Press ESC to close

Regulasi Produk Tembakau Alternatif adalah Isu Titipan Antirokok

Gencarnya gerakan antirokok dalam target merebut pasar konsumen kretek sudah sejak dulu berlangsung. Ditengarai sejak munculnya agenda standarisasi atas tar dan nikotin pada rokok dalam negeri. Dibarengi dengan terbitnya berbagai regulasi yang tidak berpihak pada kepentingan industri rokok nasional. Regulasi tersebut mengatur tata kelola dan tata niaga produk olahan tembakau, titik tekannya sampai pada mendiskriminasi keberadaan kretek dan konsumennya melalui isu kesehatan.

Sudah bukan lagi rahasia, bahwa berbagai regulasi yang sarat kepentingan asing itu pada akhirnya bertujuan memonopoli pasar. Sejak jauh hari produk-produk pengentas ketergantungan terhadap nikotin (NRT) diproduksi dan dipasarkan. Berdasar penelitian Wanda Hamilton yang terangkum dalam buku Nicotine War, produk-produk alternatif tersebut sama sekali tidak menjawab persoalan kesehatan, justru menjadi pasar yang menguntungkan bagi industri farmasi. Isu kesehatan hanyalah kedok untuk memasarkan berbagai jenis obat-obatan yang pula berbasis nikotin.

Tidak perlu heran jika Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan dalam melariskan produk-produk alternatif tersebut. Sebab pengguna kretek di Indonesia terbilang cukup besar jumlahnya dibanding negara-negara lain yang bukan penghasil tembakau dan cengkeh. Ditambah lagi karakter pasar dalam negeri yang terbilang mudah dikendalikan oleh paradigma normatif (kesehatan, agama, dan lingkungan). Sehingga banyak konsumen yang termanipulasi dan latah belaka.

Baca Juga:  Cap Jahat untuk Industri Tembakau

Kemunculan produk vape dan juul sebagai dua jenis rokok elektrik yang tengah digandrungi segolongan konsumen adalah contoh dari keberhasilan agenda politik dagang tersebut. Kedua produk itu sama-sama memainkan narasi yang secara langsung mendeskriditkan rokok konvensional.

Beberapa narasi yang dilariskan di antaranya, bahwa mengonsumsi nikotin pakai rokok elektrik bisa disetel kadarnya, asap rokok elektrik lebih wangi tidak seperti asap rokok yang tidak disukai baunya oleh anak-anak. Yang lucunya lagi, klaim bahwa vape dan juul lebih sehat itu loh dibanding rokok konvensional. Iya semua produk konsumsi memiliki faktor risiko, tak terkecuali.

Narasi-narasi yang dimainkan antirokok memang terkesan pro kesehatan, namun jika ditelisik lebih dalam lagi narasi itu tak lebih dari siasat dagang belaka. Termasuk pula jika kemudian ada pihak-pihak yang berusaha mendorong munculnya regulasi untuk mengatur keberadaan rokok elektrik. Yang itu merupakan siasat antirokok untuk meligitimasi bisnis produk pengentas ketergantungan nikotin, atau yang sudah dikenal dengan istilah NRT (Nicotine Replacement Therapy).

Dalih untuk menekan angka perokok dengan cara melariskan produk tembakau alternatif membuktikan adanya skema dagang yang dimainkan industri farmasi. Iya boleh-boleh saja ada regulasi untuk mengatur perdagangan produk alternatif tembakau, namun jauh lebih penting dari itu adalah keberpihakan pemerintah melalui regulasi dalam menjaga sektor produk rokok nasional. Karena selama ini regulasi yang ada justru mendiskriminasi rokok dan perokok.

Baca Juga:  Pria Merokok Tidak Disukai Perempuan?

Salah satu yang nyata dari produk diskiriminasi itu adalah dengan terbitnya berbagai peraturan daerah yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok. Belum ada upaya serius para pihak untuk taat asas dan konsisten dalam menyikapi itu.

Penetapan biaya cukai yang dikenakan pada produk alternatif juga bukan berarti harus lebih rendah, walau pembenaran yang digunakan untuk menekan angka perokok. Karena produk alternatif itu sendiri memiliki faktor risiko kesehatan yang tak bisa diabaikan. Artinya, regulasi yang didorong untuk mengatur perdagangannya tidak harus lebih istimewa. Jika desakannya mengarah pada upaya tersebut, jelas sudah antirokok telah memanfaatkan isu kesehatan sebagai upaya mengeruk keuntungan dari pasar perokok. Yang pada gilirannya akan menyingkirkan keberadaan rokok nasional, dan negara secara otomatis juga akan kehilangan sumber devisa terbesarnya.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah