Press ESC to close

Prevalensi Perokok Anak Indonesia Menurun

Angka prevalensi perokok anak tak pernah luput menjadi dalih antirokok dalam upaya mendiskreditkan rokok. Di berbagai kesempatan, dalih tentang prevalensi ini dikemukakan secara serius. Misalnya saja terkait iklan rokok serta ritel yang memajang produknya.

Pemajangan produk rokok di ritel-ritel yang menjual produk tembakau itu dianggap dapat menggugah ketertarikan anak membeli rokok. Aneh memang. Rokok sebagai produk legal kok dilarang produknya ter-display.

Pada tahun 2012 KPAI merilis data hasil penelitian tentang dampak iklan rokok di televisi terhadap minat anak untuk merokok. Disebutkan terkait data itu, bahwa di 10 kota ditemukan sebanyak 93 persen anak mengetahui dan tertarik iklan rokok lewat media televisi. Kemudian, sebanyak 34 persen dari 10 ribu anak mengaku merokok karena tertarik saat acara musik.

Data lawas ini sebetulnya jika dikomparasikan dengan iklan produk lainnya yang juga memiliki faktor risiko bagi anak, iklan produk kendaraan bermotor misalnya. Sebagaimana kita tahu, iklannya dipastikan menampilkan produknya serta kehebatan saat mengendari produk tersebut. Namun, ini tentu tidak akan dilihat membawa dampak bagi anak oleh KPAI. Pokoknya rokok adalah barang buruk, layak disingkirkan.

Baca Juga:  Perang Nikotin Di Balik Isu Kesehatan

Kemudian pada tahun 2015, Yayasan Pengembangan Media Anak kurang lebih merilis hasil penelitian serupa, yang katanya, sebanyak 3,9 juta anak usia 10-14 tahun telah menjadi perokok aktif. Detailnya, Terdapat 3,9 juta anak berusia 10-14 tahun yang menjadi perokok aktif di Indonesia.

Lagi-lagi, data yang tak jauh beda itu, sebetulnya hanya mengarah pada target dibuatnya kebijakan yang menekan bisnis rokok, sekaligus mendiskreditkan rokok sebagai produk berbahaya. Pada agenda revisi PP 109 yang didorong antirokok akhir-akhir ini pun dalihnya mengaitkan soal prevalensi perokok anak.

Namun, sebetulnya, jika kita merujuk pada data BPS, terdapat angka penurunan perokok di bawah usia 18 tahun yang signifikan. Secara nasional, pada tahun 2018 angka perokok di bawah umur berada di 9,65 persen, pada tahun 2019 menunjukkan penurunan sampai di angka 3,87 persen, pada tahun 2020 turun menjadi 3,81 persen.

Dari data BPS ini, kita dapat menilik ulang, bahwa sebetulnya hasil survey antirokok yang kerap menyebutkan peningkatan prevalensi perokok di bawah umur, itu menggunakan metode yang bagaimana sih? Ah sudahlah, tak penting metodologinya, terpenting dari itu dalih normatif sudah didukung data, targetnya ya rokok itu buruk. Itu sudah.

Baca Juga:  Cukai Rokok dan Pelajaran Dari Presiden Brazil

Pada konteks ini, sebagai perokok kita pun tahu ada beberapa konten terkait anak merokok yang direpetisi, dengan maksud untuk memperkuat dalih yang digadang-gadang tentang meningkatnya prevalensi anak merokok. Iya tentu sebagai perokok santun kita sepakat, bahwa anak di bawah umur belum patut untuk mengonsumsi rokok.

Namun, hal itu tak berarti rokok dan industri hasil tembakau harus disingkirkan, toh sudah ada produk kebijakan yang mengatur, dan para pelaku bisnis rokok sudah taat asas serta konsisten menjalankan amanat kebijakan yang ada.

Hanya saja yang patut dipertanyakan terkait pengawasan dan penegakkannya. Jangan melulu publik disuguhkan dalih yang digawat-gawatkan dan diulang-ulang, kalau pada faktanya toh prevalensi itu mengalami penurunan.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah