benar. Mereka lupa bahwa bangsa Indonesia itu tidak hanya milik satu golongan agama saja. Padahal kan tidak seperti itu.
Tradisi seperti Merti Dusun sebetulnya merupakan tradisi sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta. Bagaimana ceritanya, kita sedang bersyukur kepada sang pencipta, kok dibilang syirik hanya karena berbeda cara dalam merayakan rasa syukur.
Setidaknya, kalau kita berbeda pandangan jangan lantas kemudian kita mencemooh yang berbeda pandangan dengan kita. Sebagai makhluk yang memiliki akal dan pikiran, kita punya sifat toleransi kepada sesama. Memahami setiap manusia memiliki keyaninan dan kepercayaan masing-masing. Memberikan hak kepada mereka melakukan ritual adatnya dengan ketenangan. Sama halnya kita melakukan ibadah, juga tidak mau kalau diganggu toh? Maksudnya, siapapun berhak berkeyakinan pada hal tertentu, yang tidak berhak adalah menghina atau bahkan menjadi hakim moralitas pada tradisi kelompok lain. Selama tidak melanggar hukum umum, ya apa masalahnya?
Kembali lagi ke Temanggung, semoga masyarakat setempat dan otoritas di sana mampu dan setia menjaga kemurnian tradisi lokal.
- Rumah Sakit Tembakau Deli, Satu-satunya Rumah Sakit yang Pakai Kata Tembakau - 29 December 2023
- Ketakutan Bea Cukai Riau Membongkar Gudang Rokok Ilegal - 20 December 2023
- Industri SKT Tidak Sekadar Tembakau, tapi Mata Rantai Ekonomi - 14 December 2023