Press ESC to close

Apa Beda Limbah Rokok Dengan Limbah Lain?

Limbah rokok tengah menjadi sorotan antirokok di media. Beberapa akhir waktu ini, sejumlah lembaga pembenci rokok mem-framing limbah rokok sebagai ancaman serius bagi lingkungan. Meski sejatinya, ada limbah lain dari produk konsumsi serta aktivitas ekonomi masyarakat yang turut menyumbang ancaman lingkungan.

Sependek yang saya ketahui, konsumsi masyarakat luas yang menghasilkan limbah tentu tidak sedikit. Kita ambil contoh gampang saja limbah kemasan junk food dan produk air minum dalam kemasan. Merujuk data KLHK, total sampah nasional mencapai 68,5 juta ton.

Dari jumlah tersebut, sebesar 17 persen disumbang oleh sampah plastik, atau sekitar 11,6 juta ton. Jika dihitung dari 2010 yang berada di 10 persen. Golongan plastik sekali pakai menjadi tren yang mengalami peningkatan signifikan. Namun, lembaga antirokok seakan tutup mata dengan problem sampah plastik sekali pakai.

Tren peningkatan sampah plastik sekali pakai ini tentu bukan hanya menjadi masalah di Indonesia. Perkara ini telah menjadi pergunjingan serius para pemerhati lingkungan di tingkat global. Sampah botol plastik ataupula sampah produk fast moving dari kota-kota besar di dunia tercatat menghasilkan sampah plastik hingga 1,3 miliar ton setiap tahunnya.

World Bank memperkirakan, jumlah tersebut akan terus bertambah hingga 2,2 miliar ton pada tahun 2025. Sedangkan masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara menggunakan sekitar 100 kilogram plastik di setiap tahunnya, dan sebagian besar merupakan kemasan plastik sekali pakai. Sementara, masyarakat Asia menggunakan hingga 20 kilogram per orang.

Sangat disayangkan, 22% hingga 43% plastik yang digunakan di seluruh dunia berakhir di Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Berarti biaya pembangunan TPS yang harusnya bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih bermanfaat, namun harus habis untuk menumpuk sejumlah sampah plastik.

Selain itu, variabel pandemi turut meningkatkan produksi sampah dari sektor kesehatan. Merujuk hitungan para peneliti, tercatat 193 negara telah menghasilkan sekitar 9,2 juta ton sampah plastik sejak awal pandemi Covid-19, hingga pertengahan Agustus 2021. Sebagian besar plastik tersebut dihasilkan oleh rumah sakit, sekitar 87,4 persen. Sementara itu 7,6 persen dihasilkan oleh individu.

Tim peneliti sampah plastik itu melaporkan dalam penelitian terbaru yang diterbitkan secara online pada 8 November di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Tim ini mengembangkan satu model untuk memprediksi berapa banyak sampah plastik ini berakhir di laut setelah dibuang.

Baca Juga:  Kisaran Harga Rokok Cerutu Pada Tahun 2021

Mereka memperkirakan bahwa, pada 23 Agustus, sekitar 28.550 ton puing-puing plastik telah mengalir ke lautan, mengalir melewati 368 sungai besar.

Para peneliti meyakini dalam waktu tiga tahun, sebagian besar puing-puing akan bergeser dari permukaan laut ke pantai dan dasar laut. Lebih dari 70 persen terbawa ke pantai pada akhir tahun. Dari gambaran angka ini, persoalan yang dihadapi masyarakat global tak lain dan tak bukan adalah sampah plastik.

Brengseknya, momok dunia yang 70 persennya disumbang dari aktivitas medis. Kemudian seperti ditutupi dengan perkara limbah dari industri rokok. Artinya, problem yang disumbang oleh industri kesehatan, seperti tak dianggap sebagai penyumbang sampah yang harus dituntut pertanggung jawabannya.

Jika mau fair, antirokok mestinya juga mengungkap angka obyektif dari temuan tersebut, bahwa limbah dari sektor kesehatan jauh lebih berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Tergolong limbah B3 atau yang disebut Bahan Beracun Berbahaya.

Menilik lagi pada limbah dari aktivitas merokok, dari sisi bahan bakunya sebagian besar, komponen bahan baku rokok itu organik. Bahan baku utamanya, jelas dari golongan tanaman vegetasi; tembakau. Lainnya berupa cengkeh, itu golongan rempah, sudah pasti cepat terurai dibantu oleh organisme tanah.

Kemudian, dari sisi bungkus rokok, jelas bahan bakunya adalah karton yang mudah diurai. Selain itu ada nilai ekonomi pula dari bisnis pemanfaatan kardus rokok. Grenjeng pelindung rokok, juga terbuat dari kertas berlapis foil tipis. Filter atau gabusnya berasal dari aseto (tanaman sejenis padi-padian) tergolong food grade.

Bandingkan dengan produk yang berasal dari industri kesehatan. Sebagian besar dibuat dari bahan beracun berbahaya. Maka, tak heran jika limbah medis masuk golongan limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Bahayanya jelas mengancam ekosistem lingkungan jika tak termusnahkan dengan baik.

Ancaman dari limbah B3 medis ini juga sempat menyedot perhatian publik di Indonesia pada 2017 silam di daerah Panguragan—Cirebon. Bahkan, dinyatakan sebagai satu tindak kejahatan serius yang diperbuat oleh sejumlah pihak yang bertanggung jawab. Limbah medis yang berasal dari 34 rumah sakit di Pulau Jawa itu terbengkalai di TPS liar.

Baca Juga:  Kualitas Tembakau Indonesia Jadi Alasan Impor Tembakau

Mungkin sudah menjadi hal klise jika kita menilik ada kepentingan apa lembaga-lembaga tersebut, serta beberapa opinion leadar turut meramaikan isu rokok dan lingkungan. Iya, framing isu ini berkaitan dengan agenda Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh pada 31 Mei nanti.

Bukan hal baru lagi, sejak memasuki bulan Mei, sudah terlihat gelagat antirokok di Indonesia memanfaatkan media arus utama untuk turut mengangkat isu rokok dan lingkungan. Pada tahun 2022 ini, gerakan antitembakau global telah menggulirkan isu utama mereka dalam upaya mendelegitimasi industri rokok.

Bicara soal penggunaan sabun ataupula deterjen dari aktivitas mencuci pakaian dan kendaraan. Tahu sendiri kan ya, bahan baku sabun maupun deterjen jelas serba kimiawi. Bukan lagi rahasia, jika limbah dari aktivitas tersebut turut menyumbang pencemaran sungai.

Belum lagi problem TPS yang tidak dikelola dengan baik, salah satunya soal ketersediaan lahan. Regulasi yang ada perihal pengelolaan limbah ini seperti tidak dikawal secara serius. Sebagaimana yang berlaku pada penerapan regulasi tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Aturan tentang KTR tidak dibuat untuk memberi rasa adil dan nyaman bagi semua lapisan masyarakat. Penerapan KTR hanya sebatas melarang dan memberi sanksi denda terhadap pelanggar. Tidak ada kesiapan yang dibuat terkait penyediaan ruang merokok yang manusiawi.

Nah, kembali ke perkara limbah produk konsumsi dan aktivitas ekonomi masyarakat, sejatinya itu menjadi tanggung jawab bersama. Namun, dalam hal pengawasan dan penegakkan sistemnya, tentu kembali lagi ke pemerintah. Sudah sejauh apa pemerintah bertanggung jawab dalam perkara limbah ini. Jangan karena rusaknya tata kelola dan ketidakmampuan mengatur para aktor yang berkepentingan, lantas rokok yang disalahkan.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *