Press ESC to close

Cukai Naik, Lonjakan Pengangguran Memukul Pemerintah

Industri kretek dalam negeri, terutama sektor SKT, diakui banyak pihak sebagai sektor padat karya. Kita bisa tilik dari mulai pengadaan bahan baku sampai proses produksi dan distribusi. Para buruh dari sektor padat karya ini yang akan mengalami hantaman bila cukai naik.

Kenaikan cukai yang dari tahun ke tahun terus menggila ini berakibat pada turunnya kuota produksi. Otomatis itu berdampak langsung ke petani. Perkara kenaikan cukai ini tercatat bukan hanya berdampak ke sektor tembakau, sektor cengkeh mengalami imbas yang tak kalah menyesakkan.

Terhitung dari 2015, pemerintah sudah menaikkan angka cukai di atas 70 persen. Ini dalam kurun waktu lima tahun. Berturut-turut sekali, pada 2015 naik sebesar 8,72 persen. Di tahun 2016, naik sebesar 11,19 persen.

Selanjutnya beruntun pula cukai produk tembakau ini naik pada 2017, 2018, dan 2019 sebesar masing-masing 10,54 persen dan 10,04 persen. Memasuki tahun 2020 puncaknya dalam sejarah cukai naik sampai 23%. Berdasar data ini pula kita melihat dampaknya bagi pabrikan kecil yang mengalami kukut.

Perkara ini ditandai sejak munculnya isu pengendalian tembakau yang menelurkan berbagai produk kebijakan, tak hanya soal cukai. Upaya mendiskreditkan rokok dan perokok melalui berbagai isu kesehatan. Pasar rokok dalam negeri mengalami berbagai ancaman dari persaingan produk alternatif. Problem semacam ini berkontribusi terhadap kebangkrutan sejumlah pabrikan.

Baca Juga:  Pemerintah Wajib Peduli Pada Pengembangan Budidaya Tembakau

Kita tilik berdasar data Dirjen Bea dan Cukai, sejak tahun 2011, tercatat 1.540 pabrik tutup. Pada tahun 2012 ada 1.000 pabrik yang bangkrut, tahun 2013 sejumlah 800 pabrik berhenti produksi, tahun 2014 ada sejumlah 700 pabrik, tahun 2015 sejumlah 600 pabrik, Tahun 2016 dan 2017 sejumlah 487 pabrik tumbang.

Kondisi ini diperparah lagi pasca keluarnya PMK 146/2017 yang disusul dengan PMK 156/2018 Industri Hasil Tembakau mengalami hantaman yang dahsyat. Betapa tidak, dampak cukai 2020 untuk pertama kalinya sejak 1 dekade terakhir, telah mengakibatkan produksi rokok serta penjualannya turun lebih dari 10%. Bahkan menurut Gappri, penurunan ini bisa mencapai lebih dari 30%.

Bisa kita bayangkan jika pada 2021 cukai naik, dipastikan akan menambah angka matinya beberapa pabrikan kretek. Berapa juta orang yang akan kehilangan pekerjaan dari sektor ini, coba bayangkan jika 1 pabrik ada 1000 pekerja, jika dalam 1 semester ada 100 pabrik berhenti beroperasi. Angka pengangguran otomatis melonjak tajam. Apa coba yang bisa dilakukan pemerintah?

Sementara pada masa pandemi yang telah menimbulkan krisis di berbagai sektor ekonomi, pihak pemerintah sama sekali tak ada upaya perlindungannya. Pada sektor IHT yang selama ini menjadi sumber devisa yang diandalkan, kok malah dibuat bertumbangan. Jutaan pengangguran akibat PHK dari sektor industri SKT bukan angka yang kecil tentunya.

Baca Juga:  Bersikap Adil Kepada Perokok

Pemerintah mau menyalahkan siapa jika kemudian gejolak sosial terjadi akibat tingginya angka pengangguran. Sudahlah rakyat krisis kepercayaan terhadap kinerja pemerintah, ditambah lagi harus berjuang menghidupi keluarga. Jadi tumbal dari kebijakan yang tak bijak pula. Geramlah rakyat.

Mestinya, pemerintah menalar lebih dalam terkait agenda kenaikan tarif cukai, paling utama adalah berhitung pada dampak yang ditimbulkan. Yakni sektor padat karya yang sebagian besar terserap pada industrri kretek.

Bila angka cukai naik pada 2021 di atas 5%, sudah bisa dipastikan lonjakan pengganguran akan bikin pemerintah ruwet sendiri. Camkan itu.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah