Press ESC to close

Bagaimana Cara Menelan Asap Rokok Sendiri?

Peyorasi ke perokok selalu saja tamplate, kalau tidak mau disebut menjemukan. Kata-kata semacam “boleh merokok asal telan juga asap rokok yang kamu buang”. Di titik ini saya menangkap, si pelontar kalimat itu tidak bersetuju dengan asap yang terpapar ke orang lain. Peyorasi di atas tidak berlaku bagi tukang sate tentunya ya, Bos. Ehe~

Sebagai perokok santun, Komunitas Kretek kerap kali mengedepankan asas etik, bahwa ada orang lain yang juga punya hak setara. Untuk itulah, kampanye kami kerap kali menganjurkan untuk tidak merokok di dekat golongan rentan.

Hal itu menjadi keutamaan dalam etos perokok santun, agar sekurangnya kalimat peyoratif atau bahkan usiran dari yang tak berkenan tidak menderas ke perokok. Tahu sendiri lah ya, sejak antirokok masif memainkan kampanye kesehatan, semakin bertambah luas saja pandangan kebencian publik terhadap rokok. Walau tak sedikit juga yang menginsyapi di benak masing-masing.

Bahwa rokok adalah produk legal, meski demikian tetap memiliki faktor risiko. Karenanya, rokok perlu diatur sebagaimana barang legal lainnya. Tetapi, jika kampanye kesehatan menitik-beratkan pada permusuhan, sehingga hak orang untuk merokok bahkan ditakut-takuti dengan narasi yang absurd. Ini kelewat wajar.

Kata-kata peyoratif terhadap perokok sependek yang saya temukan, titik berangkatnya dari kebencian yang ditularkan. Banyak masyarakat yang termakan narasi kesehatan yang dilariskan antirokok. Tidak sedikit yang juga obyektif, kalimat penolakannya terhadap asap rokok pun cenderung asertif.

Saya masih mempercayai bahwa kata-kata adalah bagian dari ekspresi manusia yang tak dapat dipandang remeh. Mengingat setiap kata mengisyaratkan makna, bahwa makna diproduksi agar manusia bisa saling memahami. Artinya, pada muaranya untuk sampai pada kata paham, ada teknik pembahasaan yang beragam.

Baca Juga:  Macam-macam Rokok Asli Sumatera

Termasuk misalnya, ketika saya menemukan meme yang berseliweran di twitter. Ada meme yang menunjukkan aktivitas seseorang menempel tanda larangan merokok, gambar orang yang menempelkan tanda itu tampak sedang menikmati rokok yang terselip di bibirnya.

Bahasa menjadi tanda bagi manusia untuk menangkap makna ataupun pesan yang terkandung di balik simbol-simbol. Bahwa dari meme semacam itu kita dapat temukan juga watak standar ganda masyarakat. Seperti halnya ambivalensi antirokok yang juga memanfaatkan duit DBHCHT, ini ironi. Duit dari perokok untuk melakukan kampanye kesehatan mendiskreditkan rokok.

Peyorasi yang terlontar dari mulut masyarakat awam, lebih sering saya maklumi, mengingat mereka hanya latahan saja. Tidak paham bahwa di balik kebencian terhadap rokok, ada skema perang ekonomi politik yang melatari. Ada aktor-aktor besar yang memainkan skenario untuk membenci atau mengamini sesuatu yang berkaitan dengan produk tembakau.

Di dalam konteks rokok, sudah bukan rahasia, bahwa ada kepentingan kapitalisme farmasi di balik semua agenda yang mendiskreditkan rokok. Ada sektor industri yang dominasinya akan disingkirkan untuk diganti dengan dominasi produk lain yang berasal dari asing.

Jika ditilik secara logis terkait kata-kata peyoratif di atas, sebetulnya yang masyarakat umum tidak sukai adalah asapnya yang jika terpapar orang lain dapat mengganggu. Menelan asap sendiri, mungkin sama maksudnya dengan mengisap bau kentut sendiri. Iya itu sih niscaya, apa yang berasal dari pengguna akan kembali ke pengguna, tanpa harus dipeyorasi sekonyol itu juga.

Untuk itulah, kita perokok perlu mengedepankan kesadaran. Bahwa ada tempat yang boleh dan tidak boleh yang sudah ditentukan regulasi. Merokoklah pada tempatnya. Kira-kira itu pesan kesadaran terpenting yang perlu kita sikapi.

Baca Juga:  3 Alasan Kita Harus Berhenti Merokok di Bulan Ramadhan

Namun, persoalan yang kerap terjadi, di banyak fasilitas publik tidak tersedia area merokok. Kalaupun ada, keberadaannya tidak inklusif. Artinya, tidak memenuhi standar kesetaraan hak. Bahwa perokok juga manusia yang perlu dimanusiakan.

Tidak sedikit juga ruang merokok yang disediakan hanya dibuat sekadar ada. Sempit dan tak terawat. Tiada saluran ventilasi yang memadai. Tanpa asbak atau tempat sampah tersedia. Ini kok jadi kayak terpaksa disediakan.

Maka, dalam konteks ini kita juga perlu menghimbau pemerintah, menyampaikan sikap korektif kita. Bahwa ada amanat konstitusi yang juga menjamin keberadaan perokok dalam mengonsumsi haknya merokok.

Perlu sikap pemerintah yang harusnya memberi teladan taat asas dan konsisten. Agar masyarakat dapat meneladani sikap tersebut. Itu jika memang pemerintah peduli untuk menciptakan rasa adil bagi semua. Namun, kerap kali yang terjadi justru tidak mengarah pada asas adil tersebut.

Faktanya, sebagian besar Perda KTR oleh pemerintah daerah ditafsir secara bebas. Untuk menyingkirkan perokok dari ruang bersama. Inilah kemudian yang menimbulkan friksi. Dengan tidak disediakannya ruang merokok di KTR, hal itu akan mendorong munculnya para pelanggar.

Perokok pada akhirnya ada yang merokok sembarangan. Di titik inilah, kita jadi menangkap dua pertanyaan; seriuskah pemerintah dalam menerapkan aturan, atau jangan-jangan memang yang diharapkan adalah terjadinya pelanggaran di mana-mana. Ini ngawur sih.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *