Press ESC to close

Kiai Merokok: Dalam Isapnya, Luas Samudera Spiritualnya

Kiai merokok tidak menyalahi aturan agama. Ada pelajaran spiritual penting di dalamnya.

Para ulama sepakat, hukum merokok adalah ikhtilaf. Ikhtilaf berarti terjadi perbedaan pendapat antara ulama satu dan lainnya. Perbedaan dalam agama Islam adalah rahmat yang harus dirayakan, alias tidak perlu berdebat soalnya, apalagi hingga baku hantam karenanya. 

Islam memberikan sinyal yang terang benderang soal perbedaan pada surat Al-Kafirun. Surat dengan ayat-ayat yang menerangkan dan mengejawantahkan toleransi, yang pada makna luasnya tidaknya soal perbedaan beragama, tetapi juga dalam lini sosial lainnya.

Soal hukum merokok ini, sahabat saya, seorang kiai muda pengasuh pondok ternama di kawasan Bintaro, pernah menuliskannya dengan sangat detail dan teliti. Silahkan Anda baca artikel berjudul Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok berikut ini.

Tak hanya itu, guru saya, yang kini menjadi penerus KH. Sya’roni Ahmadi Kudus, juga pernah menulis sangat mendalam seputar seluk beluk hukum merokok dengan menceritakan secara runtut kisah masyhur Syekh Ihsan Jampes. 

Jadi wajar jika banyak sekali para kiai, terutama kiai NU, yang masih sangat menggemari mengisap sebatang tembakau bercampur cengkeh, di sela-sela rutinitasnya mengajar serta mendidik calon penerus generasi bangsa. 

Bagi para kiai, merokok tidak hanya bermakna relaksasi. Lebih jauh dan lebih dalam ketimbang itu, rokok menjadi alat berzikir. Saya pernah menulisnya pada artikel berjudul  Rokok adalah Alat Berdzikir yang Kekinian

Rokok Mbah Abdul Jalil Mustaqim Jombang

Saya teringat cerita masyhur seorang santri yang suudzon kepada seorang wali, Mbah Abdul Jalil Mustaqim Jombang yang rokok. Pernah Kiai Jamaluddin Jombang bersama seorang santrinya sowan kepada sang guru, yaitu Mbah Abdul Jalil Mustaqim Tulungagung. Ketika dalam perjalanan Kiai Jamaluddin dawuh pada santrinya: “Le (Nak), kamu saya ajak sowan ke Romo Kiai Abdul Jalil. Beliau termasuk bagian dari wali Allah. Nanti kalau di sana kamu tidak perlu banyak tanya, cukup dengarkan dawuh-dawuhnya.” Jawab si santri, “Iya, Kiai.

Sesampai di kediaman Kiai Abdul Jalil, dan cukup lama berbincang-bincang, pada waktu itu pula Kiai Abdul Jalil menghisap rokok tanpa henti. Habis sebatang nyambung lagi dan terus begitu sampai habis berbatang-batang rokok.

Dalam hati si santri berprasangka dan bertanya seakan tidak percaya, “Katanya kiai ini seorang wali. Dari awal saya bertamu sampai sekarang rokoknya kok ngebut, habis satu langsung menyulut habis lagi nyulut lagi tanpa henti. Di mana letak kewalianya? Ah, kayaknya tidak mungkin!”

Baca Juga:  Area Merokok di Rumah Andhika-Ussy Menginspirasi Perokok Santun

Dengan spontan Kiai Abdul Jalil berkata: “Kiai Jamal, lebih baik merokok tapi selalu ingat Allah daripada tidak merokok tapi suka ngurusin orang lain yang sedang menikmati rokok tapi hatinya lalai pada Allah.” 

“Njih, leres Kiai” (Ya benar, Kiai), jawab Kiai Jamaluddin. 

Spiritual Rokok Habib Ali

Para Auliya, biasa menetralkan keadaan spiritual mereka dengan Tanawalul muba~hat (melakukan perbuatan -perbuatan yang mubah), sehingga mereka kembali kepada kekuatan basyariyyah sebagaimana manusia biasa.

Toh merokok hukum yang paling kuat adalah makruh, dan makruh masih dalam batas Mubahat juga . Apalagi, trik-trik Mula~mathiyyatul Kha~l itu bahkan bisa menggunakan sesuatu yang secara kasat mata Haram, seperti yang dilakukan oleh Syekh Bisyr al Kahfi di kisah beliau yang masyhur itu. Ini cerita Ustadz Alwi tentang beliau:

” Abah itu perokok berat . Saat kami Ziarah ke Hadramaut , ana bilang sama Abah: Bah , tolong. Untuk kali ini saja , selama di Hadramaut Abah jangan merokok. Bukannya melarang, tetapi bagi para Sayyid, merokok di sini adalah Aib”

Abahnya beliau, Yakni Habib Ali menjawab: ” O, begitu ya? Kalau memang Alwi pengen begitu , Abah siap . Ini Rokok Abah simpan saja”

Singkat cerita sesudah sekian jam mulai dari Bandara Jakarta, Habib Ali tidak lagi menyulut batang Rokoknya . Padahal biasanya seperti lokomotif saja beliau.Saat sudah mendarat, dengan mobil mereka meneruskan perjalanan menuju Sewun. Menuju makam kakek beliau, penulis Simtudduror, Sayyidinal Imam Ali bin Muhammad bin Husein al Habasyi.

Tetapi di tengah perjalanan mobil berhenti. Mogok tidak mau jalan. Mesin dibuka, tidak ada yang salah. Bensin masih ada, aki mobil masih bagus . Tetapi setiap kali di stater mobil tidak mau menyala mesinnya.

Satu jam, dua jam begitu . Montir yang dipanggil datang pun kebingungan, ”Ini mesin gak ada masalah, kenapa mobil tidak mau jalan??? ” Kata Montir.

Ustadz Alwi mulai gelisah. Lebih gelisah lagi abahnya yang sedari tadi di jok depan mobil tampak tidak jenak duduknya. Habib Alwi kemudian berpikir, ”Ini pasti ada hubungannya dengan Abah. Abah tampak tidak nyaman mungkin sebabnya sudah satu hari menahan diri untuk tidak merokok”. Ustadz segera menghampiri Ayahnya :

”Abah … Sudah, Alwi menyerah. Kalau Abah mau merokok , ya silahkan”

Mendengar putranya berkata sepert itu , Raut muka Habib Ali tampak berbuncah riang .Kata beliau :
” Kalau Alwi bilang begitu, baiklah . Sekarang Abah merokok dulu”

Baca Juga:  Menghargai Pacar yang Merokok

Begitu terlihat asap sudah mengepul di sela-sela bibir Habib Ali, maka Ustadh Alwi berkata kepada sopir, ” Bang , coba sekarang stater mobilnya”. Benar juga , kontak di putar, mesin langsung menyala.

Para Kiai Merokok: Dalam Isapnya, Luas Samudera Spiritualnya

Siapa yang tidak kenal Abuya Uci Turtusi, seorang kiai yang terkanal sebagai gurunya para guru. Sosok yang sangat tawadlu dalam menerima hinaan dan tidak pernah berkoar-koar jika beliau adalah dzuriah Kiai Kondang asal Banten, Abuya Dimyati al-Bantani. 

Tidak perlu bertanya sedalam apa kedalaman ilmu dan spiritual kiai satu ini. Sangat dalam, hingga santri-santri mbeling seperti saya ini tidak mampu mengerek timba yang telah jatuh ke dalam sumur. Sayangnya, Abuya Uci seorang perokok. 

Silahkan simak baik-baik bagaimana Abuya Uci menguraikan soal rokok di sini. Saya sarankan untuk menontonnya dengan orang Sunda, sebab hanya mereka yang dapat menerjemahkan dhawuh Abuya Uci dengan baik dan benar.

Tidak hanya Abuya Uci, ulama kharismatik sekaligus nyentrik pendiri Mafia Shalawat, Gus Ali Gondrong juga pernah melontarkan kalimat yang mungkin tidak bisa dibaca secara tekstual saja. 

“Manusia yang besok paling rugi adalah manusia yang di dunia tidak pernah merokok”. Kalimat ini jika diterjemahkan secara tekstual, akan menimbulkan baku hantam yang mengerikan. Namun, jika dimaknai dengan kacamata sufi, akan punya makna yang indah. 

Banyak sekali kiai atau ulama yang merokok. Anda dapat membaca Para Wali yang Mendidik dengan Rokok supaya dapat mengerti kenapa mereka merokok dan pada maqam apa memaknai rokok. 

Rokok sejatinya adalah alat. Sebagaimana benda-benda lain. Ia bisa menjadi hal baik, bisa juga menjadi mudharat. Menjadi hal baik, misalnya untuk berzikir. Menjadi hal buruk, misalnya seperti dijelaskan santri kinasih Mbah Cholil Bisri, KH. Mohammad Syarofuddin Ismail Qoimas, rokok menjadi buruk jika dicecekke ke mata. 

Ibil S Widodo

Ibil S Widodo

Manusia bodoh yang tak kunjung pandai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *