Search
nikotin

Nikotin Dibenci dan Dipuja, Politik Dagang Farmasi Semakin Nyata

Nikotin pada tembakau diduga telah dikonsumsi di Amerika Selatan dan Amerika Utara sejak 6000 tahun silam sebelum masehi. Praktik penggunaannya didasarkan untuk kepentingan ritus suku-suku tertua di benua Amerika. Baik itu dengan cara dikunyah maupun dibakar. Tembakau tergolong sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat asli.

Berdasar catatan sejarawan Belanda, Bernard Hubertus Maria Vlekk, ia menyebutkan bahwa tanaman tembakau pertama kali masuk ke Asia melalui orang-orang Spanyol yang singgah di Filipina pada abad ke-16. Tembakau tiba di wilayah nusantara dan mulai ditanam secara menyeluruh pada permulaan tahun 1600-an.

Tak butuh waktu lama, pada tahun 1626, kompeni telah berupaya memonopoli komoditas ‘emas hijau’ ini di nusantara. Kebiasaan mengisap lintingan tembakau yang disulut ujungnya telah menjadi tradisi di kalangan elit lokal.

Kala itu merokok dipandang sebagai alat representasi status sosial. Tembakau telah menjadi bagian dari produk budaya masyarakat. Kesultanan Mataram adalah lingkungan yang cukup akrab dengan tembakau. Sultan Agung dan Sunan Amangkurat I, dikenal sebagai sosok yang gemar menghisap tembakau dengan menggunakan pipa perak.

Dari tiap daerah di nusantara, terdapat banyak hikayat yang berkaitan dengan keakraban masyarakat nusantara dengan tanaman yang memiliki kandungan nikotin ini. Tanaman ini telah dikenal sejak lama memiliki banyak manfaat medis. Serta nilai ekonomi tinggi yang sangat menguntungkan pemerintah kolonial pada masa tanam paksa di nusantara.

Bahkan, seorang peneliti medis asal Belanda bernama Gilles Everaerts meyakini bahwa sedemikian tingginya manfaat tembakau, sebagian dokter akan menganggur. Perkebunan tembakau pun bermunculan secara bertahap dari wilayah ujung timur Pulau Jawa, mulai dari Besuki, Kedu, Cirebon, hingga ke Batavia.

Sementara di Perancis, pada 1830, tembakau yang dilinting di dalam kertas disebut-sebut menjadi titik awal kemunculan istilah sigaret atau rokok. Mesin pembuat rokok pertama yang dipatenkan adalah buatan Juan Nepomuceno Adorno dari Meksiko pada 1847.

Produksi rokok meningkat setelah mesin baru dikembangkan James Albert Bonsack dari AS pada 1880-an. Mesin buatan Bonsack ini bisa memproduksi rokok dari hanya 40.000 batang hingga sekitar 4 juta batang dalam sehari. Industri rokok kemudian berkembang pesat diberbagai belahan dunia. Tak terkecuali di Indonesia, yang memiliki produk khas bernama kretek. Menjadi simbol identitas dan mendapatkan babak kejayaannya di masa Nitisemito.

Baca Juga:  Cengkeh dan Manfaatnya yang Tersembunyi

Namun, masa kejayaan rokok maupun produk kretek mengalami gempuran dari kepentingan industri farmasi. Pada era 1960-an, muncul hasil penelitian ketika para ilmuwan Pharmacia mulai mencoba mengembangkan nikotin alternatif, yang dilatarbelakangi oleh laporan pertama Surgeon General tentang dampak merokok bagi kesehatan. Inilah yang menjadi titik awal pembacaan atas perang nikotin yang diungkap Wanda Hamilton melalui buku Nicotine War.

Sejak munculnya temuan itu mulailah ada pemikiran bagaimana merebut pangsa pasar rokok yang merupakan bisnis yang menjanjikan keuntungan luar biasa besar. Sejak tahun 1969-an, beberapa perusahaan farmasi melakukan riset, membangun opini antirokok dengan berbagai bentuk kampanye, sampai konferensi-konferensi internasional. Kemudian ditingkatkan dengan membuat berbagai aturan tentang pembatasan dan pelarangan rokok, pengendalian tembakau di suatu negara. Hingga menelurkan traktat internasional bernama FCTC (Framework Convention Tobacco Control).

Sejalan dengan kampanye kesehatan, dikembangkan produk kesehatan alternatif dari rokok berupa senyawa pengantar nikotin seperti permen, pil, koyok, inhaler, dll. Dari sini, jelas mulai nampak sebagai tujuan dari perang nikotin yaitu menawarkan produk baru dari industri farmasi.

Gerakan pengendalian tembakau terus berkembang dengan menggunakan berbagai strategi, manuver, serta memanfaatkan lembaga-lembaga otoritatif dunia, seprti FDA dan WHO, maupun organisasi non pemerintah untuk memerangi rokok dan tembakau yang kerap dibentur-benturkan dengan isu kesehatan.

Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, banyak pemberitaan yang mem-framing rokok maupun tembakau secara negatif. Biang kerok penyakit-penyakit mengerikan, bahkan kerap dihubung-hubungkan dengan image buruk lainnya.

Kewarasan publik diobrak-abrik dengan menggunakan narasi kesehatan serta aspek normatif lainnya. Banyak masyarakat yang termakan oleh isu kesehatan yang dijadikan tameng dari kepentingan politik dagang farmasi.

Baca Juga:  Rokok Kretek Terenak Yang Beredar Saat ini 

Tidak banyak masyarakat yang paham betul, perang apa yang sesungguhnya terjadi di balik isu rokok dan kesehatan. Sebagian besar termakan isu yang dimainkan oleh skema permainan industri farmasi dalam upaya mematenkan nikotin pada tembakau.

Fakta-fakta ilmiah dari riset Wanda Hamilton tentang perang nikotin, bahwa, perang nikotin ini merupakan perang antara perusahaan farmasi dan perusahaan yang bergerak dalam industri tembakau. Dalam konteks ini, produk dalam negeri kita berupa kretek, menghadapi gempuran yang luar biasa melalui produk regulasi yang mengadopsi FCTC.

Konteks dari peta perang nikotin itu semakin kentara akhir-akhir ini, melalui pemberitaan media yang mem-framing manfaat nikotin, namun menjelek-jelekan unsur tar (residu) pada rokok. Jika kita tilik dari upaya farmasi sejak 1960-an dengan mendiskreditkan zat yang dikandung pada tembakau, sebagai sumber pembunuh nomor satu di dunia. Belakangan, justru semakin diperkuat untuk mendorong perhatian pasar terhadap nikotin hasil olahan industri farmasi.

Digadang-gadang, residu pada rokok jauh lebih berbahaya dan mematikan dibanding senyawa nikotin yang dilariskan melalui narasi pengetahuan yang diproduksi pihak-pihak otoritatif kesehatan.

Artinya, pada masa sekarang ini, perebutan nalar konsumen semakin terbuka dan vulgar. Bahwa jelas, yang selama ini ditargetkan tak lain adalah pasar. Yakni minat perokok untuk beralih mengonsumsi produk-produk pengganti rokok.

Jadi, narasi kesehatan yang selama ini dikampanyekan tak lain hanyalah tameng dari kepentingan dagang industri farmasi global. Kampanye yang terkesan mulia berpihak pada kesehatan publik, tak lebih dari manuver belaka yang bertujuan mendangkalkan nalar kebudayaan kita terhadap produk kearifan lokal kita; kretek.