Press ESC to close

BPOM Mendorong Larangan Menjual Rokok Ketengan, Konyol Betul Sih!

Rokok seringkali dikaitkan dengan perkara kesehatan serta dampaknya terhadap lingkungan. Sementara dari sisi ekonomi, produk tembakau memberi devisa triliunan tiap tahun bagi negara serta kelangsungan ekonomi masyarakat yang bergantung hidup dari industri rokok.

Paradoksnya, produk legal ini seringkali dikait-kaitkan dengan narkoba yang jelas-jelas terlarang dan tidak berkontribusi bagi negara. Perkara rokok yang diidentikkan dengan narkoba ini merupakan bagian dari kampanye antitembakau. Terus dimainkan untuk mendiskredtkan keberadaan produk tembakau. Sehingga kemudian mendapatkan konteksnya untuk mendorong revisi PP 109/2012.

Wacana revisi ini di antaranya menyasar pada isu simplifikasi cukai dan pelarangan rokok ketengan. Perlu diketahui, komoditas strategis ini secara ketat sudah diatur melalui PP 109/2012, baik itu soal promosi dan penjualannya.

Anehnya di sini, Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM, turut mendukung wacana simplifikasi dan pelarang rokok ketengan. Padahal produk rokok itu ya semua harus melewati pemeriksaan BPOM terkait kandungan nikotin dan tar di dalam produk tembakau.

Argumentasi pihak BPOM mendukung wacana tersebut, tak bedanya dengan argumentasi kalangan pengusung gerakan antirokok dan pemerintah. Yakni dalam upaya menekan konsumsi rokok masyarakat.

Baca Juga:  Betapa Rewelnya Negara Kita pada Rokok

Wong, mereka yang memeriksa dan mengawasi layak edar atau tidaknya rokok di pasaran, kok ini malah ikut serta mengatur teknis penjualan. Bahkan ikut mendukung perkara cukai. Sangat tidak relevan dan berlebihan.

Pihak BPOM menyebutkan bahwa, penjualan rokok ketengan membuat agenda penggendalian tembakau menjadi tidak efektif. Padahal, soal efektif atau tidaknya suatu regulasi justru kuncinya ada di pengawasan dan penegakan aturan. Bukan ada di soal teknis penjualan. Apalagi sampai ikut mendukung revisi PP 109, tidak ada urgensinya di situ.

Sejak dua tahun lalu, gelagat antirokok dalam mendorong isu revisi PP 109 ini sudah terasa. Pada akhir tahun 2021, Pihak YLKI diwakili Tulus Abadi, sebagai representasi lembaga yang turut memerangi rokok, mempersoalkan pula penjualan rokok ketengan itu sebagai strategi industri untuk membuat rokok semakin mudah diakses anak-anak, dan mengarah sebagai aktivitas ilegaL. Di sini ngawurnya.

Bayangkan, ketika cukai dan harga rokok terus naik digenjot oleh target penerimaan cukai yang sudah dianggarkan negara. Sementara di satu sisi, daya beli konsumen pun mengalami perubahan terdampak kenaikan cukai, otomatis pedagang harus menggunakan cara yang dapat membuat produknya terjual. Dijual secara ketengan merupakan salah satu cara yang legal dalam pemasaran. Bukan tindakan ilegal.

Baca Juga:  FCTC Dalam Pandangan Jokowi

Dari masifnya upaya antirokok mendorong wacana revisi PP 109, bahkan sampai melibatkan elemen pemerintah, ini menandakan semakin salah kaparah saja pemerintah dalam memaknai sumber pendapatan yang menjadi andalan negara ini.

Jika penjualan rokok ketengan terus mendapat intervensi dari pihak-pihak yang membawa kepentingan antirokok. Sudah bisa dikatakan ini merupakan kabar buruk bagi demokrasi ekonomi di akar rumput. Biar bagaimanapun, perkara teknis penjualan ini merupakan salah satu peluang pedagang untuk mendapatkan keuntungan. Masya pedagang terlarang untuk mendapatkan untung dari produk yang dijual dengan cara legal. Itu artinya melanggar amanat Undang-undang terkait hak rakyat dalam mengkases kesejahteraan.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *