Press ESC to close

Pedagang Rokok Elektrik Dan Narasi Kesehatan

Berdagang sebagai usaha pemenuhan ekonomi haruslah dilandasi sikap jujur. Jujur dalam berdagang adalah modal dasar yang tercermin dari sikap mental. Tentu saja, sepanjang yang diperjualbelikan itu produk legal, tidak bertentangan dengan hukum, itu sah. Dengan kata lain, para pedagang itu golongan manusia jujur melakoni profesinya, tetapi tidak untuk pedagang rokok elektrik.

Jika kita menilik bagaimana bisnis rokok elektrik ataupula produk alternatif yang kerap mendalilkan produknya lebih aman dari rokok. Seringkali pula memanipulasi nalar publik menggunakan narasi kesehatan.

Banyak lembaga berbasis studi penelitian, akademisi, praktisi pendidikan, tokoh masayarakat, birokrat, ahli kesehatan dan sekian profesi berkaitan, pada akhirnya menjadi pedagang. Mendagangkan produk yang menggunakan siasat yang dirumuskan kapitalisme farmasi.

Produk yang didagangkan jelas sudah produk yang sama, yakni produk pengganti rokok. Seperti yang kita ketahui, siasat di balik isu kesehatan yang mendiskreditkan rokok, menjadikan rokok musuh dunia, tak lain memainkan kepentingan politik dagang.

Politik dagang siapa itu? Jelas politik dagang kapitalisme farmasi yang didukung oleh rezim kesehatan global. Selevel lembaga kesehatan kelas dunia WHO saja bisa dibeli untuk memfasilitasi terbitnya traktat FCTC. Mendesak negara-negara penghasil tembakau untuk mengaksesu agenda pengendalian tembakau.

Lebih lanjut, berkat penelitian Wanda Hamilton sejak kurun dua dekade kebelakang, secara jelas mengungkap bagaimana perang nikotin global terjadi. Fakta yang melatari terjadinya siasat farmasi dalam mematenkan nikotin tidak sepenuhnya sukses. Hingga kemudian industri farmasi memproduksi senyawa nikotin, bukan nikotin alami.

Industri farmasi dan korporasi rokok asing kemudian bersekongkol dan  bermain patgulipat demi terbentuknya berbagai regulasi yang bertujuan merebut pasar rokok. Secara ekonomi-politik, hal ini dapat dibaca sebagai sebuah perebutan lapak ekonomi berbasis nikotin.

Dibangunnya narasi tentang bahaya rokok sampai disetarakan dengan narkoba sudah digaungkan sejak tahun 1960-an. Isu rokok dan kesehatan kerap dibenturkan demi merebut nalar publik, sehingga perokok mendapat stigma sebagai pesakitan yang perlu disembuhkan dari kebiasaannya.

Aktivitas merokok disebut sebagai perbuatan buruk yang adiktif, terminologi habituatif atau logika tentang kebiasaan dijungkir-balikkan ke dalam frasa kecanduan.

Baca Juga:  Menghubung-hubungkan Rokok dengan Kemiskinan

Peran figur otoritatif, di antaranya para ilmuwan dimanfaatkan untuk menyuarakan rumusan-rumusan yang didasarkan pada tujuan pengendalian tembakau. Narasi negatif tentang rokok terus dimutakhirkan dan direpetisi. Dibuat masif ke dalam berbagai bentuk kampanye kesehatan. Bidang-bidang profesi yang beririsan dengan kepentingan kesehatan maupun pendidikan dijadikan semacam ‘marketing’ terselubung.

Kesemua bagian dari skema pengendalian tembakau dimainkan di Indonesia sejak dua dekade kebelakang.

Secara global, para pemain di bisnis nikotin dan kesehatan kemudian mendapatkan konteksnya. Hal itu terjadi ketika alam pikir publik telah berhasil dikuasai oleh narasi kesehatan yang mereka bangun.

Perseteruan logika pro-kontra terus melahirkan berbagai bentuk kontroversi di masyarakat. Baik antirokok maupun yang memilih netral, terseret masuk ke dalam arus kontroversi rokok & kesehatan. Produk rokok menjadi pihak yang dirisak secara bertubi-tubi.

Industri rokok dalam negeri yang memproduksi kretek mengalami hantaman akibat dari skema pengendalian yang dilesakkan ke semua sendi sosial maupun politik, bahkan ke dalam lini budaya dan agama.

Rokok menjadi produk yang paling dibenci dan layak mendapat perlakuan diskriminasi. Hantaman terhadap industri kretek dalam negeri terasa dampaknya dari semakin bertambahnya pabrikan kecil yang kukut.

Kemudian dari sekian yang kukut itu diakuisisi. Secara modal tentu mereka kalah. Regulasi yang dimunculkan sejak tahun 1999, melalui PP 81 tentang pengaturan pengamanan rokok bagi kesehatan melalui PP No. 81 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan PP No. 38 Tahun 2000, telah menjadi dua prasasti awalan dari agenda farmasi dalam upaya memonopoli pasar rokok.

Kliki-klinik terapi ketergantungan rokok dibuat, para praktisi yang bersepaham dengan agenda pengendalian, terbawa secara sukarela demi memperjuangkan sesuatu yang semu dan penuh intrik manipulative. Rokok harus dimusuhi, kemudian produk pengganti yang disebut sebagai Nicotine Replacement Therapy dilariskan, dipromosikan sebagai produk nikotin yang lebih aman.

Baca Juga:  Melawan Kenaikan Cukai dengan Membeli Rokok Ilegal dan Tingwe

Keberadaannya dangkat-angkat ke publik setelah produk tersebut secara sosial mulai dikenal dan dapat diterima sebagai produk yang ramah. Harganya pun kemudian semakin kompatibel dengan harga rokok yang terus digenjot naik melalui desakan regulasi cukai yang tiap tahun tarifnya dibuat naik di atas 10 persen.

Kini, semakin masif saja pemberitaan yang diangkat untuk mempromosikan produk penganti rokok konvensional itu. Sejauh ini di Indonesia lebih populer sebagai rokok elektrik. Dalih proses penggunaanya yang berbeda, perkara asap versup uap dipersandingkan di ruang-ruang bernuansa kesehatan untuk memutus ketergantungan.

Para tokoh publik, baik dari kalangan akademi maupun hali kesehatan, akhir-akhir ini hadir seperti pedagang yang mempromosikan keunggulan produk nikotin yang diproses menghasilkan uap. Produk rokok konvensional yang menghasilkan asap dan mengandung tar, terus dipojokkan sebagai yang sangat buruk dan harus dimusuhi masyarakat.

Jika pada akhirnya, ketika otoritas maupun para ahli kemudian dapat diperalat menjadi juru pemasaran produk berbasis nikotin. Di titik ini kita dapat menyimpulkan, bahwa profesi pedagang itu lebihg jujur dibanding profesi lainnya.

Sebab faktanya, orang-orangg yang mengaku dokter ternyata ujung-ujungnya juga dagang, mereka yang dikenal sebagai ahli pendidikan, pengamat sosial maupun kesehatan, ujung-ujungnya juga jadi pedagang.

Intinya, jika para profesional yang selama ini dikenal sebagai sosok otiritatif itu malah nyambi menjadi pedagang rokok uap, di mana letak kejujurannya dibanding  pedagang jamu gendong yang tanpa harus berlaga ahli medis sembari menjelekkan produk sejenis, secara praktik, pedagang jamu lebih konkret menyuplai manfaat suplemen kebugaran di masyarakat tanpa jurus manipulative apapun. Mana lebih jujur? Itu intinya.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *