
Saya tidak heran mengapa warga di Desa Legoksari, Temanggung, banyak yang berumur panjang. Bapak Sangit yang akrab dengan panggilan Mbah Noto, ternyata sudah menginjak usia ke 83 tahun.
Inilah Catatan Ekspedisi Emas Hijau di Temanggung (Part 2):
Mbah Noto sejak kecil sudah ikut orang tua ke ladang. Mbah Noto juga merokok sejak kelas 2 SD. Ia masih sehat bugar, bahkan ngopi ngebul menemani kami semalam suntuk sambil bercerita tentang tembakau Srintil. Salah satu tembakau terbaik Temanggung.
Sembari cerita, ia pun menyodorkan Srintilnya. Untuk pertama kalinya, saya pun mencoba tembakau termahal ini. Rasanya gurih, manis, tarikannya nendang, terasa deg di dada. Sensasi itulah yang memberikan efek relax ke tubuh ketika menghisapnya.
Mbah Noto belum pernah sakit serius selama 83 tahun
Dari penuturan Sangit, Mbah Noto belum pernah mengalami sakit yang membuat ia harus terbaring di ranjang berlama-lama. Energinya bahkan seperti tidak turut melapuk seiring usia.
Saya melihatnya sendiri. Ketika saya bangun pagi menyaksikan pemandangan sunrise dan samudera awan dari teras rumah Sangit, tampak Mbah Noto sedang bersiap-siap pergi ke ladang pada pukul 06.30 WIB sambil membawa tembakau lintingan.
Tidak lama kemudian saya ikut menyusul ke ladang bersama Sangit dan kawan-kawan ekspedisi. Betapa indahnya pemandangan di sana. Di langit yang cerah, tampak Gunung Sumbing, Merbabu, dan Andong yang memanjakan mata sembari menyaksikan tubuh bugar Mbah Noto menanam tembakau.

Metode tanam “tumpang sari” di Legoksari Temanggung
Di sela-sela menanam tembakau, sembari melinting Mbah Noto menceritakan metode menanamnya yang menggunakan sistem “tumpang sari”.
Tumpang sari dalam pertanian adalah sistem penanaman ketika dua atau lebih jenis tanaman ditanam bersamaan di lahan yang sama. Tujuannya untuk mengefektifkan lahan dan diversifikasi tanaman.
Jadi, ketika tanaman sayuran panen, tembakau pun sedang tumbuh menyambut musim kemarau. Syarat sistem tumpang sari sederhana, sistem ini hanya bisa dipakai di musim penghujan.
Lalu, dalam kesempatan lain ketika sedang ngopi dengan Mbah Noto, kami bertanya mengenai resep umur panjangnya. Jawaban Mbah Noto sederhana: “Hiduplah dengan bahagia, kalau stres tinggal merokok.”

Menanam tembakau di ketinggian 1500 mdpl
Setelah puas berkeliling di ladang tembakau milik Sangit, saya pun memutuskan untuk melihat ladang tembakau tertinggi di lereng Sumbing ini. Jalanan terjal harus saya lalui. Bayangkan saja, para petani melewati jalan ekstrem lereng Sumbing setiap hari.
Saya sampai sekitar pukul 09.15 WIB di ladang tembakau tertinggi yang berbatasan langsung dengan hutan yang dikelola oleh Perhutani. Cuaca di ladang tembakau tertinggi ini cukup dingin, tapi juga kering. Air cukup sulit didapatkan ketika musim kemarau.
Pasalnya, di area itu perairan hanya mengandalkan air hujan. Tidak ada irigasi layaknya di sawah-sawah untuk mengairi lahan. Itulah sebabnya, hanya tanaman tembakau lah yang mampu bertahan di tanah yang kering itu.
Di ladang tertinggi ini saya berkeliling menyaksikan para petani menanam tembakau. Tidak hanya menyimak, saya pun diberi kesempatan oleh Yono, salah satu petani yang saya temui, untuk ikut menanam.
Ladang Yono persis menghadap ke jurang. Kendati demikian, pemandangannya begitu menakjubkan. Hamparan ladang perkebunan dihiasi lanskap pegunungan sungguh menambah kesyahduan kehidupan di lereng Sumbing.
Biasanya petani di lereng Sumbing menanam tembakau dari varietas Kemloko II. Yono sendiri menanam jenis Kemloko II. Di tulisan yang lain akan saya ceritakan mengenai varietas kemloko yang menjadi cikal bakal dari Srintil.
Ladang dan lintingan
Kami pun beristirahat sejenak sambil melinting tembakau milik Yono. Di tengah obrolan saya mengajukan pertanyaan konyol.
