Press ESC to close

Cukai Rokok Naik, Antirokok Masih Belum Puas

Rokok sebagai produk legal tak pernah berhenti dari rongrongan kepentingan. Dapat kita lihat dari upaya antirokok dalam mendorong regulasi cukai hingga perkara tata niaganya. Antirokok ini berasal dari beragam latar belakang dan organisasi dengan kebencian yang sama terhadap rokok. Ketika cukai rokok naik, pihak antirokok tak puas menyoal keberadaan produk rokok, kali ini dari sisi pemasaran.

Tulus Abadi ialah satu dari sekian die hard antirokok yang getol berupaya menyingkirkan rokok dari bumi Indonesia. Ketua Harian YLKI ini menyoroti aspek pemasaran rokok yang digadang-gadang mengancam agenda pemerintah dalam tatrget menurunkan prevalensi perokok anak.

Rokok yang dijual secara ketengan dimaknai oleh ketua lembaga konsumen ini sebagai cara yang memudahkan anak-anak dalam mengakses rokok. Dianggapnya, teknis pemasaran rokok yang dijual secara ketengan ini akan membuat target pengendalian menjadi tidak efektif.

Padahal, jika kita tilik lebih dalam, tidak semua ritel menjual rokok secara ketengan. Tulus menilai rokok yang diecer di warung-warung sebagai bagian dari upaya industri mempermudah rokok diakses konsumen di bawah umur. Teknis single stick sales ini dilihat secara harga memang lebih terjangkau dan relative menguntungkan. Berdasar inilah sesat pikir antirokok muncul.

Baca Juga:  Penerimaan Cukai Rokok Turun, Pembuktian Komunitas Kretek pada Sri Mulyani

Jadi begini, secara prinsip, mau dijual secara ketengan ataupun tidak, itu bukan variabel yang tepat terkait isu prevalensi perokok anak. Rokok diketeng ini hanyalah teknis pedagang dalam mendapatkan keuntungan agar produknya terjual. Bukan sebagai cara untuk menjangkau minat beli konsumen di bawah umur.

Toh, perkara aturan tentang penjualan rokok sudah diatur dengan jelas dalam PP 109/2012. Di antaranya menyoal larangan menjual rokok kepada konsumen di bawah usia 18 tahun. Ritel maupun warung-warung klontongan yang menjual rokok sudah menerapkan itu dengan baik.

Bayangkan, ketika cukai dan harga rokok terus naik dari waktu ke waktu, kemudian daya beli konsumen pun mengalami perubahan, otomatis pedagang harus menggunakan cara yang dapat membuat produknya terjual. Dijual secara ketengan merupakan salah satu cara yang legal dalam pemasaran. Bukan tindakan ilegal yang harus disikapi pemerintah.

Di dalam pernyataanya pada suatu konferensi pers, Tulus Abadi seperti mengarahkan penilaian publik maupun pemerintah dalam memaknai teknis ketengan ini sebagai aktivitas ilegal. Rokok ini produk legal, negara bahkan bergantung dari perputaran ekonomi rokok, perkara tata niaganya juga sudah diatur ketat, kok perkara teknis penjualan masih saja dirongrong?

Baca Juga:  Orangtua Merokok, Stunting, dan Kesejahteraan Keluarga

Kenaikan cukai rokok serta diterapkannya simplifikasi pada sistem cukai tentu memberi dampak ekonomi di masayarakat. Pabrikan akan menyesuaikan pada aturan yang berlaku. Sudah pasti akan terjadi gejolak dari upaya penyesuaian tersebut, mulai dari mengurangi beban produksi, sampai pada aspek pasarnya kemudian.

Pada kondisi ini, ritel rokok termasuk pihak yang kena imbas dari kenaikan cukai. Ditambah, masih direcoki pula oleh kelompok antirokok semacam Tulus Abadi yang tak pernah puas dengan sesat segala pikirnya menyoal rokok.

Sebagai konsumen, kita jadi makin dibuat sulit saja oleh ketua lembaga konsumen. Padahal, pemerintah masih menjadikan rokok sebagai sektor strategis, terutama untuk menambal problem ekonomi negara yang masih belum pulih akibat hantaman pandemi.

Komunitas Kretek
Latest posts by Komunitas Kretek (see all)

Komunitas Kretek

Komunitas Asyik yang Merayakan Kretek Sebagai Budaya Nusantara