Press ESC to close

(RITEL) TOKO TEMBAKAU: KENAIKAN CUKAI

Cuaca panas sejak pagi, kemacetan lalu lintas juga hiruk-pikuk perkotaan tak menyurutkan langkahku untuk mengunjungi beberapa toko tembakau di daerah Jogjakarta. Hari ini saya mengunjungi 2 toko tembakau, yang satu berada dipusat kota yang satu berada dipinggiran kota. Keduanya memiliki jarak tempuh yang tidak terlalu jauh.

Saya membuka google map, karena memang baru pertama kali mengunjunginya. Tujuan pertama saya, Toko Tembakau dan Cerutu Wiwoho yang terletak persis di tengah kota disebelah barat Tugu Pal Putih atau Tugu Jogja. Ternyata tidak sulit menemukan titiknya karena tempatnya tepat dipinggir Jalan Pangeran Diponegoro dan kebetulan hanya berjarak 15 menit dari tempat tinggal saya.

Toko tembakau

Sekitar jam 10 siang saya sudah sampai di toko tersebut. Masih sepi, hanya ada satu laki-laki separuh baya yang kukira adalah pembeli. Dugaanku salah, laki-laki tersebut ternyata adalah agen rokok di toko tembakau ini. 

Pertama kali memasuki toko tersebut, saya disambut oleh seorang laki-laki tua yang merupakan karyawan toko tersebut. Langsung saja saya mengatakan tujuan utama saya mengunjungi tempat ini. 

“Selamat Siang, Pak. Saya Fatona, kalau berkenan apa boleh saya mewawancarai pemilik dari toko ini?”. Belum sempat menjawab, tak lama kemudian datang dari arah belakang bapak-bapak karyawan terebut, seorang ibu-ibu tua berkulit putih dan bersuara sangat lirih.

“Ada apa, Mbak? saya pemilik toko ini, jika ingin wawancara jangan lama-lama”. Saya langsung kebingungan disertai perasaan yang tidak enak.

Duh, bagaimana bisa saya mewawancarai seorang ibu yang sudah tua dengan keadaan berdiri seperti ini, panas, takut ibunya kecapekan dan tidak nyaman, takut mengganggu pembeli lain pulak

Lalu saya mengatakan tujuan saya ke toko ini. Syukurlah si Ibu mau menjawab walaupun sedikit terbata-bata. Lama kelamaan si Ibu pemilik toko mulai menunjukkan gelagat tidak nyaman karena saya tanyai terus. Saya pun merasakan hal yang sama, tidak enak mewawancarai dengan keadaan seperti ini, tidak sopan pula.

Tiba-tiba dari belakang si Ibu, ada bapak-bapak berumur 40 an, bukan karyawan tadi. Tapi karyawan lain yang sepertinya karyawan ini telah mengamati percakapan kami agak lama. Mungkin ia juga merasakan ketidaknyamanan si Ibu sebab kutanyai terus menerus. 

Karyawan ini kemudian menawarkan diri kepada si Ibu untuk menggantikannya. Si Ibu mau dan izin kepadaku untuk beristirahat diruang belakang. Tak disangka ternyata bapak ini mendengarkan percakapan kami dari belakang, jadi ia langsung saja melanjutkan cerita dari si Ibu. 

Sembari kuamati toko tersebut ternyata terdapat dua tempat kasir untuk melayani pembelian. Cukup lega karena pembelinya belum terlalu ramai, jadi bisa ngobrol sedikit santai.

Saya juga meminta izin untuk mengambil beberapa gambar dari toko tembakau tersebut. Rupanya selain tembakau sebagai komoditas utama yang membuat pemilik toko tembakau ini jaya, banyak juga jenis cerutu, rokok mesin, hingga berbagai aksesoris rokok yang lengkap. 

Toko ini menjual sejumlah 23  jenis tembakau, 35 merek rokok produksi pabrik, 15 jenis cerutu, berbagai jenis cengkeh dan rempah lain, hingga aksesoris rokok seperti korek, kertas tembakau, kotak rokok, lem kertas untuk pelekat kertas, dan lain-lain.

Tembakau yang dijual beracam-macam, mulai dari tembakau gayo, madura, darmawangi, temanggung, tambeng, lumajang, artomoro, hingga tembakau paiton. Dan masih banyak jenis tembakau lainnya. Selain itu, toko ini juga menjual tembakau rasa-rasa yang kekinian, seperti tembakau dengan rasa anggur merah, lychee, vanilla, cappucino, pappermint, whiskey, dll. 

Tidak heran lagi, karena toko tembakau ini memang legendaris dan merupakan toko tembakau pertama di Jogjakarta yang berdiri sejak tahun 1919. Sudah lama sekali dan masih berjaya hingga hari ini.

Komoditas Tembakau

Tembakau lebih menggoda rupanya, potensinya lebih menjamin kemajuan ekonomi. Sehingga mendirikan sebuah toko tembakau menjadi pilihan. Dikelola oleh banyak pelaku masyarakat, menghidupkan kehidupan banyak manusia. Mulai dari petani tembakau, agen, tengkulak, pedagang pengumpul, perusahaan rokok serta para karyawan, pedagang kecil, hingga konsumen.

Toko Tembakau dan Cerutu Wiwoho ini didirikan oleh Hyiap Ho Tiek dan saat ini dikelola oleh menantunya Setyawati (79) si ibu tadi, serta kedua karyawan laki-lakinya. Menurut Setyawati, pembeli tembakau untuk rokok lintingan tidak pernah surut di Jogjakarta.

Banyak upaya yang ditempuh sejak 1919 sehingga toko ini masih berdiri sampai sekarang. Ada beberapa kesulitan, salah satunya seperti kenaikan cukai setiap tahun yang tidak bisa dihindari. Kendala dalam suatu usaha seringkali tak terhindarkan. Manajemen yang kurang tepat, pengembangan yang tidak optimal, serta adanya fenomena kenaikan cukai menngancam penyebabnya penurunan pembeli. 

Apalagi ditambah dengan kemunculan pandemi Covid-19 sejak awal 2020 lalu, perbedaan penghasilannya sangat terasa saat sebelum dan sesudah adanya pandemi. Kenaikan cukai besar-besaran yang terjadi sejak tujuh tahun terakhir. Butuh banyak pemulihan setiap tahunnya, agar pembeli tidak hilang. 

Baca Juga:  Ramalan Zodiak Minggu Ini, Buat Aquarius Yakin Mau Ganti Merek Rokok?

Terus Mengalir

Karyawan Setyawati mengatakan, “Dengan adanya kenaikan cukai setiap tahun seperti saat ini kita pasti mengalami kesulitan, apalagi untuk urusan mematok harga.”. Sebagai Toko Tembakau pertama di Jogja, tentu toko ini menjadi patokan untuk mematok harga bagi toko tembakau lain di Jogja. 

Untuk urusan mematok harga ia mengatakan walaupun ada kenaikan cukai tetapi jika masih tersisa kulakan yang lama, mereka tetap menjual dengan harga lama. Kalau sudah dipasok barang dengan cukai baru, mereka akan menggunakan harga baru

Adanya kenaikan cukai selama tujuh tahun terkhir juga membuat Toko Tembakau Wiwoho sempat kehilangan beberapa pelanggan rokoknya. Menurut Setyawati sendiri mungkin beberapa penikmat rokok banyak yang beralih ke rokok murah atau beralih ke tembakau (tingwe).  Mungkin ada juga yang menjadikan uang rokok sebagai ganti uang kebutuhan sehari-hari, karena harga sembako juga ikut naik.

Namun, menurut salah satu karyawan Setyawati, kenaikan cukai untuk saat ini justru yang menurun adalah penjualan tembakaunya. Karena saat ini banyak juga penikmat tingwe yang malas untuk melinting tembakau sehingga beralih kerokok murah. Tetapi untuk para pelinting yang sudah memiliki citarasa sendiri mereka akan tetap melinting dengan racikan sendiri.

Kenaikan cukai juga memicu munculnya rokok murah yang tidak kalah enak seperti yang beredar saat ini. Beberapa perusahaan rokok besar pun juga ikut mengeluarkan produk rokok murah, mereka tidak ingin ketinggalan. Bahkan, banyak ditemukan rokok illegal yang ingin menyaingi rokok murah tersebut. Munculnya rokok illegal ini juga menjadi keresahan lain yang dialami oleh toko tembakau wiwoho akibat kenaikan cukai. 

Disisi lain, Setyawati juga bersyukur karena ia tidak kehilangan pelanggan tetapnya dari dulu. Pelanggan-pelanggan tersebut juga mengatakan tidak akan berpindah selera dan tidak akan beralih ke toko tembakau lain bahkan ketika cukai naik seperti ini. Bahkan sudah banyak pelanggan tetap dari luar kota yang membeli tiap bulannya dan menjadikan Toko Tembakau Wiwoho sebagai pusat oleh-oleh tembakau di Jogja.

Masih terbilang aman walaupun kadang meresahkan. Semua pihak berharap, kedepannya fenomena kenaikan cukai yang terjadi setiap tahun dapat dikendalikan dengan baik. Penjualan minimal stabil, asal jangan sampai bangkrut. Banyak yang sudah merasakan kedamaian. Jangan sampai hilang.

Ekosistem Tembakau

Sudah hampir 15 menit kami mengobrol. Karyawan toko ini justru semakin asyik untuk melanjutkan cerita. Ia lanjut mengatakan cukup senang dengan ekosistem pertembakauan di Indonesia, apalagi saat ini banyak diadakan festival-festival tembakau daerah, bahkan beberapa sudah diadakan dilingkungan perkotaan, seperti di Cafe. 

Pengenalan mengenai tembakau juga sudah banyak dilakukan lewat media sosial seperti Facebook, Twitter, maupun pada beberapa website kepenulisan. Ini hal yang baik menurutnya bagi ekosistem pertembakauan di Indonesia, juga sebagai bentuk pengenalan terhadap anak-anak muda saat ini dengan lebih efektif.

Tak terasa sudah 45 menit saya mengobrol. Cuaca semakin panas, dan toko tembakau ini semakin ramai. Akhirnya saya mengakhiri obrolan, sekaligus berpamitan dan meminta mengulang beberapa foto.

Saya melanjutkan perjalanan menuju arah timur kota Jogja. Berjarak sekitar 20 menitan tepatnya didaerah Demangan, Gondokusuman.  

Toko Tembakau Bimasakti, toko tembakau kedua tujuan saya. Sebelumnya, saya memang sudah tahu dan beberapa kali mengunjungi toko ini hanya untuk sekedar membeli rokok. Tempatnya tidak seluas toko yang pertama. Namun, cukup nyaman.

Halamannya cukup untuk memarkir 5-6 motor. Toko ini juga bergandengan langsung dengan rumah makan di sebelah kiri dan rumah tinggal di sebelah kanan yang ketiganya merupakan milik dari Bapak Anton, bapak pemilik Toko Tembakau Bimasakti ini.

Aku mulai memasuki toko sembari mengamati beberapa tembakau dalam toples dan melihat-lihat apa saja yang dijual. Ah, sudah setahun saya tidak kesini. Adik dari bapak pemilik toko ini muncul dari belakang. “Mau beli apa, Mbak?. Aku menjelaskan tujuanku kesini, “Kali ini saya ndak mau beli, Pak. Tapi, saya mau ngobrol saja”. Lalu si bapak mempersilahkan.

Toko Tembakau

“Mengapa toko tembakau, Pak?”, pertanyaan pertama yang saya lontarkan. Toko ini berdiri sejak awal Pandemi 2020, dahulunya toko ini bukan toko tembakau, melainkan rumah makan seperti bangunan disamping. Dirasa sejak pandemi penghasilan yang hanya mengandalkan dari rumah makan saja tidak cukup, lalu ia membuka toko tembakau.

Ia mengatakan, adanya pandemi membuat penghasilan industri kecil seperti rumah makan langsung menyusut dan kalah dengan rumah makan lain yang mematok harga lebih murah saat pandemi. Lalu ia memutuskan untuk membuka sebuah toko tembakau. Yang kebetulan Bapak Anton dan adiknya ini merupakan teman dari Mas Anang si pemilik toko tembakau Tobeco yang populer di Jogja saat ini. 

Baca Juga:  Menu Buka Puasa Versi Perokok

Bisa dikatakan Toko Tembakau Bimasakti merupakan partner dari Tobeco. 

Jenis tembakau, jenis rokok, berbagai rempah, dan aksesoris tembakau yang dijual ditoko ini sangat lengkap. Hampir semua sama seperti yang ada di toko Tobeco. Terlihat beberapa aksesoris juga bertuliskan Tobeco. 

Sebagai teman sekaligus partner, Mas Anang sering mengajak Pak Anton dan adiknya untuk mengonsep toko tembakau Bimasakti mirip dengan Tobeco. Namun, Pak Anton menolaknya. Biarlah Tobeco seperti itu dengan standar middle high, dan Bimasakti seperti ini dengan standar medium low

Saya agak kebingungan dengan jawaban itu. Rupanya istilah tersebut mengarah kepada konsumen penjualan. 

Menurutnya, tukang becak agak sungkan untuk membeli rokok di Tobeco. Lalu Pak Anton dan adiknya memilih pada pasar medium low dengan item yang dijual hampir keseluruhan sama dengan di Tobeco, namun beberapa item berbeda harga. 

Walaupun, di pasar medium low ini saingannya lebih berat seperti toko kelontong madura yang buka 24 jam, mereka berdua tetap bersikeras memilih pasar medium low untuk menjangkau orang-orang yang sulit memasuki pasar middle high.

Ia juga mengatakan alasan lain memilih membuka toko tembakau. Justru, saat ini persentase orang merokok baru lebih banyak daripada orang yang berhenti merokok. Baginya, sangat menggiurkan bisnis rokok seperti ini.

Strategi Penjualan

Hal yang membuat saya kagum ketika pertama kali memasuki toko tembakau ini adalah disediakannya beberapa tempat duduk, etalase minuman, kopi bubuk, air panas, dan gelas. “Kenapa diberi fasilitas seperti ini, Pak?”, ia mengatakan banyak anak muda yang setiap malam nongkrong disini, tidak salah juga jika sekalian saya siapkan jamuan berbayar murah ini. 

Menurutnya, dengan melakukan hal tersebut merupakan salah satu strategi cemerlang untuk menarik pelanggan. Jika pelanggan merasa terlayani dengan baik, pasti ia akan kembali ke toko ini.

Ia juga mengikuti strategi lain dari pamannya yang sering mengeluarkan tembakau dan alat tingwe ketika sedang mengobrol. Jika yang dikeluarkan tembakau, orang akan lebih penasaran dengan rasanya, lalu rasa penasaran tersebut merambah ke rasa ingin mencoba dan ingin tahu tentang jenis tembakau apa? harganya berapa? rasanya bagaimana?.

Hal itu tentu lebih menarik dibandingkan mengeluarkan sebungkus rokok yang walaupun kita belum pernah mencoba, namun ketika mengetahui mereknya, kita sudah bisa memperkirakan rasanya. 

Kenaikan Cukai

Memasuki obrolan selanjutnya. Pak anton datang dan mengambil tempat duduk di sebelah adiknya. Mereka mengalami keresahan yang sama dengan adanya kenaikan cukai seperti ini. “Cukai naik, sembako naik, tapi banyak rokok murah bermunculan, bahkan banyak rokok illegal tak dikenal”.

Kenaikan cukai juga menyebabkan pelanggan toko Bimasakti berpindah dari penikmat rokok menjadi penikmat tingwe. Yang menurut mereka hal seperti ini tidak permanen alias kegelisahan sesaat saja, karena walaupun di awal terasa murah, namun jika dirasa lama kelamaan bukan selera, ya mereka akan kembali kerokok biasa. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, asal tidak sampai kehilangan pelanggan saja.

Urusan pematokan harga pasca kenaikan cukai juga tidak begitu menjadi masalah bagi Pak Anton. Karena sudah berpartner dengan Tobeco, maka informasi mengenai harga tinggal menunggu beberapa arahan dari Tobeco. Dan Bimasakti sebagai pasar medium low tinggal menyesuaikan saja.

Mereka cukup tenang walaupun ada kenaikan cukai setiap tahun. Karena mereka beranggapan penikmat rokok tidak akan mati, apalagi di Indonesia. Perokok itu candu, jika rokok saat ini mahal, tinggal pindah ke tingwe. Ini yang disebut tidak mati. Kenaikan cukai tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penjualan. Mereka percaya tidak akan kehilangan pembeli.

Justru, yang menjadi keresahan besar mereka bukanlah kenaikan cukai. Namun, tumbuh suburnya toko tembakau di Jogja saat ini yang artinya itu adalah ajang perebutan pelanggan. Mereka harus terus memperbarui strategi penjualan mereka agar tidak kalah dengan toko lain sehingga tidak kehilangan pelanggan dan toko tidak mati.

Jam sudah menunjukkan pukul 14.00, saya pun mengakhiri obrolan dan berpamitan dengan Pak Anton dan adiknya. Saya berharap tidak ada kecemasan seperti itu lagi bagi pelaku usaha seperti Pak Anton.

Indonesia sebagai negara penghasil tembakau terbesar diseluruh dunia, seharusnya tembakau bisa dinikmati bebas oleh seluruh rakyat Indonesia. Kualitas tembakau lokalnya pun sangat diperhitungkan. Memang ada batas yang harus dipatuhi. Mari tetap melestarikannya. Ia menghidupi.

Oleh: Siti Fatona

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *