Press ESC to close

Kualitas Tembakau Indonesia Jadi Alasan Impor Tembakau

Indonesia memiliki bahan baku rokok yang beragam, termasuk kualitas tembakau serta rempah pada produk kretek. Jauh sebelum ada industri rokok, tanaman tembakau telah menjadi komoditas yang dijumpai di pasar-pasar tradisional, tembakau telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Selanjutnya, Lance Castle sejarawan asal Australia, mencatatkan di dalam buku tentang dinamika ekonomi industri kretek di Kudus, begitu sangat menguntungkan sangat pajak tembakau bagi pemerintah kolonial. Dimana pajak tembakau pada tahun 1938 mencapai Rp.1.790.000, atau 6,2% dari total pemasukan pajak dan bea.

Sebagaimana kita ketahui, bahan baku utam rokok yakni tembakau, pada sebatang kretek tak hanya satu jenis saja. Ada lebih dari 11 jenis tembakau bercampur (di-blend), hingga dapat mencipta taste sesuai resep.

Tentu setiap pabrikan rokok memiliki resepnya masing-masing. Untuk informasi mengenai resep ini memang bersifat rahasia sejak dulu. Namun, yang terpenting pada bahasan ini, ada tiga golongan tembakau yang diistilahkan seperti halnya komposisi pada sepiring menu makan; ada tembakau nasi, tembakau lauk, dan tembakau sayur.

Ketiganya merupakan bahan pokok yang senantiasa menjadi komposisi dasar produk kretek. Untuk tembakau nasi umumnya berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa, sementara untuk lauknya dipastikan berkadar nikotin tinggi dari jenis srintil Temanggung, untuk tembakau sayurnya berasal dari Madura dan Lombok.

Di dalam landskap industri kretek, persebaran tembakau yang berasal dari daerah penghasil di Indonesia, sebagian besar terserap pabrikan. Kalau dibagi porsi pembagian komposisi umumnya, 50% tembakau nasi, 30% tembakau lauk, 10% tembakau sayur. Sisanya dilengkapi dengan unsur rempah cengkeh.

Porsentase komposisi itu tak selalu mutlak, setiap pabrikan punya hitung-hitungannya masing-masing. Disesuaikan dengan kebutuhan serta cita rasa produk yang sudah dikenal pasar. Pabrikan dalam hal ini tidak berani sembarangan mengubah komposisi, karena berisiko bagi kelangsungan loyalis produk.

Baca Juga:  Rokok Manchester, Ilegal Namun Idaman

Namun, perkara kebutuhan akan bahan baku ini terus mengalami perubahan seturut berubahnya selera pasar. Perkara ini ditandai sejak memasuki tahun 2000-an awal, dimana regulasi tentang pengamanan rokok mengatur tentang standarisasi kandungan nikotin dan tar pada rokok.

Sedangkan jika ditilik berdasar kualitas dan kandungan nikotin pada tembakau Indonesia rata-rata berkadar tinggi nikotin, tidak semua memenuhi kebutuhan skema LTLN (Low Tar Low Nicotine). Seiring perubahan itu, kemudian untuk memenuhi skema kebutuhan produksi rokok nasional mau tak mau produsen harus impor.

Permintaan pasar (deman) terhadap rokok makin meningkat, kuota kebutuhan tembakau impor pun demikian. Ada bebeberapa faktor yang dikemukakan pihak pemerintah terkait perkara kebutuhan tembakau impor. Di antaranya dijelaskan, bahwa tidak semua tembakau bisa diproduksi atau ditanam di Indonesia yang dikenal berikilim tropis.

Sebagian besar brand yang tergolong market leader, tentu sudah memiliki komposisi dan ketergantungan akan kuota tembakau impor. Inilah yang menjadi sorotan kita pada konteks kebutuhan bahan bakau rokok yang harus dibeli dari luar Indonesia.

Menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, produksi rokok nasional pada tahun 2021 mencapai 320 miliar batang. Artinya, dibutuhkan setidaknya 320.000 ton tembakau untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Sementara itu, produksi tembakau yang bisa disuplai hanya berada di kisaran 190.000 hingga 200.000 ton per tahun. Selain itu, ternyata ada alasan lain yang membuat Indonesia masih harus mengimpor dari luar negeri.

Di dalam permintaan kebutuhan impor inilah, politik pengendalian tembakau menemukan konteksnya. Dulu, sewaktu industri rokok belum direcoki politik pengendalian tembakau yang didesakkan kepada para anggota FCTC, Indonesia salah satunya. Dimana poin-poin di dalamnya mengatur terkait standarisasi kandungan pada rokok.

Tidak hanya soal nikotin dan tar yang dibatasi, termasuk penggunaan perisa/flavour mendapat sorotan pada regulasi pengendalian yang semuanya mengadopsi traktat FCTC. Maka, jika sekarang terjadi ketergantungan pada bahan baku impor, ya memang direkayasa untu samapi pada titik ketergantungan itu.

Baca Juga:  Apa Beda Limbah Rokok Dengan Limbah Lain?

Jika kita bicara soal akar persoalan impor tembakau yah ulu perkaranya ada di kebijakan pertembakauan yang tidak dapat akomodatif terhadap varietas tembakau Indonesia. Di dalam kondisi yang serba tertekan oleh banyaknya regulasi yang mengatur ketat industri rokok, tahun depan tepatnya 2023, banyak produsen pada akhirnya harus menemui ujung dari perjalanan bisnis kreteknya.

Beban produksi yang didesakkan melalui pungutan cukai dan pajak berlapis, sejak masa pandemi dan saat ini masuk ke masa pemulihan, tetap saja pungutan cukai yang tinggi di tengah daya beli yang merosot membuat perputaran roda produksi terganggu.

Dari sisi kebutuhan baku berbasis secara umum, kualitas tembakau kita adalah salah satu yang terbaik di dunia. Mestinya, kalaupun ada kekurangan suplai tembakau lokal tertentu, justru pemerintah harus fokus pada peningkatan mutu dan kualitas tembakau lokal.

Perlu ada perhatian dan insentif bagi elemen pertembakauan dalam negeri. Pemerintah jangan hanya sibuk pada agenda pengendalian pesanan asing. Jangan melulu sibuk menghitung laba dan rugi dari sektor strategis kretek yang nasibnya tak ubahnya ‘sapi perah’. Sedangkan dari sisi dampak kebijakan, baik soal cukai dan peredaran rokok ilegal terus mencipta disparitas harga yang sangat timpang, kondisi ini akan terus menggerus eksistensi industri.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *