Press ESC to close

Bungkus Rokok yang Terus Dipermasalahkan

Pada satu masa, terkait bungkus rokok, ketika kebijakan peringatan bergambar dikeluarkan oleh pemerintah, jumlah pabrik rokok di Indonesia setidaknya berkurang setengah dari total pabrik yang ada. Hal ini disebabkan membengkaknya biaya produksi akibat kebijakan tersebut, yang berujung pada bangkrutnya banyak perusahaan disertai PHK ribuan buruh.

Kini setelah kebijakan tersebut berjalan lebih lima tahun, kelompok antirokok kembali mempersoalkan kebijakan tersebut. Dengan alasan tidak efektif dalam mengurangi jumlah perokok, mereka meminta kebijakan yang lebih ekstrem: kemasan polos untuk bungkus rokok. Hal ini jelas mengerikan, dan membingungkan.

Perlu dipahami jika dulu kebijakan peringatan bergambar dibuat dengan dalih mengurangi jumlah perokok. Alasan itu telah banyak dibantah oleh Komunitas Kretek, mengingat konsumen adalah kelompok yang cair dan fleksibel. Mungkin perokok akan terganggu dengan kehadiran gambar seram di awal, tapi kemudian itu bukan menjadi hal yang penting dan berpengaruh.

Dan terbukti, kini gambar peringatan bergambar memang terbukti tidak efektif mengurangi jumlah perokok, terutama jika yang dibahas adalah mengurangi jumlah perokok di bawah umur. Mengingat peringatan bergambar bukan solusi atas masalah tadi. Seperti apa pun bentuk bungkus sigaret, orang tetap akan merokok.

Kini, setelah gagal di peringatan kesehatan bergambar, wacana bungkus polos didorong sebagai solusi atas kegagalan mereka di masa lalu. Hal yang tentu saja berpotensi mengulangi kegagalan lama, untuk terus diulangi di masa depan. Persoalan ini menjadi salah satu hal yang terus berulang karena kebijakan tidak dibuat dengan upaya mengurai persoalan.

Baca Juga:  Cukai Rokok dan Suara Konsumen

Jika mau perokok di bawah umur berkurang, maka solusi atas permasalahan ini adalah pengetatan dari aturan penjualan. Awasi penegakkan aturan tersebut, jika ada pedagang yang menjual rokok pada mereka yang di bawah usia 18 tahun harus disanksi. Namun, jangan lupa lakukan sosialisasi pada pedagang terlebih dahulu.

Kalau memang dirasa perlu, gunakan kartu identitas sebagai pennanda orang yang boleh membeli rokok. Jika di kartu identitas seperti KTP atau SIM pembeli belum menunjukkan usia 18 tahun, maka mereka tidak diperbolehkan membeli. Saya kira, hal ini akan lebih efektif dalam mengurangi prevalensi perokok di bawah umur ketimbang membuat beragam kebijakan baru lainnya.

Mengingat perkara perokok di bawah usia 18 tahun ini terjadi karena mereka masih bisa mengakses atau membeli rokok. Selama pedagang masih membolehkan mereka membeli, maka mereka masih bisa mendapatkannya. Mau pembelian eceran dilarang, tapi mereka masih bisa membeli bungkusan. Caranya, ya dengan patungan lah, gitu saja kok repot.

Seandainya memang yang diharapkan berkurang adalah perokok dewasa, maka solusi yang tepat adalah dengan melarang penjualan rokok. Jika rokok ilegal, dan penjualannya bukan lagi dibatasi tapi sudah dilarang, maka orang-orang akan kesulitan untuk mendapatkan akses dalam membeli rokok. Jika sudah begitu, maka orang-orang pasti akan berhenti membeli rokok.

Bila pun rokok benar-benar diilegalkan, saya yakin orang tetap akan merokok, entah itu harus membeli secara ilegal, atau dengan cara melinting tembakau. Artinya, ya bahkan orang akan tetap merokok jika itu sudah dilarang penuh tanpa urusan bungkus sigaret. Lagipula, kok ya apa-apa kemasan rokok yang disalahkan, apa-apa rokok yang disalahkan, bukankah kesalahan itu timbul akibat salah bikin kebijakan?

Baca Juga:  Komitmen PT Djarum Pada Tembakau Temanggung

Pada kondisi ini, kita harus tahu kebijakan ini mau dibuat untuk mengatasi persoalan apa. Jika memang untuk mengatasi perokok di bawah umur, perketat aturan penjualan dan gunakan identitas dalam setiap pembelian rokok. Jika mau industri kecil menengah mati dan menguntungkan pabrik multinasional raksasa, buat kebijakan bungkus polos. Kalau tak mau ada orang merokok, ilegalkan produknya.

Karena itulah, dalam urusan rokok ini, setiap kebijakan harus dipikir dengan betul apakah itu solusi atau sekadar untuk membuat aturan yang mematikan rokok. Karena dari begitu banyaknya kebijakan negara, tidak ada kebijakan yang benar-benar efektif. Apalagi, upaya menanggulangi ketidakefektifan kebijakan itu justru dengan mengusulkan kebijakan baru. Sungguh kebodohan yang akan terus berulang.

Jangan nantinya kita hanya bisa menyalahkan bungkus rokok, yang mau dibuat seperti apa pun, tetap tidak kan memengaruhi perilaku konsumen rokok di Indonesia.

 

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *