Press ESC to close

Dahsyatnya Penerimaan Cukai Rokok

Realisasi penerimaan cukai rokok dari tahun ke tahun selalu memberi kabar menggembirakan bagi pemerintah. Dapat kita tilik dari laporan penerimaan periode Januari 2022 yang mencapai Rp17,54 triliun, atau meningkat sebesar 98,6 persen dari periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp8,83 triliun.

Kabar menggembirakan ini menjadi satu pembuktian akan kotribusi Industri Hasil Tembakau (IHT) yang memberi kinerja positif. Walaupun pemerintah kerap saja menjadikan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi, kinerja positif dari penerimaan IHT mengisyaratkan adanya sinyal baik. Yakni tercapainya target penerimaan 2022 sebesar 193,53 triliun rupiah.

Sebagai catatan, berdasar laporan APBN, menjelaskan kinerja penerimaan cukai hasil tembakau sepanjang 2021 tercatat mencapai Rp188,81 triliun atau 108,65% dari target Rp173,78 triliun. Realisasi tersebut tumbuh 10,91% dari kinerja tahun sebelumnya yang senilai Rp170,24 triliun.

Sebagaimana kita tahu, kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk tahun 2022 dipatok rata-rata 12,5 persen. Angka kenaikan tarif di atas sepuluh persen yang begitu eksesif sejak 2016 ini, tentu saja memberi dampak bagi pabrikan rokok kecil maupun menengah. Menimbulkan paradoks yang tak sejalan dengan amanat yang diemban pemerintah dalam upaya mencipta kesejahteraan dan keadilan bagi semua.

Baca Juga:  Inilah Alasan Kenapa Jamaah Haji yang Kedapatan Membawa Banyak Rokok Perlu Diapresiasi

Kontribusi luar biasa dari sisi ekonomi IHT ini kerap menjadi andalan pendapatan negara yang membanggakan. Kendati demikian, keberadaan komoditas tembakau tidak berarti diproteksi secara serius. Keberadaan regulasi yang mengurusi tembakau serta pasarnya justru dirasa ketat dan menekan industri. Ditambah lagi, pada kondisi yang demikian, masih didesak oleh isu revisi PP 109/2012 yang dimainkan antirokok.

Bahkan, pada akhir tahun lalu, sampai dinyatakan oleh Kemenkeu, bahwa konsumsi rokok masyarakat merupakan beban negara. Ajaib memang, ini salah satu ironi yang terjadi di negeri yang memiliki sektor strategis dari ekonomi budaya kretek. Ironi ini terjadi akibat adanya intervensi kepentingan asing yang menyasar bisnis nikotin di Indonesia. Serta sikap mendua pemerintah dalam mengurusi pertembakauan. Terbukti dari regulasi terkait IHT, hampir seluruhnya mengadopsi traktat pengendalian tembakau global.

Perlu dilihat lagi, berdasar pengakuan Dirjen Bea dan Cukai Askolani, bahwa kenaikan tarif cukai sebagai salah satu strategi untuk mengejar target penerimaan CHT 2022 dengan tetap mempertimbang aspek kesehatan, tenaga kerja, penerimaan untuk kas negara, dan pengendalian rokok ilegal. Artinya, pemerintah memiliki motivasi yang hanya berkutat pada retorika semata demi mengamankan cuan dan cuan.

Baca Juga:  Watak Nazi dalam Gerakan Antitembakau

Beradasar penerimaan CHT periode Januari tersebut, Askolani mendaku optimis akan dapat memenuhi target penerimaan yang sudah ditetapkan pada APBN 2022. Bahkan, dinyatakannya pula akan melampaui dari target. Optimisme ini dilihat dari realisasi penerimaan yang bertumbuh positif secara angka.

Kontribusi IHT terhadap pendapatan negara ini tentu saja telah menjadi pelumas yang konkrit bagi kelangsungan pembangunan. Dari tahun ke tahun, pendapatan triliunan rupiah tersebut menjadi gambaran riil yang semestinya menjadikan pemerintah lebih serius dalam memproteksi IHT dalam negeri.

Pemerintah mestinya tidak perlu mengakomodir kepentingan dari agenda rezim kesehatan global yang melulu mendiskreditkan rokok. Telah kita diketahui sejak memasuki tahun 2000, agenda pengendalian tembakau tidak bersih dari kepentingan politik dagang kapitalisme farmasi. Artinya, meski menggembirakan secara angka, namun sumber pendapatan andalan negara ini pasarnya tengah berada dalam ancaman yang patut diwaspadai.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah