Press ESC to close

Harmoni di Boyolali, Perokok dan Tidak Perokok Sama-sama Hidup dari Tembakau

Catatan Ekspedisi Emas Hijau Edisi Boyolali.

Berangkat dari Temanggung pada Senin, 5 Mei 2025 pukul 17.06 WIB, rombongan Ekspedisi Emas Hijau sampai di Boyolali, Jawa Tengah sekitar pukul 20.15 WIB.

Dalam perjalanan ke Boyolali, kami bingung mau menginap di mana. Sebab di kota ini kami tidak mempunyai kenalan. Rencana awalnya mau menginap di masjid, lalu besoknya pergi ke ladang untuk berkenalan dengan petani setempat.

Tetapi setelah saya lihat rute ladang tembakau yang akan kami sambangi berada di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo (alias persis berada di Lereng Merbabu), saya pun mengusulkan untuk menginap di basecamp pendakian Gunung Merbabu saja.

Sisa-sisa petani tembakau di Boyolali

Kami akhirnya menginap di basecamp Pak Parman yang terletak di Dusun Genting.

Sebelumnya, kami sempat nyaris putus asa karena beberapa orang yang kami temui mengatakan, di Boyolali sudah tidak ada lagi petani tembakau.

Baru ketika berbincang dengan Pak Parman kami mendapat kabar baik. Pak Parman mengarahkan kami untuk pergi ke Dusun Surodadi yang hanya berjarak 1 km dari Dusun Genting.

Dusunnya terpisahkan perbukitan. Jalan menuju Dusun Surodadi pun sangat ekstrim dengan jalan turunan yang panjang. Di Dusun Surodadi, masih banyak petani yang menanam tembakau.

Tembakau adalah milik siapa pun, termasuk bagi yang tak merokok

Di Surodadi kami berkenalan dengan Sumarlan. Ia berprofesi sebagai Kepala Dusun Surodadi, sekaligus petani tembakau. Pak Sumarlan bukanlah seorang perokok, tapi ia menggantungkan hidupnya dari tembakau.

Pak Sumarlan menyambut kami dengan hangat, tubuhnya tinggi, kumisnya tebal. Kala itu ia sedang sarungan. Tak berselang lama duduk di ruang tamu, datang istrinya dengan nampan berisi teh hangat.

Betapa nikmatnya teh kala itu. Di tengah cuaca dingin lereng Merbabu, sungguh menambah kesyahduan suasana obrolan. Kendati Pak Sumarlan tidak merokok, tetapi di meja tamunya tersedia asbak.

Baca Juga:  Sejarah Djarum; Nyaris Punah Hingga Jadi Raksasa

“Meskipun saya tidak merokok, saya tidak benci dengan tembakau. Bekerja ke ladang sebagai petani tembakau sudah turun-temurun dilakukan oleh nenek moyang saya,” tuturnya.

Bagi Pak Sumarlan, merokok adalah soal pilihan. Kebetulan ia tidak tertarik, tapi bukan berarti membenci. Karena setiap ada acara dusun, di rumah siapa pun, pasti menyediakan rokok atau tingwe sebagai hidangan. Termasuk Pak Sumarlan.

Almarhum bapaknya juga seorang perokok. Dari penuturan Pak Sumarlan, bapaknya bisa dibilang masuk kategori panjang umur. Bapaknya meninggal di usia 85 tahunan.

Sama seperti Mbah Noto dan petani tembakau lainnya yang sebelumnya kami temui, bapak Pak Sumarlan juga merokok sejak kecil ketika sudah mulai pergi ke ladang.

Bagi Pak Sumarlan, merokok tidak ada urusannya dengan kesehatan. Karena selama ia hidup, ia tidak pernah menyaksikan almarhum bapaknya mengalami sakit keras.

Sebagai Kepala Dusun, ia juga tidak pernah melihat ada masalah antarwarga karena merokok. Kendati di Dusun Surodadi juga banyak warga yang tidak merokok.

Tidak ada satu pun masyarakat di sini ingin tembakau musnah. Justru mereka berharap pemerintah mendukungnya. Karena dengan tembakau, masyarakat sejahtera.

Musim kemarau: musim rezeki dari tembakau

Di kota-kota penghasil tembakau, biasanya petani cuma terbagi dua. Petani yang menanam tembakau sudah pasti menanam sayur. Tetapi petani yang menanam sayur belum tentu menanam tembakau.

Termasuk petani di lereng Merbabu. Ketika musim penghujan, masyarakat menanam sayuran dengan metode tumpang sari.

Tumpang sari dalam pertanian adalah sistem penanaman ketika dua atau lebih jenis tanaman ditanam bersamaan di lahan yang sama. Tujuannya untuk mengefektifkan lahan dan diversifikasi tanaman.

Syarat sistem tumpang sari sederhana. Sistem ini hanya bisa dipakai di musim penghujan. Meskipun di lereng Merbabu perairan lebih deresa dibandingkan di lereng Sumbing daerah Legoksari, tetapi tetap saja, di musim kemarau masyarakat hanya bisa menanam tembakau.

Baca Juga:  Panorama Tembakau dan Replika Menara Eiffel di Boyolali

Karena cuma itu yang mampu bertahan. Dan memang tembakau yang diperuntukkan sebagai kreteklah yang sangat cocok ditanam di lahan yang kering.

Para petani di lereng Merbabu biasanya menanam benih varietas Gombel. Sebagian yang lain ada yang menanam varietas Kemloko. Dari benih itulah dapur masyarakat bisa menyala.

Tungguk Tembakau di Boyolali

Dalam rangka mensyukuri hasil panen tembakau, masyarakat di lereng Merbabu melakukan ritual yang disebut Tungguk Tembakau. Belakang populer disebut sebagai Festival Tembakau.

Prosesnya diawali dengan kirab sesaji berupa gundukan tembakau, aneka sayuran, serta nasi tumpeng dan lauk yang dibawa menggunakan tandu.

Gunungan itu diantarkan ke sebuah makam yang dikeramatkan, yakni Makam Gunungsari.

Festival Tungguk Tembakau diselenggarakan selama tiga hari. Kata Pak Sumarlan, ritual di tahun ini (2025) kemungkinan besar akan diselenggarakan pada 2 Agustus.

“Kalian harus ke sini lagi nanti biar tahu khidmat dan suka cita masa panen tembakau,” ujar Pak Sumarlan.

Ah, saya sendiri jadi tidak sabar untuk datang kembali ke sana. Merasakan khidmatnya suka cita anugrah tembakau di ketinggian sekitar 1300 mdpl dengan suhu udara sekitar 11 derajat celcius.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang

BACA JUGA: Panorama Tembakau dan Replika Menara Eiffel di Boyolali

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *