Press ESC to close

Memprotes Pasal Sanksi Pidana Perokok pada Perda KTR

Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok atau Perda KTR jika kita lihat lebih jauh lagi bukan hanya diskriminatif, tetapi juga mengarah kepada kriminalisasi terhadap perokok. Pasalnya, beberapa Perda KTR di dalam penerapan sanksi terhadap perokok, terdapat sanksi berupa pidana denda dan kurungan yang menabrak ketentuan hukum perundang-undangan. Lucunya lagi, banyak orang yang bertepuk tangan dan mengapresiasi Perda KTR yang rentan akan kriminalisasi terhadap perokok ini.

Landasan hukum dari Perda KTR ini diawali dari keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan yang tertera pada pasal 23-25 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Isinya mengatur penetapan kawasan tanpa rokok di tempat umum dan tempat kerja serta penyediaan ruang merokok pada tempat kawasan tanpa rokok tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya, Kawasan Tanpa Rokok kembali dipertegas pada PP Nomor 19 tahun 2003, Pasal 115 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan PP 109 tahun 2012 yang memerintahkan untuk Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok.

Berdasarkan landasan hukum tersebut, pemerintah daerah mulai menetapkan kawasan tanpa rokok. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang menjadi landasan hukum bagi penerapan Perda KTR, tidak ada satu pun beleid yang menyatakan sanksi pidana denda dan kurungan bagi perokok yang melanggar Perda KTR.

Sejatinya, kita sangat mendukung dengan tidak diperbolehkannya aktivitas merokok di kawasan tanpa rokok. Hal ini adalah sebuah itikad baik untuk saling menghargai hak antara perokok dan bukan perokok. Namun adanya Perda KTR justru cenderung mengarah kepada diskriminasi dan kriminalisasi terhadap perokok.

Coba kita tengok Perda KTR Kabupaten Bogor misalnya, di dalam Bab 10 tentang ketentuan pidana pada pasal 29 menyatakan bahwa setiap orang yang merokok pada KTR diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) hari atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Ini gila dan sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa merokok yang merupakan aktivitas legal dan dilindungi oleh undang-undang diberikan sanksi pidana kurungan dan pidana denda yang sedemikian besar. Belum lagi daerah lainnya seperti Pontianak, Semarang, Medan, Padang, dan daerah lainnya yang fenomena Perda KTR-nya menggunakan sanksi pidana. Ditambah lagi pernyataan-pernyataan Pemimpin Daerahnya yang sering kali diskriminatif.

Baca Juga:  4 Hal yang Menyenangkan dari Perokok Santun

Kalau kita melihat kenyataannya di lapangan, pemerintah daerah banyak yang belum siap dalam menyediakan ruang merokok, yang jelas-jelas adalah amanat konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-IX/2011 tentang kewajiban menyediakan ruang merokok. Bagaimana bisa jika ruang merokok belum memadai tapi sudah keluar Perda KTR dengan sanksi pidana, sebuah logika hukum yang cacat digunakan oleh Pemerintah Daerah.

Selain daripada belum adanya ruang merokok yang memadai di daerah yang menerapkan Perda KTR dengan sanksi pidana tersebut, hal yang juga harus diketahui oleh pemerintah daerah dan masyarakat adalah hukuman pidana harus diatur pada tingkat Undang-undang. Tak boleh hanya dengan sebuah peraturan pemerintah apalagi perda. Sebab hal ini berkaitan dengan aspek legalitas.

Para pakar hukum mengistilahkan tersebut dengan istilah yurisdiksi daerah.  Yang mana Perda bisa memuat delik dalam bentuk pidana. Asalkan, bukan hukuman pidana badan. Tapi berupa hukuman denda atau keuangan. Pasalnya, hukuman denda harus disesuaikan dengan batasan denda mengenai Tindak Pidana dan ketentuan perundang-undangan.

Sebagai catatan, UU No. 10 Tahun 2004 menjelaskan bahwa materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Adapun pelanggaran merokok pada kawasan tanpa rokok tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebab tidak ada satupun Undang-undang dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Negara ini yang menyatakan bahwa merokok adalah tindak pidana, bahkan merokok di kawasan tanpa rokok sekalipun bukanlah kategori tindak pidana.

Maka sungguh amat berbahaya Perda KTR yang banyak disahkan oleh Pemerintah Daerah ini, mencantumkan sanksi berupa pidana terhadap perokok. Pertama, itu jelas menabrak Undang-undang. Kedua, akan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia dan rawan terjadinya kriminalisasi. Dan yang ketiga akan menimbulkan ketidakpastian hukum di Negara kita.

Baca Juga:  Karena Gangguan Kehamilan Tidak Melulu Disebabkan Asap Rokok

Seharusnya Pemerintah Daerah jangan terkesan asal membuat peraturan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Apalagi pada praktiknya, Perda KTR tidak pernah sekalipun melibatkan partisipasi masyarakat, terutama para perokok khususnya.

Sejauh ini Perda KTR terlihat copy paste dengan Perda KTR lainnya tanpa adanya kajian strategis dan partisipasi masyarakat. Coba saja bandingkan antara Perda KTR daerah satu dengan daerah lainnya. Padahal, setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah lainnya.

Jika melihat bermunculannya fenomena Perda KTR yang menerapkan sanksi pidana, dan jumlah Pemerintah Daerah yang menerapkan Perda KTR seperti ini mulai banyak, menandakan bahwa perokok mulai dikebiri haknya sebagai konsumen yang legal dan membayar pajak. Dan lucunya, banyak dari Pemerintah Daerah yang menerapkan Perda KTR dengan sanksi pidana tersebut yang masih menikmati pajak daerah dan retribusi daerah dari industri rokok dan konsumennya.

Kalau mau serius atas nama kesehatan, kenapa tidak diilegalkan saja rokok dan aktivitas merokoknya? Agar tidak ada tumpang tindih dalam produk hukum Negara kita. Dan nasib perokok pun menjadi lebih jelas, tidak digantung dan mengalami ketidakpastian hukum.

Atau alternatifnya adalah melakukan Judicial Review terhadap Perda KTR yang diskriminatif dan rawan kriminalisasi tersebut. Tapi bukankah dalam ketentuan pasal 70 UU No. 22 tahun 1999 menafsirkan bahwa setiap peraturan daerah yang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan Perda jenis lain yang telah ada sebelumnya adalah batal dengan sendirinya? Lah tapi kok masih bermunculan terus ya? Artinya Negara seperti tutup mata dan telinga akan kriminalisasi yang terjadi terhadap perokok.

Azami Mohammad

Doyan aksi meski sering dipukul polisi