Press ESC to close

Larangan Merokok di Selandia Baru Bukan Indonesia Banget

Peraturan baru menyoal larangan merokok di Selandia Baru cukup terdengar sensasional di media. Pasalnya, UU yang baru disahkan parlemen di negeri Kiwi ini bakal memberlakukan larangan merokok seumur hidup bagi generasi kelhiran tahun 2009 ke atas.

Regulasi ini menjadi polemik yang cukup hangat di negaranya. Banyak kalangan turut mempertentangkan aturan tersebut. Sebab tak hanya soal pembatasan hak untuk merokok, jumlah toko yang boleh menjual rokok pun dibatasi.

Merujuk pemberitaan yang beredar, Undang-undang tersebut juga menyasar pada aspek perdagangan rokok. Jumlah pengecer yang tadinya sebanyak 6000 toko kemudian yang diperbolehkan hanya 600 pengecer saja.

Undang-undang di negara itu nantinya hanya memperbolehkan orang dewasa di bawah kelahiran tahun 2009. Para perokok yang sudah dipastikan golongan orang dewasa bahkan yang sudah berusia lanjut harus menunjukkan kartu identitas.

Produk kebijakan yang sensasional ini menjadi gambaran sebegitu mengerikannya rokok sampai bisnis di tingkat ritelnya diatur berlebihan. Jika itu terjadi di Indonesia, jelas akan menimbulkan gelombang protes yang sangat gaduh dari banyak kalangan. Mengingat pembatasan semacam itu jelas mengusik hak ekonomi masyarakat.

Menilik aturan baru di negeri Kiwi itu, bisa diwajarkan kalau tidak menimbulkan keriuhan yang meluas. Mengingat pula negara Selandia Baru yang tidak memiliki kepentingan langsung yang kuat dengan kultur pertembakauan.

Lain halnya dengan Indonesia yang secara sejarah dan budaya memiliki ikatan khusus dengan daun ’emas hijau’ ini. Dari berbagai literatur lama kita dapat menemukan keterangan bagaimana tembakau sudah mejadi bagian dari urat hidup masyarakat. Dirujuk dari kultur nyirih, nyusur, ataupula nginang, tembakau sudah ada menjadi bagian yang mengisi aktivitas kultural itu di masyarakat Nusantara.

Sejumlah folklore di beberapa daerah penghasil tembakau seperti Madura misalnya, telah diyakini sejak abad ke-12 dengan adanya tokoh sentral bernama Pangeran Katandur. Di masyarakat adat Sunda Wiwitan, Bayan (Watu Telu), tanaman ini sudah lekat sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat.

Baca Juga:  Menengok Rokok Diko, Primadona Solo Masa Lampau

Jika kita tilik dari folklore masyarakat lereng Sumbing-Sindoro-Prau, Jawa Tengah, seputar Ki Ageng Makukuhan, melalui ritus Among Tebal, ritual ini untuk menghormati dan mengenang orang suci yang dipercaya sebagai orang pertama yang memperkenalkan bibit tembakau. Konon, tanaman itu diperoleh Ki Ageng Makukuhan dari Sunan Kudus.

Sejarawan De Graaf mengatakan, Raja Sultan Agung di Mataram Islam ialah seorang perokok tulen. Sebangun dengan fakta itu, potret tentang khalayak Nusantara yang telah menyukai rokok terlihat dalam folklore dan lakon ketoprak “Rara Mendut-Pranacitra”.

Rara Mendut dan Pranacitra yang merupakan narasi lokal perihal kisah cinta yang tak jauh beda dengan kisah cinta Romeo dan Juliet. Kisah ini mengambil konteksdi masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, anak dari Sultan Agung. Dalam folklore dan lakon ketoprak itu diceritakan, bahwa rokok telah jadi barang dagangan sehari-hari.

Selain itu, pada Serat Centhini (1814) yang disebut-sebut sebagai ensiklopedi Jawa juga ditemukan kata ngaudut”, “eses” atau “ses sebagai istilah umum di Jawa untuk menyebut fenomena konsumsi tembakau dengan cara dibakar.

Sedangkan istilah rokok, baru digunakan di kisaran akhir abad ke-19. Kosakata yang berasal dari bahasa Belanda, yakni “ro’ken”, pada awalnya hanya merujuk pada aktivitas orang mengisap pipa dan cerutu.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa tembakau sudah hadir sebagai komponen yang akrab digunakan sehari-hari, jauh sebelum kedatangan bangsa kolonial menjalankan praktik cultuurstelsel di tanah Nusantara.

Memasuki babak industri rokok, kemudian produk tembakau Indonesia yang memiliki citarasa khas bernama kretek dikenal luas dan bernilai ekonomi yang luar biasa. Dari babak awal industrinya, sejarah Indonesia mencatat nama Nitisemito dan Nasilah. Kemudian sektor eknomis ini berkembang menjadi industri padat karya yang memberi devisa besar bagi negara.

Baca Juga:  5 Alasan Kenapa Sebaiknya Kita Tidak Merokok Ketika Berolahraga

Kemudian, setelah melewati babak sejarah panjang industrinya, sektor kretek kerap diguncang oleh beragam isu kontroversial yang dikaitkan dengan isu kesehatan. Hal itu kerap menimbulkan polemik yang tak berujung, dimana kebijakan pengendalian tembakau yang dimainkan pemerintah kerap pula menyasar pada pembatasan hak ekonomi masyarakat dari sektor tembakau.

Tulisan ini lebih menyoroti pada fakta yang terjadi di Indonesia, dimana gerakan antirokok yang berkiblat pada gerakan antitembakau global yang bermain dengan rezim kesehatan. Tak kunjung henti mendesakkan kepentingan politiknya untuk menggeser sektor staretgis kretek di Indonesia.

Bukan tidak mungkin, fakta yang terjadi di Selandia Baru dengan aturan yang baru diberlakukan itu, akan turut menginspirasi dan diglorifikasi lalu didesakkan oleh antirokok di Indonesia. Sebagaimana yang kita cermati sejak lama, gerakan antirokok di Indonesia selalu saja bergantung dan mengekor pola-pola yang dimainkan para aktor global dalam upaya memuluskan tujuan ekonomi yang berkedok isu kesehatan.

Sebagai penghayat kretek dimana pun bersuluk, meski kita memiliki keyakinan bahwa produk kretek tidak akan sirna dari bumi Nusantara. Ada hal yang perlu kita waspadai lanjut, seturut berbagai bentuk politisasi yang dipenetrasikan gerakan antirokok melalui kampanye kesehatan yang sangat bias kepentingan di Indonesia.

Mengingat lagi falsafah eling lan waspada untuk senantiasa merawat nalar kritis kita, untuk menyikapi berbagai hal dari gejolak zaman yang kian tak menentu.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *