
Catatan Ekspedisi Emas Hijau Edisi Temanggung (Part 1). Memijakkan kaki di negeri tembakau.
Bertepatan dengan bulan Mei, ketika para petani tembakau telah dan sedang melakukan proses menanam tembakau, Komunitas Kretek melakukan Ekspedisi Emas Hijau. Tidak lain untuk belajar kepada para petani mengenai hubungan mereka dengan tembakau. Kami memulai perjalanan dari Negeri Tembakau: Temanggung.
Rute Pertama: Negeri Tembakau Temanggung
Tembakau adalah emas hijau bagi masyarakat Temanggung, Jawa Tengah. Karena itulah, sebagai pembuka Ekspedisi Emas Hijau, kami menginjakkan kaki di kota berjuluk “Negeri Tembakau” ini.
Di kota inilah tembakau berkualitas tinggi dihasilkan: Srintil. Khususnya daerah-daerah di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro.
Ada tiga kecamatan yang dianggap terbaik dalam menghasilkan Srintil. Dari tiga daerah tersebut, pilihan jatuh ke Desa. Legoksari, Kecamatan. Tlogomulyo, Temanggung.
Berangkat dari Rumah Kretek Indonesia (Yogyakarta) pada Minggu (4/5/2025) pukul 07.48 WIB, kami melaju melewati Jalan Magelang yang dipenuhi dengan kendaraan besar yang mengangkut pasir dari Gunung Merapi.

Di perjalanan, kami memilih transit untuk mengisi perut supaya kuat menghadapi hari. Akhirnya kami memilih berlabuh di Warung Jadoel yang usianya sudah menginjak 200 tahun lebih.
Temanggung memang tidak hanya dikenal sebagai Kota Tembakau, tapi juga terkenal dengan kuliner legendaris.
Kami sampai di Warung Jadoel pada pukul 09.00 WIB. Ini adalah rumah makan yang pada masanya menjadi langganan orang Indonesia dan orang Belanda.
Ada berbagai jenis makanan pilihan di Warung Jadoel, mulai dari sayur nangka muda, tongkol cabai hijau, brongkos, hingga opor ayam kampung hingga aneka gorengan.
Tanaman bisa bicara dan mendengar
Kami sampai di Legoksari pada pukul 10.25 WIB. Di sana kami singgah di rumah petani tembakau bernama Sangit. Rumah yang nantinya kami huni selama dua hari kedepan.
Ia adalah petani yang sangat menghargai tradisi. Tidak hanya dilakoni, tapi juga memaknai. Ada banyak cerita saat kami berbincang dengan Sangit dii antara kepulan asap rokok dan kopi sebagai teman ngobrol.
Pagi menjelang siang itu terasa sangat syahdu. Obrolan mengalir dari hulu ke hilir mengenai industri hasil tembakau. Namun, saya hanya akan menyoroti satu hal dalam tulisan ini, yaitu tentang tanaman yang bisa berbicara dan mendengar.
Bagi para petani, tembakau bukan sekadar komoditas, melainkan bagian dari semesta dan bagian dari diri manusia.
“Tanaman itu makhluk hidup, bisa mendengar, bicara, makan dan minum. Ia nyata. Manusia tidak hidup sendiri, ada makhluk hidup lainnya. Ada tanah, hewan dan tumbuhan. Melalui ritual dan tradisi kami menyapa semua makhluk hidup.” Begitulah cara pandang Sangit.
Ritual merawat tembakau di Temanggung
Kata Sangit, ada ritual yang para petani lakukan dalam masa merawat tembakau. Ritual dilakukan dari saat penanaman (lekasan), merawat saat tumbuh, dan sedekah saat panen raya.
Bahkan ketika nandur, para petani juga berpuasa. Bukan dalam rangka takut tanaman tidak akan tumbuh. Melainkan ingin ikut merasakan kesabaran, bersyukur, dan melawan hawa nafsu.
Dengan kekayaan makna dari tradisi itu, tembakau tidak dianggap sekadar benih. Karena tembakau juga makhluk hidup. Mereka bisa bicara dengan kata yang tidak kita ketahui.
Mendengar walau tak punya telinga dalam arti harfiah. Mereka juga layu jika tak disiram, dan kurang kuat jika tak dikasih pupuk. Kebutuhan tanaman, sama seperti manusia.
Bertahun-tahun Sangit hidup dari tembakau. Ia memiliki kegusaran: khawatir kelak anak dan cucunya hanya menikmati cerita kejayaan tembakau di masa lalu tanpa pernah merasakannya.
“Jika suatu hari tembakau musnah, lalu cucu saya bertanya kenapa bisa terjadi, maka saya akan menjawab, ‘Sebagai petani saya sudah melawan sehormat-hormatnya’,” ucap Sangit dengan sorot mata yang tajam.
Bersambung….
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang
Leave a Reply