“Kalau Mas Yono sudah sampai ke ladang, tapi lupa membawa tembakau, apakah mas Yono akan balik lagi ke rumah membawa tembakau?”
“Saya akan balik lagi, Mas, dan itu memang pernah kejadian. Saya lupa bawa tembakau padahal sudah sampai ladang. Dengan kesadaran penuh, saya balik lagi. Bayangin saja, ketika istirahat, saya mau ngapain lagi selain merokok,” jawab Yono.
Menghisap tembakau memang memberikan kekuatan bagi para petani untuk bekerja. Banyak warga di sini yang merokok sejak kecil. Termasuk Sangit yang merokok sejak SD, sewaktu ia mulai ikut ke ladang.
Ketika matahari mulai terasa terik, saya pun memutuskan turun. Karena kebetulan di hari itu, ada Lukman Sutopo atau akrab dengan panggilan Topo, seorang petani tembakau sekaligus budayawan yang baru pulang dari Bandung setelah mengisi acara kebudayaan.
Dari tembakau untuk kehidupan di Legoksari Temanggung
Di rumah Topo saya berbincang banyak hal, dari mulai geliat ekonomi, budaya, sistem pertanian, hingga isu mengenai tembakau. Untuk budaya dan sistem pertaniannya, akan saya tulis secara khusus.
Topo menyambut kami dengan senyuman dan teh hangat yang rasanya manis serta teksturnya lembut. Perawakan badannya tinggi, kepalanya memakai ikat kepala bermotif Wahyu Tumurun.
Dari pengalaman Topo, masa kejayaan petani tembakau dimulai sejak tahun 70-an. Banyak pembangunan desa bersumber dari hasil iuran keuntungan tembakau.
Sebut saja, jalan, balai desa, hingga sekolah dasar, termasuk anggaran bagi organisasi pemuda di desa Legoksari, Temanggung.
Acara desa di sini tidak pernah meminta anggaran ke pemerintah. Semuanya dari rakyat untuk rakyat. Keuntungan dari tembakau tidak hanya untuk keluarga sendiri, tapi juga untuk pembangunan desa.
Bahkan ketika wiwitan (musim panen), setiap satu rumah di Legoksari, Temanggung bisa mempekerjakan enam sampai sepuluh orang. Buruh taninya berasal dari berbagai daerah, dari Gunung Kidul (Yogyakarta), Magelang, Wonosobo, Banjarnegara, dan daerah sekitar lainnya.
Untuk keperluan makan dan tinggal para buruh taninya gratis di rumah warga. Tidak dipotong dari honorarium.
Jujukan studi banding
Petani tembakau di Legoksari, Temanggung juga menjadi rujukan studi banding bagi petani tembakau dari banyak daerah: kota-kota sekitar Jateng, Jatim, Jabar, Madura, hingga Palembang. Termasuk mahasiswa dari berbagai universitas.
Topo menjadi salah satu rujukan mereka untuk belajar. Ada satu hal penting yang membedakan petani tembakau Temanggung dengan daerah lainnya. Di sini, menanam tidak sekadar menanam, melainkan ada ritus kebudayaan yang sudah menubuh dalam setiap jiwa petani.
Dalam diskusi yang panjang itu, saya kembali mengajukan pertanyaan konyol seperti yang saya tanyakan ke Yono.
“Kalau Pak Topo sudah sampai ke ladang, tapi lupa membawa tembakau, apakah Pak Topo akan balik lagi ke rumah membawa tembakau?”
“Saya akan balik lagi, mas. Karena mbako iku ora margi neng dayani: tidak mengenyangkan tapi memberikan kekuatan.”
Kekuatan membangun sikap optimis, semangat bekerja, berinovasi, melestarikan budaya, dan berdaulat atas keringat sendiri. Itulah yang dimaknai Pak Topo dan para petani tembakau di Legoksari.
Itulah sebabnya masyarakat di Temanggung tidak bisa dipisahkan dari tembakau. Karena tembakau adalah kekuatan masyarakat.
Segala penghidupan dan pembangunan, semuanya dari hasil tembakau. Tanpa tembakau, masyarakat hanya tinggal menunggu daerahnya menjadi antah berantah.
Perbincangan berakhir di sore hari, ketika hujan reda. Pertemuan dengan Topo sekaligus menutup ekspedisi di Temanggung. Perjalanan berlanjut ke Boyolali.
Bersambung…
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
BACA JUGA: Tanaman Bisa Bicara dan Mendengar, Nilai Luhur dari Negeri Tembakau
Leave a Reply