Search
DBHCHT

PMK Belum Keluar, Menkeu Baru Perlu Pertimbangkan Kenaikan Tarif Cukai

Penolakan demi penolakan yang ditujukan kepada keputusan kenaikan tarif cukai sebesar 23% untuk tahun 2020 terus hadir. Tidak hanya pabrikan atau konsumen yang menolak keputusan ini, kemudian hadir juga penolakan dari petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Semua terjadi karena dampak yang dihadirkan kenaikan tarif tersebut sangat berpengaruh pada penghidupan mereka.

Bahkan salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, ikut menolak keputusan tersebut. Menurut Pengurus Besar NU, keputusan ini amat berdampak dan merugikan kehidupan para nahdiyin, anggota NU. Apalagi ada banyak anggota NU yang berprofesi sebagai petani tembakau dan buruh di pabrik rokok.

Karena itu, melihat banyaknya resistensi terhadap keputusan itu, ada baiknya kemudian pemerintah melalui Menteri Keuangan yang baru di bawah Jokowi-Ma’ruf mempertimbangkan ulang besaran kenaikan tarif. Toh, hingga saat ini, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi dasar hukum kenaikan tarif cukai belum keluar. Masih ada waktu, saya kira, untuk mengurangi resistensi dan ketidakpercayaan publik pada pemerintah dengan unsur NU yang kuat. Ingat, Wakil Presiden Ma’ruf Amin adalah tokoh besar di NU.

Begini, penolakan terhadap keputusan ini terjadi bukan karena memang tarif cukai tidak boleh naik. Bukan begitu. Penolakan terhadap kenaikan tarif cukai muncul karena angkanya yang terlalu besar. 23% itu amat signifikan, apalagi hal ini membuat kenaikan harga jual eceran naik di kisaran 35%. Untuk mereka yang berkepentingan, efek kebijakan seperti ini bukan hanya tidak baik, tapi juga mematikan.

Baca Juga:  Merayakan Hari Kemenangan Dengan Senantiasa Memberi Teladan Kesantunan

Sebenarnya sudah dijelaskan secara detail kenapa kenaikan tarif cukai berdampak pada banyak pihak. Misalnya, karena harga rokok naik, konsumen akan beralih ke rokok murah dan penjualan rokok akan turun. Hal ini, berdampak pada berkurangnya produksi dan akan membuat pabrikan mengurangi tenaga kerja dan kuota pembelian bahan baku. Jadi ya bukan hanya konsumen atau pabrikan yang kena, pekerja dan petani tembakau pun ikut kena. Semua kena, semua susah.

Melihat semua persoalan ini, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan ulang besaran tarif yang dinaikkan. Janganlah di angka 23%, karena angka tersebut terlalu tinggi dan membuat masyarakat tidak siap. Apalagi, akhir tahun ini resesi ekonomi global tampaknya akan ikut menghampiri Indonesia. Kalau tahun depan tarif tetap naik signifikan, ya wasalam sudah hidup masyarakat yang hidupnya bergantung pada kretek ini.

Komunitas Kretek sudah menyatakan, melihat semua kemungkinan akan kondisi perekonomian, kenaikan tarif cukai di kisaran 5% adalah angka maksimal. Namun, jika memang kemudian negara membutuhkan uang lebih dan tarif harus lebih tinggi, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan kenaikan tarif di kisaran 15%. Maksimal, di angka 17%. Sudah segitu saja, jangan dilebihkan lagi.

Baca Juga:  Tolak RPP Tembakau, Komunitas Kretek Sebut Pemerintah Hendak Matikan Kretek

Biar bagaimanapun, harusnya pemerintah, terutama Kementerian Keuangan bisa membaca kemungkinan pelambatan ekonomi akibat resesi global. Dan jika kita melihat sejarah kenaikan tarif cukai, tahun 2015 kenaikan tarif di atas 13% disertai krisis ekonomi global saat itu membuat target penerimaan cukai tidak tercapai. Tidak hanya itu, di tahun yang sama, ada cukup banyak pabrik rokok ditutup karena dampak kebijakan. Tentu kita tidak ingin hal tersebut berulang.

Nah, sekali lagi, mumpung PMK belum keluar, sebaiknya Menkeu yang mempertimbangkan ulang besaran kenaikan tarif cukai. Ingat, penolakan terhadap keputusan ini hadir bukan karena tarif cukai tidak boleh naik, tapi karena kenaikkannya yang signifikan. Dan hal tersebut sangat membahayakan, baik bagi negara ataupun masyarakat. Ya jangan sampailah negara merugi karena kebijakan yang diambil secara sembrono. Mumpung masih sempat, ayo perbaiki kesalahan kalian.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)