Press ESC to close

Bungkus Rokok, Narkoba dan Menteri Sosial

Bungkus rokok, pada berbagai kasus, kerap dijadikan sebagai wadah menyimpan atau menyembunyikan ganja dan beragam narkoba jenis lainnya. Fenomena tersebut telah dikemas sedemikian rupa hingga muncul asumsi yang mengaitkan rokok dengan narkoba.

Kita pasti pernah mendengar bahwa rokok seringkali dicitrakan sebagai gerbang masuk menuju narkoba. Maksudnya, beredar narasi yang menyebut bahwa orang-orang yang terjebak menjadi pengguna narkoba diawali dengan coba-coba merokok. Terlalu berlebihan memang.

Apalagi jika mengaitkan dengan beberapa kasus penangkapan pengguna narkoba yang menyembunyikan barang haram tersebut di dalam bungkus rokok. Padahal, tentu tidak terjadi pada semua kasus.

Kalau kita boleh menebak, alasan para pengguna narkoba menjadikan bungkus rokok sebagai tempat penyimpanan agar tak terdeteksi oleh otoritas keamanan. Karena banyaknya konsumen rokok di Indonesia, maka membawa rokok adalah hal yang lumrah. Dengan anggapan demikian bungkus rokok otomatis jadi barang yang tidak mencurigakan.

Sialnya, kini tren tersebut jadi cukup sering terjadi. Ada banyak kasus serupa (menyimpan ganja dalam bungkus rokok). Alhasil, bungkus rokok pun menyita perhatian khusus para otoritas di berbagai tempat yang memberlakukan pemeriksaan barang, misalnya bandara, gedung perkantoran, atau bahkan saat razia kendaraan bermotor.

Baca Juga:  Review Rokok Mevius Lights, Rasa Mirip Pasta Gigi?

Kalau kondisi demikian terus berlangsung, para perokok jelas semakin terusik. Pada titik paling mengkhawatirkan, sesiapa yang membawa rokok akan cenderung merasa was-was dan tidak nyaman. Bisa jadi, kan?

Sebenarnya sih cukup dengan bersikap tenang saja, kalau memang tidak membawa barang haram. Tapi narasi yang mengaitkan rokok dengan narkoba tetap perlu diluruskan. Apalagi soal rokok gerbang masuk menuju narkoba. Ngawur itu.

Fakta bahwa banyak pengguna narkoba yang juga perokok memang tak bisa dipungkiri. Sebagian besar memang begitu. Hanya saja pasti tetap ada yang non perokok menjadi pengguna atau bahkan gembong narkoba.

Kalau semua mata hanya tertuju pada perokok, maka para pemadat yang non perokok akan semakin leluasa bergerak. Kondisi semacam itu jelas kontraproduktif.

Satu lagi, ada banyak pemuka agama, orang besar, olahragawan, dan para tokoh lain yang merupakan perokok. Artinya, pandangan miring terhadap perokok harusnya bisa perlahan terkikis. Menjadikan status perokok atau bukan sebagai indikator moralitas adalah bentuk ketidakadilan dalam berfikir.

Sebagai sebuah refleksi, kita bisa sejenak mundur ke beberapa waktu lalu, ketika Juliari Batubara, (mantan) Menteri Sosial Republik Indonesia mengusulkan agar harga rokok dinaikkan setinggi mungkin, kalau bisa hingga Rp 100 ribu per bungkus, katanya. Alasannya apa? Agar anak-anak tidak bisa mengakses rokok dan terhindar dari bahaya rokok.

Baca Juga:  Menelisik Lebih Dalam Penyebab Defisit BPJS Kesehatan

Apa bahaya yang beliau maksud?

“Harus diingat pengenalan narkoba dari rokok. Lama-lama nyobain ganja lalu sabu. Begitu masuk ke narkoba ya sudah habis. Mau rehab seperti apa pun, kalau sudah narkoba sejak dini itu sudah sulit,” kata Pak Menteri saat itu.

Belakangan kita justru dihebohkan dengan kasus penangkapan Pak Menteri karena terlibat kasus korupsi dana bantuan sosial. Pria antirokok itu mengentit duit Rp 10 ribu dari tiap paket bantuan yang harusnya dibagikan ke rakyat. Bermoral?

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd