Search

Berbagi Ruang untuk Kretek

Berbagi ruang di tengah tabrakan kepentingan, justru sering dikesampingkan kedangkalan klaim soal siapa paling benar dan siapa yang salah.

Persoalan merokok hari ini seakan tampak sebagai persoalan mayoritas yang berhadap-hadapan dengan minoritas. Sebagai kelompok yang memiliki pengikut paling sedikit, para perokok mesti berhadapan dengan ‘tesis kebenaran’ dari mereka yang berjumlah lebih besar. Maka yang diharapkan kemudian bukanlah toleransi antara perokok dan mereka yang merasa terganggu dengan asap rokok, tetapi lebih berupa penyingkiran atas nama penaklukan. Para perokok dituduh sebagai biang kerok dan asal muasal penyakit dan penyebab polusi kesehatan, sehingga tidak memiliki hak untuk dihormati.

Persoalan minimnya ruang merokok yang nyaman bagi pengunduh kretek di Indonesia, hampir selalu tidak menjadi prioritas. Di banyak ruang publik, kubu fundamentalis anti rokok menuntut untuk dihormati dengan tersedianya ruang-ruang bebas asap rokok. Sementara di sisi berseberangan, para perokok mesti bergerilya layaknya para kriminal yang sedang merencanakan kejahatan, hanya untuk sekedar merasakan nikmatnya sebatang kretek. Besarnya tekanan mayoritas membuat banyak pengelola ruang publik mesti ‘mengalah’ dan memilih menurut terhadap pemaksaan sepihak yang tidak bisa dinegosiasikan.

Dalam kasus beberapa kedai kopi di Jakarta, kenyamanan sering disinonimkan bahwa ia mesti bebas asap rokok. Asumsi salah kaprah ini datang dari cara pandang yang tidak adil karena memandang merokok adalah aktifitas jahat yang tidak bisa diberikan zona gerak. Ketimbang memikirkan jalan tengah yang dapat mengakomodir kepentingan kedua belah pihak, para pembenci rokok mengharuskan agar hanya apa yang mereka mau sebagai batu landas dari semua kesepakatan yang menyangkut penggunaan area bersama. Yang mana, publik dalam konteks ini adalah mereka yang merasa paling benar hanya karena (sekali lagi) memiliki jumlah pengikut paling banyak.

Baca Juga:  Menengok Peraturan Soal Rokok di Jepang

Tidak sedikit kedai kopi di Jakarta yang melarang para penikmat kretek untuk menikmati batang-batang kretek. Pelarangan tersebut berbarengan dengan tidak tersedianya ruang merokok yang layak. Untuk mendapatkan kenyamanan, barisan pengunduh kretek mesti menjalani laku puasa rokok yang dipaksakan dari atas. Sebagai ‘penyakitan’, sumber masalah sosial, akar dari kemiskinan dan pola hidup yang tidak sehat, para perokok diamputasi semenjak ia melewati pintu masuk kedai kopi. Mungkin ini yang mereka maksud dengan demokrasi: tirani mayoritas.

Di Owl House, separuh dari para pegiatnya adalah mereka yang tidak merokok. Namun itu tidak berarti bahwa mereka kemudian membenci kawan-kawan perokok yang lain. Berbagi ruang, mengasah tolerasi dan percaya bahwa keselarasan tidak datang melalui pemaksaan, Owl House berupaya mengakomodir individu-individu yang ingin menikmati kretek dan mereka yang terganggu dengan asap rokok. Itu mengapa, bersiasat dengan desain ruang di kedai adalah pilihan paling logis yang ditempuh dengan sadar. Bahwa apa yang diyakini oleh kebanyakan orang, belum tentu merupakan kebenaran.

Baca Juga:  Di Tempat Ini, Kita Belajar Menghargai Hak Perokok

Di kedai yang dijalankan dengan metode ko-operasi ini, kesepakatan adalah perjanjian yang dibangun di atas pemahaman yang terus menerus ditinjau seiring waktu. Bahwa ia bukan sesuatu yang final dan tidak tergantikan, melainkan negosiasi-negosiasi aktif antara semua pihak dengan keragaman pendapatnya. Ruang merokok dan zona bebas asap rokok di Owl House, bukanlah ruang-ruang final yang secara geografis tidak bisa dipertanyakan atau didesain kembali. Sebaliknya, secara tentatif ia mesti fleksibel terhadap situasi terkini yang sedang dihadapi. Lentur terhadap perubahan dan juga adaptif dan ramah terhadap perbedaan pendapat.

Apa yang disebut ‘kenyamanan’ di Owl House, bukanlah tesis final yang didasarkan pada jumlah pengikut mazhab tersebut. Kedai kopi kecil dan baru berumur seminggu ini percaya bahwa para perokok dan mereka yang terganggu dengan asap rokok, masing-masing harus terus melatih diri untuk berdialektika. Saling bertanya, saling mengenal, saling mendengar dan akhirnya belajar saling mengerti.

Andre Barahamin
Latest posts by Andre Barahamin (see all)